Sains, Transhuman dan "Digital Realm"

Paradigma berpikir dan bekerja mesin semacam inilah yang kemudian akan mendasari apa yang disebut sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Rabu, 24 Juni 2020 | 09:38 WIB
0
301
Sains, Transhuman dan "Digital Realm"
Ilustrasi transhuman (Foto: interestingengineering.com)

Tulisan berseri Hamid Basyaib, akhirnya membuat saya tergelitik ikut nimbrung dalam percakapan tentang sains, agama, filsafat, dan pandemi yang melibatkan puluhan orang dan ramai disambut banyak kalangan lebih dari sebulan terakhir ini.

Enam seri tulisannya yang diunggah saban hari dan berakhir 21 Juni, telah membuka ruang yang lebih luas tentang teknologi -sebagai produk sains— dikehendaki atau tidak sedang dan akan mengubah “takdir” sekaligus nasib manusia sebagai produk alam.

Saya tak paham dengan sebagian besar pendapat seluruh penulis dalam diskursus ini secara utuh. Paham yang saya maksud itu artinya, sebagaimana saya bisa memahami utuh reaksi reduksi oksidasi alias reaksi redoks dalam ilmu kimia yang saya pelajari dulu di SMA atau kuliah tujuh tahun lamanya.

Nama-nama yang dikutip para penulis, sesungguhnya juga tak terlalu asing di telinga -kecuali Quentin Meillasoux-, gara-gara dulu diberi izin oleh Romo Dipo Sudiarja SJ untuk menjadi mahasiswa pendengar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Paulus, Yogyakarta. Tiap minggu duduk bareng para frater yang sekarang sebagian sudah menjadi uskup.

Jadi, membaca narasi banyak penulis hebat dalam diskursus ini, saya masih merasa khawatir dan inferior, lalu mendefinisikan seekor gajah itu adalah binatang yang bentuknya tipis lebar hanya karena saya cuma memegang telinganya saja. Tidak utuh.

Tapi tulisan Hamid memang provokatif dan menggugah. Dalam tiga bagian terakhir dari enam tulisannya yang berseri itu, ia menulis tentang “transhuman” dengan mengutip Ray Kurzweil.

Kurzweil, sebagaimana dielaborasi singkat oleh Hamid, adalah saintis terpandang yang sekarang bekerja di Google dan merupakan salah satu nama inventor paling berpengaruh saat ini. Ia meramalkan selambat-lambatnya pada tahun 2045, akan tercipta manusia hibrid, sebagaimana ia sebut dalam bukunya yang terbit pada tahun 2012.

Tidak terbantahkan bahwa transhuman akan datang. Bahkan lebih cepat dari yang diperkirakan.

Saya menemukan dan membaca satu prediksi yang lebih maju dari perkiraan Kurzweil. World Economic Forum (WEF) mewawancarai sekitar 800 eksekutif korporasi dan pemimpin industri dari seluruh dunia. Mereka ditanya banyak hal, yang kemudian menjadi “tipping point” dalam perjalanan manusia menghasilkan teknologi.

Apa hasilnya?

Sebagian besar dari responden yang diwawancara itu meyakini, ponsel yang telah terimplan dalam tubuh manusia secara komersial akan hadir di tahun 2024. Empat tahun lagi.

Sebagian prediksi itu bahkan sudah bisa kita lihat dan nikmati hari ini, yaitu tentang car-sharing, yang kemudian model bisnisnya terumuskan secara baik lewat Gojek, Grab, atau Uber itu. Yang sedang ditunggu adalah “driverless car”. Kendaraan nirsopir. Dua tahun terakhir, mereka terus menguji coba teknologi bus tanpa supir ini dan dua tahun dari sekarang, 2022, akan mengimplementasikannya di sejumlah rute.

Yang juga akan menjadi problem etis adalah 3D printing. Bikin rumah, bikin jantung palsu, tulang palsu, bisa menggunakan teknologi ini.

Kembali ke laptop. Soal transhuman.

Sebuah video yang dirilis BBC One memvisualisasi dengan sangat baik ponsel implan ini. Bethany, yang diperankan oleh Lydia West, bercakap dengan emaknya menggunakan ponsel yang sudah terimplan dalam tangannya. Speaker berukuran tipis ditanam pada lengannya, dan saluran penangkap sinyal diimplan pada jari-jari tangannya.

