Normal, Abnormal, Paranormal

Menyedihkan ketika peradaban bangsa dan negara hanya ditumpukan pada seorang presiden. Sementara kita abai untuk memberdayakan diri masing-masing dalam keadaban baru.

Minggu, 31 Mei 2020 | 10:06 WIB
0
170
Normal, Abnormal, Paranormal
Ilustrasi damai dan normal (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

(1) Presiden Jokowi mengajak kita untuk hidup dalam istilah new normal. Ahli bahasa, sosiolog, ekonom, dan entah siapa lagi, pusing dengan istilah itu. Ahli bahasa Indonesia, seperti biasanya, mempermasalahkan istilah keminggris atau yang bau asing. Kenapa bukan normal baru, misalnya? Meski para munsyi kita juga tak bisa menjelaskan, apakah kata ‘normal’ merupakan istilah pribumi? Demikian juga kata ‘baru’?

Jadi kalau kita mau otot-ototan istilah, saya cuma bisa menyarankan agar para waskita dalam bahasa Indonesia mulai berjuang menciptakan atau mengkreasi istilah-istilah yang digali dari akar bahasa sendiri.

Jikalau ada. Jika kesulitan, bersadarlah bahasa itu tumbuh sesuai peradaban manusianya, atau proses membangsa suatu negara. Bahasa Indonesia yang dideklarasikan sebagai bahasa persatuan (artinya bukan bahasa satu-satunya, di tengah ribuan bahasa yang ada dalam berbagai etnis Nusantara ini), masih miskin. Atau dalam bahasa yang optimistik; Masih terus tumbuh dan berkembang.

(2) Jadi gimdong? Kita mungkin perlu merenung, atau mempertanyakan kembali, mengapa Ki Hadjar Dewantara mengalah dari argumen Sutan Takdir Alisyahbana, yang menyodorkan bahasa Indonesia sebagai rumusan bahasa nasional? Mengapa Bapak Pendidikan Nasional kita itu dulu tidak ngotot mengajukan bahasa Jawa, yang berinduk bahasa Sanskerta, yang jauh lebih kaya dibanding bahasa Melayu, sebagai bahasa persatuan Indonesia atau bahasa nasional?

Dari jumlah populasi penduduk, etnis Jawa lebih dominan, parallel hingga sekarang (dalam Sensus Penduduk 2010, suku Jawa 40,22%. Suku Sunda merupakan terbesar ke-2, jumlah angka 15,5%. Tapi suku terbesar ke-3, Batak berjumlah 3,58%, selebihnya urutan di bawahnya lebih kecil dari itu, termasuk etnis Melayu sebanyak 2,27%).

Baca Juga: Filsafat Bahasa: Pulang Kampung dan Mudik

Belum pula bahasa Sanskerta, sebagai induk bahasa Jawa, telah diteliti para ahli bahasa sejak abad 17 dan 18, disepakati sebagai bahasa yang ‘tinggi’ untuk keperluan agama dan ilmiah (ilmu pengetahuan) atau sebagai bahasa yang sempurna. Bahasa Sanskerta telah lama ada di Nusantara sejak ribuan tahun, dan di pergunakan oleh leluhur kita.

Literasi kata ‘bahasa’ (bhāṣa) berasal dari bahasa Sanskerta itu yang bermakna ‘logat bicara’. Dalam ceramah di Asiatick Society of Bengal di Calcutta (2 Februari 1786), Sir William Jones, ilmuwan bahasa, mengatakan Bahasa Sanskerta, bagaimanapun kekunaannya, memiliki struktur yang menakjubkan. Lebih sempurna daripada bahasa Yunani. Lebih luas daripada bahasa Latin, dan lebih halus serta berbudaya daripada keduanya.

Bahasa Sanskerta kerap ditemukan pada beberapa prasasti kerajaan di Indonesia sejak abad ke-5. Bahkan, dimulai dari abad ke-9 SM bahasa ini konon sudah digunakan di beberapa daerah Nusantara, sebagai dampak penyebaran agama Hindu hingga abad ke-7 dan 8. Sampai dua abad setelahnya, penyebaran agama Buddha dimulai, pun dengan memanfaatkan bahasa Sanskerta ini.

Jadi, jauh sebelum Muhammad lahir pada abad ke-6 dengan mengibarkan panji-panji Islam, di Nusantara sudah tumbuh peradaban, ada agama bernama Hindu dan Buddha yang dianut oleh manusia.

Menurut Guru Besar Sastra China UI, Nurni Wahyu Wuryandari, catatan tertua tentang hubungan China–Nusantara, sudah terjadi di tahun 133 Masehi, di zaman Dinasti Han. Yang mengarungi lautan adalah orang Nusantara, dan bukan sebaliknya. Itu terekam dalam 5 relief Candi Borobudur.

(3) Bangsa Indonesia, berinduk pada ratusan etnis yang tersebar di Nusantara ini, memang bangsa campur aduk. Berada di silang dan persimpangan budaya, bukan hanya di segi-tiga emas perekonomian dunia. Di situlah kehebatan, keunggulan, kedigdayaan bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang tumbuh.

Sebagai bangsa dan negara kontemporer, justeru karena watak yang terbuka, dan daya serap yang luar biasa, entah yang positif maupun negative. Negara Indonesia, dengan dialektika itu, memiliki potensi menjadi bangsa besar, negara besar. AS kini sebagai negara adidaya sudah dipertanyakan.

Kesadaran demokrasi dan intoleransi di sana masih bermasalah. Indonesia dengan ragam budayanya, mestinya punya potensi sebagai negara adidaya, sekalipun mungkin adidaya dalam kebudayaan. Kita jangan hanya ngomong soal SDA (Sumber Daya Alam), tapi lebih detail lagi bicaralah soal SDM (Sumber Daya Manusia), dan lebih masuk lagi ke SDB (Sumber Daya Budaya).

Para ahli bahasa kita masih sekedar meributkan ‘kosakata ‘aseli dan tidak aseli. Bukannya soal frasa dan logika bahasa, yang masih harus dikampanyekan, karena bersumber dari logika SDM dan SDB-nya. Para ahli-ahli lainnya, juga hanya pusing dengan istilah ‘new normal’ dari sudut masing-masing. Menganggap situasi normal itu adalah Indonesia kemarin sebelum pandemic Coronavirus.

Benarkah situasi kita sebelum itu normal adanya? Apa nih pengertian kita tentang ‘normal’ itu? Ketika usia proklamasi kemerdekaan kita ‘sudah’ 76 tahun, adakah sudah sebagai negara normal? Dari sisi tingkat pendidikan, daya literasi, keber-agama-an, kebersatuan? Wong wacana-wacana keadaban yang muncul di media massa, hingga kini, masih menunjukkan kita belum sebagai bangsa dan manusia normal. Entah itu disebut abnormal atau malah dipenuhi paranormal.

Demikian juga dalam hal ekonomi, mengenai perputaran uang nasional kita. Masih saja 70% berada di Ibukota Jakarta. Bagaimana dengan 33 propinsi lainnya? Bagaimana jika 70% uang nasional kita hanya dikuasai kurang 3% dari penduduk Indonesia yang 276 juta ini? Apakah itu normal? Normal baru? Baru normal?

Menyedihkan ketika peradaban bangsa dan negara hanya ditumpukan pada seorang presiden. Sementara kita abai untuk memberdayakan diri masing-masing dalam keadaban baru. Untuk tumbuh bersama. Bukan sekedar saling hujat, dan apalagi ‘cuman’ ngafir-ngafirin liyan.

Sunardian Wirodono

***