Tiga Hati Tutur Cinta

Aku hanya butuh pelukan, seperti anak kembali pada ibunya. Dipahami, dimengerti, diterima apa adanya.

Jumat, 5 Juli 2019 | 06:45 WIB
0
366
Tiga Hati Tutur Cinta
Ilustrasi percintaan (Foto: Tokopedia)

Kabar kematian itu terdengar indah di telingaku. Ia memutuskan membunuh getar-getar yang selama beberapa bulan terakhir membuatnya selalu mencuri pandang teman sejawat. Ia mengganti sudut pandang, menekan dalam-dalam rasa yang bila dibiarkan akan menelan hati dan kehidupannya.

Inilah hati pertama yang bertutur tentang cinta.

“Herannya, sejak aku memutuskan memandang dia, tak lebih sebagai rekan kerja, seolah semesta mendukungku,” ujar si hati pertama, tanpa menyembunyikan rasa girang.

Celotehnya seperti beras tumpah dari karung. Tentang rencana liburan, tentang chat yang seperti tak pernah berhenti, tentang hal-hal kecil yang mendadak menjadi penting. Dan itu semua tentang perhatian suaminya.

Seperti pencuri, cinta bisa datang kapan saja. Tanpa kenduri, tanpa undangan. Bisa menimpa siapa saja, tak peduli status perkawinan, tak peduli usia.

Keberanian mengambil keputusan menghentikan benih di antara kaum yang sudah menikah adalah pilihan kedewasaan. Sebab lebih banyak yang bersembunyi di balik keagungan cinta untuk melegalisasi perselingkuhan.

Jalinan kasih di luar pernikahan, apa pun alasannya, adalah penistaan, pengkhianatan, pelaknatan terhadap hakekat kesetiaan.

Maka inilah hati kedua yang bertutur tentang cinta.

Luka justru semakin nyata ketika hati penutur kedua, bertahan sekuat tenaga untuk tidak menumpahkan air mata. Ia ingin tampil kuat, sekalipun hatinya seperti tisu, koyak dalam sekali hentakan.

“Semua manusia berhak bahagia Mbak... termasuk diriku. Kalau pernikahan tak lagi bisa menjadi jalan meraih kebahagiaan, untuk apa dipertahankan?”

Ceritanya seperti busur yang mengiris-iris senar biola. Rentang nadanya sangat tinggi. Dari G3 sampai E5. Dibawakan dengan keanggunan maestro. Tapi tetap tentang duka. Luka yang entah dengan cara apa dipulihkan.

Pernikahan bukan hanya soal mengejar kebahagiaan. Apalagi bila suka cita hanya ditafsirkan sepihak. Perkawinan adalah komitmen, kesungguhan hati untuk tetap berpegang pada janji suci. Penghargaan satu manusia pada manusia lainnya.

Dan penghayatan pada komitmen itu pula yang menjadi kisah hati ketiga.

Tidak ada yang berhak masuk ruang pribadiku, mengatur cinta macam apa yang harus berlaku atas diriku. Dan aku hanya butuh pelukan, seperti anak kembali pada ibunya. Dipahami, dimengerti, diterima apa adanya.

Kristin Samah, penulis dan mantan jurnalis

***