Dialog yang paling mengena dari klip pendek itu saya kutipkan di sini. “I don’t want to be flesh. I want to escape this thing and become digital.”

Emaknya protes. Mengapa anaknya, Bethany, melakukan pembedahan dan tidak minta izin padanya melakukan itu semua.

“Ini bukan pembedahan. Ini implantasi. Kayak dulu Emak bikin tato, yang nggak perlu minta izin nenek, kan?”

Bethany, singkatnya, telah terkonversi menjadi digital. Being digital. Tubuhnya adalah kombinasi dari "natural creation" yang dialami dan dijalani manusia selama berabad-abad dan dengan demikian ia terus berkembang biak, dengan "digital creation" yang memanipulasi mekanika dan logika ke dalam bit-bit teknis yang terdiri dari bilangan biner 1 dan 0, sehingga menjadi sebuah mesin komputasi.

Dengan cara itu, menyalakan ponsel, tinggal menjentikkan jari-jari tangan. Bicara dengan orang, tinggal menyebut nama, lalu kita sudah terhubung. Layarnya, mungkin suatu ketika persis akan tertanam di bawah kulit ari.

Model komunikasi demikian, persis seperti dongeng yang pernah saya baca dalam seri "Api di Bukit Menoreh", sebuah ilmu komunikasi yang hanya dimiliki orang-orang pilihan seperti Kiai Gringsing, Ki Juru Martani, atau Sultan Hadiwijaya. Jika ilmu yang didongengkan itu harus didapatkan dengan “laku”, teknologi digital cukup dengan “tuku”. Membeli.

Orang-orang yang memiliki kapasitas linuwih seperti tokoh imajinatifnya Singgih Hadi Mintardja itu menurunkan ilmunya secara selektif, sehingga ada ilmu yang terwariskan ke Agung Sedayu, tetapi tidak ke Swandaru Geni. Tapi dengan teknologi, siapa saja bisa punya asal punya uang untuk menebusnya.


Being Digital

Ilmu rasional berbasis nalar dan pikiran yang terelaborasi sejak Abad Pertengahan dan bahkan jauh sebelum itu telah mewariskan pencerahan yang membawa manusia setahap lebih maju memasuki peradaban sains dengan berbagai turunan dan penemuan di banyak bidang, Para saintis berhasil membongkar rahasia semesta dan segala hal yang ada di sekelilingnya, yang sebelumnya dilingkupi mitos dan cerita-cerita yg mengoreksi keyakinan dogmatis yang dicekokkan oleh agama.

Manusia berhasil menemukan suatu pola-pola yang diterjemahkan dalam persamaan-persamaan matematika atau fisika, sehingga ada konsistensi yang dapat mempertahankan kebenarannya. Tapi proses itupun tidak statis, karena dari masa ke masa, selalu terjadi koreksi atas teori atau paradigma, dan itu dapat dibuktikan secara saintifik. Setiap teori terdahulu, didekati secara skeptis (skeptisisme metodis, dalam bahasa Taufiqurrahman), dan dengan demikian menghasilkan teori yang terkoreksi.

Para saintis berhasil membongkar dimensi terdalam sebuah benda sampai ke ujung paling kecil, atom. Atom ditandai dengan pola dan ciri tertentu, dan dibedakan berdasarkan satuan-satuan tertentu. Satuan yang paling umum dan paling dasar yang digunakan adalah massa. Jadi, tiap atom punya massa.

Jika setiap benda punya identitas, punya karakter, punya pola, bagaimana peradaban sains mampu mengubahnya menjadi digital? Nicholas Negroponte menjelaskannya dengan amat menarik sekaligus menunjukkan bagaimana ketika terkonversi ke dalam dunia digital, progresnya menjadi tidak lagi bisa terhentikan. Diperlambat pun tidak.

Dalam bukunya “Being Digital” [1996], Nicholas Negroponte dengan amat gamblang membedakan apa itu “atom” dan apa itu bilangan biner atau “bits” (binary digits).

