Filsafat Bahasa: Pulang Kampung dan Mudik

Maka apa yang sudah dijelaskan secara gamblang oleh Presiden Jokowi mengenai arti kata “mudik” dan “pulang kampung” harus dilihat dari sudut pandang sosiologi masyarakat kita.

Jumat, 24 April 2020 | 13:16 WIB
0
2084
Filsafat Bahasa: Pulang Kampung dan Mudik
Tommy F. Awuy (Foto: Dok. pribadi)

Pada tahun 2014/2015 saya pernah ikut kelas Filsafat Bahasa di Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat.

Saya diundang sebagai mahasiswa tamu oleh Tommy F. Awuy - dosen ilmu filsafat berambut gondrong, jago main piano, punya suara bagus, penggemar Pink Floyd, pelukis puitis, penulis naskah drama, sutradara teater, dan biasa dipanggil “Prof.” oleh mahasiswanya.

“Ikut kelas (Filsafat Bahasa) gue, ya,” kata dosen gaul dan funky yang dihormati dan disayangi mahasiswanya ini yang memberi nama anak kembarnya dengan nama Philo dan Sophy.

Tiap Senin pagi saya berada di kelas bersama mahasiswa-mahasiswi semester genap jurusan filsafat lainnya. Seingat saya waktu itu saya datang sebelum jam kuliah. Hanya satu dua kali datang telat beberapa menit karena menunggu bus dan kena macet. Saya cuma sekali absen tidak ikut kuliah karena saat itu pada jam yang sama saya ada rapat di sebuah kantor intelijen data media di bilangan Senayan, Jakarta Pusat.

Prof. Tommy, begitu saya memanggilnya ikut-ikutan seperti mahasiswa lainnya, selalu datang tepat waktu pada jam kuliah. Ia tidak pernah marah walau ada beberapa mahasiswa yang suka datang terlambat. Bahkan ia suka mengingatkan mahasiswa untuk tanda tangan kehadiran di lembar absensi di akhir kuliah.

Dosen yang dulu pernah bercita-cita jadi petinju ini membuka kuliah dengan menggambarkan “peta bahasa” hasil rangkumannya dari berbagai literatur yang tidak akan pernah kita jumpai di buku-buku diktat kuliah atau text book filsafat bahasa lainnya karena “peta bahasa” memang hasil pemikirannya sendiri.

Prof. Tommy membagi “peta bahasa” dalam empat kuadran. Dari “peta bahasa” ini kita akan memahami makna sebuah kata, kalimat, atau istilah. Menurut Prof. Tommy, saat mulai membahas “peta bahasa”, pada mulanya sebuah kata adalah bunyi. Bunyi ini punya arti. Lalu disepakati artinya. Dan dituliskan sebagai kata hingga menjelma menjadi kalimat dan bahasa.

Selain “peta bahasa”, Prof. Tommy juga menyatakan bahwa ilmu bahasa itu adalah kekuatan logika. Itu sebabnya banyak ahli filsafat yang menguasai logika berpikir yang juga dimiliki ahli-ahli di bidang ilmu pengetahuan lainnya. Seorang ahli bahasa biasanya kuat dalam matematika dan sebaliknya.

Dengan kata lain orang yang menguasai bahasa adalah orang-orang cerdas. Sebagai contoh film fiksi-sains “Star Wars” itu merupakan hasil pemikiran kecerdasan logika yang dituangkan dalam bahasa visual. Smartphone pun lahir karena kekuatan logika bahasa. Hampir semua fungsi di smartphone kita terkait dengan bahasa.

Menurut Prof. Tommy kata adalah kekuatan. Dari kata-kata orang dapat memerintah. Bahkan menindas walau disampaikan dengan kata-kata yang terdengar halus dan sopan.

Orde Baru adalah contoh rezim pemerintah yang pandai menggunakan kata-kata untuk menggebuk lawan politik dan melanggengkan kekuasaan dengan pilihan kata istilah atau idiom yang terdengar halus dan sopan. Seperti kata akronim “petrus” (penembak misterius) untuk menghabisi nyawa para preman dan idiom “bersih lingkungan” untuk menolak anak-cucu orang-orang yang dituduh terlibat G30S/PKI bekerja di lingkungan pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan swasta.

