Mengalami Tanpa Kata

Hiduplah dari saat ke saat dengan mengalami kenyataan, tanpa pengaruh bahasa. Ia menyebutnya sebagai non-verbal experience.

Selasa, 12 November 2019 | 10:15 WIB
0
325
Mengalami Tanpa Kata
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Sebagai seorang praktisi Zen, saya banyak mengalami pencerahan-pencerahan kecil dalam hidup. Dalam arti ini, pencerahan kecil adalah saat, dimana saya hidup sepenuhnya disini dan saat ini dengan penuh kejernihan. Saat-saat semacam ini muncul tak terduga. Semakin saya mendalami Zen, semakin sering saat-saat semacam ini muncul dalam hidup.

Salah satu yang paling berkesan adalah, ketika saya berada di kereta menuju Jakarta dari Yogyakarta pada akhir Oktober 2019 lalu. Saya pulang dengan kereta malam. Mungkin karena pesan tiketnya telat, saya dapat tempat duduk paling depan. Di tempat duduk ini, saya tidak bisa meluruskan kaki, karena langsung berhadapan dengan tembok depan gerbang kereta.

Alhasil, saya terjebak dalam posisi duduk sepanjang malam. Awalnya, tak ada masalah, karena saya bisa langsung tertidur. Namun, tak lama kemudian, rasa pegal mulai muncul di kaki. Duduk mulai terasa tak nyaman, sementara perjalanan masih sekitar enam jam lagi.

Saya mulai menerapkan teori Zen yang saya dalami. Just do it, lakukan saja semuanya dari saat ke saat. Saya hanya sekedar duduk, dan sekedar merasakan sakit yang muncul. Saya menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di dalam maupun di sekitar tubuh saya.

Karena perjalanan masih panjang, saya memutuskan untuk membaca. Judul buku yang saya baca adalah Awareness: A Key to Living in Balance, karangan dari Osho. Satu argumen langsung menyentak saya, ketika membacanya. Hiduplah dari saat ke saat dengan mengalami kenyataan, tanpa pengaruh bahasa. Ia menyebutnya sebagai non-verbal experience.

Ini sebenarnya sejalan dengan prinsip Zen lainnya, yakni just do it. Kita tidak memberi nama pada apa yang kita alami, melainkan sekedar mengalaminya. Kita tidak menilai baik atau buruk. Kita tidak mengejar, atau menolak apapun yang terjadi di sini dan saat ini.

Di titik ini, kita menjadi pengamat yang hening (silent observer) atas segala yang terjadi. Kita berada sebelum bahasa dan sebelum pikiran itu sendiri. Yang muncul adalah keheningan dan kedamaian, bahkan ketika keadaan sekitar kita sedang sangat ramai. Kita bisa tetap bergerak aktif bekerja di dalam dunia, sambil mengalami keheningan dan kedamaian di dalam batin.

Setelah membaca argumen Osho tersebut, saya langsung merasa hening. Ada kedamaian yang luar biasa di dalam hati. Pikiran saya terasa luas, seperti ruang yang bisa menampung segalanya. Keadaan ini bertahan cukup lama, bahkan sampai hari ini (awal November 2019).

Bahasa dan Realita

Mengapa ini terjadi? Mengapa “mengalami tanpa kata” bisa membawa pada kejernihan, kedamaian dan keheningan yang begitu mendalam? Ada empat hal yang bisa menjadi pertimbangan.

Pertama, bahasa adalah ciptaan manusia untuk dua hak, yakni memahami dunia, dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa adalah kerangka yang memberikan makna pada pengalaman manusia. Di dalam bahasa terkandung budaya dan sejarah manusia. Ia adalah simbol dari identitas.

Dua, karena memberi makna, bahasa juga memberikan bumbu pada pengalaman manusia. Ia mengurangi atau menambahkan dari apa yang sesungguhnya terjadi. Bahasa menyempitkan pengalaman ke dalam konsep dan kata. Akhirnya, manusia tak mampu mengalami dunia sebagaimana adanya.

Tiga, bahasa juga penuh dengan beban masa lalu. Bahasa memberikan kerangka makna dengan berpijak pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Bahasa adalah penafsiran akan saat ini dengan berpijak pada masa lalu. Ketika mengalami sesuatu dalam kerangka kata dan bahasa, kita lalu tak bisa hidup sepenuhnya di sini dan saat ini.

Empat, dalam kerangka masa lalu, kita akan terjebak di dalam kegelisahan. Trauma dan ingatan akan mengotori pengalaman kita. Kita kehilangan kejernihan dan keheningan. Pendek kata, kita akan terjebak dalam penderitaan.

Mengalami Tanpa Kata

Dengan mengalami tanpa kata, kita dapat mengalami dunia apa adanya. Kita tidak mengurangi atau menambahkan sesuatu kepada pengalaman kita. Kita menjadi pengamat yang hening atas segala yang terjadi. Di dalam keseharian yang sibuk dan ramai, kita tetap merasakan keheningan dan kedamaian di dalam batin.

Sebenarnya inilah tujuan utama dari Zen, dan dari semua jalan spiritual di dunia, termasuk filsafat Stoa di peradaban Eropa. Kita hidup sepenuhnya di sini dan saat ini. Kita tidak terbeban oleh ingatan dan trauma yang bersembunyi di balik bahasa dan kata. Kita pun menyadari kembali, bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan antara diriku dan alam semesta.

Kejernihan pun akan muncul. Artinya, kita bisa sadar akan segala yang terjadi. Kita bisa melihat semua apa adanya. Ini amat berguna di dalam proses pembuatan keputusan di dalam hidup.

Kita tidak lagi reaktif terhadap keadaan, yakni secara buta bereaksi pada keadaan, tanpa pertimbangan apapun. Kita bisa hening, dan secara sadar bertindak menanggapi keadaan yang terjadi. Inilah inti dari hidup yang seimbang. Hening dan jernih di dalam batin, sambil kita aktif bekerja di dunia yang kompleks.

Dalam perjalanan, keheningan dan kejernihan bisa bersembunyi, karena pikiran egoistik yang muncul. Gangguan ini bisa amat kuat, karena kebiasaan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Kita pun seringkali merasa bersalah karenanya. Pada titik ini, kita hanya perlu kembali menjadi pengamat hening yang mengalami segalanya, tanpa kata. Perlahan tapi pasti, pikiran egoistik akan semakin jauh, dan penderitaan juga lenyap bersamanya.

Perjalanan dengan kereta malam Yogyakarta ke Jakarta menjadi salah satu perjalanan paling berkesan di dalam hidup saya. Seluruh pemahaman filsafat dan Zen saya mengerucut menjadi satu kalimat pendek, yakni “mengalami tanpa kata”, atau non-verbal experience. Dari saat ke saat, saya menjadi “pengamat yang hening” (silent observer) di dalam kehidupan.

Tertarik mencoba?

***