Itulah transisi terpenting peradaban manusia, menurut pendapat saya. Negroponte sendiri bukanlah saintis ecek-ecek, karena ia ikut mendirikan MIT Media Labs, dan kurang lebih 20 tahun memimpin organisasi tersebut.

Atom, dalam buku itu, ia gambarkan sebagai suatu bentuk yang memiliki bobot atau massa. Atom-atom terdiri atas proton, elektron, dan neutron. Sedangkan bits adalah perpindahan data secara elektronik -artinya bergerak dalam kecepatan gerak elektron- secara gegas dan instan dalam kecepatan perpindahan yang satuannya adalah kecepatan cahaya.

Berapa kecepatan cahaya? 300 juta meter per detik. Orang eksak biasanya menuliskan 3,00 x 100 juta meter/second. Dalam ruang hampa atau dihampakan, kecepatan gerak ini bisa berubah lebih cepat karena tidak ada hambatan. Jadi, untuk mempercepat dan memperlambat pergerakan, saintis dapat mengelolanya –lebih tepat mengendalikan-- dengan memberikan medium atau lingkungan yang tepat. Artinya, sains telah membuat manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan partikel yang bergerak dalam kecepatan cahaya tersebut.

Dengan demikian, para saintis yang tadinya masih berbicara tentang suatu “massa” yang jika digerakkan memerlukan usaha dan waktu, dalam konversi “bit” dia menjadi virtual atau digital, karena praktis tidak ada lagi “massa” yang (diasumsikan) digerakkan dari satu titik ke titik lainnya. Setiap bit dapat digerakkan dipindahkan dimobilisasi secara instan melalui berbagai platform.

Bits adalah fondasi bagi terbentuknya alam digital (digital realm). Sedangkan atom adalah fondasi alam natural, yang secara fisik masih dapat diimajinasi atau dideteksi secara inderawi ataupun menggunakan alat bantu. Bits adalah elemen dasar dari komputasi, yang hasil turunannya sudah menjadi berbagai macam produk yang kita nikmati sehari-hari.

Tapi apa sesungguhnya prinsip dasar atau prinsip kerja mesin komputasi?

Input dan output. Itu saja. Sebuah mesin komputasi sederhana, dengan suatu interface tertentu, dapat menjalankan perintah yang kita berikan, dan memberikan hasil yang kita inginkan.

Tapi pertanyaannya menjadi sangat filosofis. Apa yang diinginkan manusia? Tak terbatas. Para psikolog yang mempelajari seluk beluk perilaku manusia makin menebalkan soal itu.

Untuk memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas itu, saintis yang menekuni dunia komputasi kemudian terus berinovasi, sehingga produk digital juga makin berkembang dari waktu ke waktu. Dari yang berukuran raksasa pada waktu pertama kali ditemukan, hingga berskala mikro atau nano hari ini, sampai yang kemudian dapat dibenamkan dalam tubuh seperti Bethany pada cerita di atas.

Manusia terus menginginkan sebuah mesin yang mampu mengenali dirinya, mesin yg bisa belajar mengenai apa yang mereka butuhkan, dan kemudian lebih jauh lagi “memahami secara mendalam” (sering disebut verstehend dalam paradigma berpikir Max Weber), baik input yang sifatnya verbal maupun nonverbal.

Paradigma berpikir dan bekerja mesin semacam inilah yang kemudian akan mendasari apa yang disebut sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence), yakni ketika ia memiliki kecerdasan untuk berlaku sebagaimana manusia memahami manusia yang lain.

Saya tak punya imajinasi ataupun referensi yang cukup memadai ketika harus menautkan perkembangan sains yang sudah sampai tahapan sedemikian, berkorelasi atau dikorelasikan dengan agama. Apa dasar-dasar legitimasi yang harus digunakan oleh agama ketika manusia sudah mengalami komodifikasi digital dan ia menjadi berkemampuan yang tak lagi sama dengan fitrahnya sebagai manusia yang didalilkan oleh agama-agama?

Jikapun ada yang memaksakannya, saya khawatir yang akan terjadi bukanlah semacam pertautan agama dan sains melainkan cocokologi semata-mata dan itu bagi saya jelas justru mendegradasi legitimasi agama yang diyakini manusia, human being.

Entah dengan transhuman.

Alois Wisnuhardana

***