Pernah ada cerita seorang wartawan di sebuah koran ternama dan terpercaya di Indonesia terpaksa harus ganti nama dan inisial untuk tetap bisa bekerja dan ia pun “diungsikan” ke luar negeri dengan dalih belajar kajian budaya pop.

Kata juga, masih dari penjelasan Prof. Tommy, adalah masalah rasa dan kesepakatan. Sebagai contoh kata “anjing” dan “bangsat” - yang resmi masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) - sebagai kata umpatan.

Dalam pergaulan informal dengan teman-teman dekat penyebutan kata “anjing” dan “bangsat” dianggap halus dan sopan. Tapi kata “anjing” dan “bangsat” tidak bisa diterima di luar lingkungan pertemanan akrab karena maknanya kasar dan tidak sopan.

Di Jawa Timur, khususnya di masyarakat Surabaya, ada kata “diancuk/jancuk” yang sebetulnya artinya sangat kasar dan tidak sopan tapi berubah maknanya menjadi lebih egalitar dan dapat diterima semua kalangan di sana. Bahkan ada umpatan, “Jancuk, kon!” yang malah jadi lucu-lucuan untuk menyatakan rasa kesal.

Dalam satu kesempatan Prof. Tommy juga menerangkan sebuah kata atau istilah yang lahir karena faktor sosiologis yang terjadi dan hidup di tengah-tengah masyarakat kita.

Seperti kata “bedol desa” untuk perpindahan warga satu desa di Pulau Jawa ke Pulau Sumatera yang ikut program transmigrasi pada zaman Orde Baru.

Dari program transmigrasi ini lalu lahir istilah “jawanisasi” (menjadikan pulau-pulau lain di Indonesia sebagai “daerah jajahan orang Jawa”) oleh kelompok penentang program transmigrasi dan akronim lucu “pujakesuma” (putera Jawa kelahiran Sumatera) yang dijadikan nama anak-anak dari orangtua berdarah Jawa yang melahirkan anaknya di daerah transmigrasi di Pulau Sumatera.

Maka apa yang sudah dijelaskan secara gamblang oleh Presiden Jokowi mengenai arti kata “mudik” dan “pulang kampung” harus dilihat dari sudut pandang sosiologi masyarakat kita.

Sebab kenyataan memang ada dua motif yang menjadi alasan orang pergi merantau meninggalkan rumah.

Pertama hanya pergi sementara waktu untuk kembali ke kampung halaman setelah mencari nafkah dan peruntungan di kota atau pulau bahkan negara lain yang biasa dilakukan oleh para pekerja informal tidak tetap (“pulang kampung”). Untuk “pulang kampung” bisa kapan saja sekehendak hati.

Kedua ada yang pergi memilih hidup menetap selamanya di tempat baru -bisa kota, pulau, bahkan negara- dan hanya sesekali pulang ke kampung halaman sebab sudah punya pekerjaan tetap, mapan, dan punya keluarga yang sudah betah hidup di tempat baru secara berkecukupan (“mudik”). Dan “mudik” biasanya cuma setahun sekali bersamaan dengan datangnya perayaan Hari Raya Lebaran.

Lalu mengapa masih saja ada orang-orang yang tak bisa menerima penjelasan Presiden Jokowi untuk kata “pulang kampung” dan “mudik” pada saat wabah coronavirus ini?

Jawabannya sederhana: mereka sudah tidak punya kemampuan logika lagi dalam berbahasa, tidak mau menggunakan otaknya secara maksimal untuk menerima penjelasan orang lain.

Dan bagi mereka arti kata itu cuma bunyi: asal teriak “ngebacot” dengan keras dan lantang untuk hal-hal remeh-temeh yang tidak penting menjadi ramai, gaduh, hingar-bingar kayak obrolan orang di pasar. Mereka memang kerjaannya cuma bikin berisik!

***