New Normal dan New Journalism

Pembaca media online kita, tentu berbeda dengan mereka yang dengan sadar memilih novel ‘Para Priyayi’ Umar Kayam, untuk memahami suatu masalah yang tak sederhana.

Minggu, 7 Juni 2020 | 13:57 WIB
0
351
New Normal dan New Journalism
Ilustrasi komunitas vespa gila (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Kalau masyarakat disadarkan (baca: dipaksa) menjalani pola hidup baru (akibat kekalahan sementara atas coronavirus), apakah media juga ikut (dipaksa) berubah? Mungkin nggak ada yang berani maksa. Apalagi sekarang ada LBH Pers, bisa panjang urusannya.

Tapi disini saya jembarkan istilah jurnalisme sebagai ‘media informasi dan komunikasi’ kita, baik konvensional, komersial, medsos, mainstream, maupun pemakai web atau blog gratisan, dan tak menyertakan identitas mereka; sebagai fakta media kita hari ini.

Saya ingat postingan (atau komentar) Pepih Nugraha, yang mengingatkan teman-teman sekantornya dulu; Bagaimana agar tetap survive, ketika media massa kini mesti berhadapan dengan medsos. Saya meyakini, media massa yang disebut mainstream (seperti Kompas, Tempo, JPNN, dan sebagainya) itu, pada akhirnya bukan. Lebih cocok disebut media konvensional, yang coba bertahan, dan tak mudah beradaptasi. Bentuk mungkin sudah, namun karakter media masih jadi persoalan.

Bahkan, jika dianggap kecelakaan, transisi media konvensional justeru jadi pengikut arus dominan. Pola-pola penyajian berita, bukan lagi dibangun dengan inter-subjektivitas. Cover tabloid Koran Tempo (yang menyorot kebebasan akademik), terasa minor karena informasi sepihak dan tak kompehensif. Soal ‘ancaman teror’ yang masih sumir, dijadikan dasar konklusi, bahwa pemerintah anti kritik dan mengarah ke represi. Dari mana kesimpulan itu, ketika tak didapati sumber informasinya, dalam batang-tubuh pemberitaan?

Padal, konon fakta adalah suci. Tapi fakta tanpa data, bukannya suci melainkan sunyi. Dan cenderung halu.

Dalam kasus lain, sebuah media online menulis judul cukup provokatif; Din mendesak pemerintah menjelaskan penundaan pemberangkatan Jemaah haji tahun ini. Impresi yang muncul dari judul, melihat latar belakang Din, mengesankan Din bertentangan dengan pemerintah. Sementara isi berita, tak ada yang ajaib. Sesuatu yang wajar, normative. Media justeru memframing berita karena meniru pola-pola media online dalam menjaring clickbait.

Sama sekali tak menyadari, bagaimana hal itu dipersepsi dan diresepsi dalam perspektif masyarakat yang gegar informasi, selepas cengkeraman Orde Soeharto 1998. Masa emas reformasi lewat tanpa bekas berarti, baik dari kalangan politik, agama, pendidikan, dan pers.

Kecenderungan baru media online yang dilakukan media cetak itu, justeru jadi follower trend media online sebelumnya. Memecah file berita sepotong-sepotong, sementara kebiasaan menautkan berita satu dengan lainnya belum tumbuh menjadi kesadaran baru. Hal itu merugikan niat baik interkoneksivitas informasi, sebagai arsitektur untuk membangun fakta secara lebih lengkap. Apalagi jika bangunan itu dihancurkan dengan kebiasaan screenshots atau hanya mengopi judul.

Pembaca media online kita, tentu berbeda dengan mereka yang dengan sadar memilih novel ‘Para Priyayi’ Umar Kayam, untuk memahami suatu masalah yang tak sederhana. Yang kini lebih banyak bersembunyi di balik pernyataan, daripada kenyataan. Di situ media bukan lagi jadi alat kontrol sosial.

@sunardianwirodono

***