Jangan Abaikan Lagi Peringatan Widjo Kongko Terkait Potensi Tsunami Selat Sunda!

Jumat, 28 Desember 2018 | 15:33 WIB
0
417
Jangan Abaikan Lagi Peringatan Widjo Kongko Terkait Potensi Tsunami Selat Sunda!
Widjo Kongko (Foto: Suara.com)

Andai prediksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pernah disampaikan pada April 2018 dalam sebuah seminar itu tidak diabaikan, jumlah korban tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu (22/12/2018) malam itu, tidak akan sebanyak 436 orang meninggal.

Karena, pasti sudah ada antisipasi sebelum peristiwa itu terjadi. Selain korban meninggal, ada 1.465 luka-luka, dan 156 orang hilang. Tapi, sayangnya, prediksi itu justru diabaikan, malah berujung pada pemeriksaan terhadap peneliti BPPT oleh Kepolisian.

Prediksi yang dikeluarkan pada April 2018 tersebut berurusan dengan polisi karena dianggap membuat resah dan menyulitkan investasi. Karena dianggap menimbulkan keresahan, polisi pernah melakukan penyelidikan atas kajian ahli dari BPPT tersebut.

Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Banten Kombes Abdul Karim mengatakan bahwa dengan pernyataan itu muncul beberapa kekhawatiran. Pertama, muncul kekhawatiran berlebihan masyarakat di Pandeglang.

“Kedua, terkait investasi di Pandeglang. Pengaruhnya sampai di sana. Investor jadi takut karena akan ada tsunami,” kata Kombes Abdul karim, seperti ditulis berbagai media online, Senin (9/04/2018).

Bahkan, saat itu, polisi juga telah memberikan surat panggilan pada pihak-pihak yang terkait, termasuk pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). “Surat panggilan itu kita layangkan untuk dihadirkan Rabu dan Kamis,” ungkap Abdul Karim.

“Semuanya (dipanggil), penyelenggara seminar, BMKG, dan ahlinya,” lanjutnya. Potensi tsunami 57 m itu disampaikan Perekayasa Bidang Kelautan Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai (BTIPDP) BPPT Widjo Kongko.

Ia bicara saat Seminar Ilmiah oleh BMKG dalam rangka memperingati Hari Meteorologi Dunia ke-68 yang dilaksanakan Selasa (3/4/2018) di Gedung Auditorium BMKG, Jakarta dengan topik Sumber-sumber Gempabumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat.

Menurut Abdul Karim, pihaknya akan mengecek hasil penelitian yang dilakukan Widjo Kongko. “Belum bisa diuji, hasil analisis yang belum bisa duji. Akan kita cek penelitian dari mana,” lanjutnya.

Polisi berencana meminta keterangan ahli terkait hasil penelitian yang disampaikan Widjo Kongko. “Kalau hasilnya berbeda, (konsekuensi pidana) harus kena menurut saya. Kita kan mau lihat dulu motifnya, apa dasarnya dia mengatakan seperti itu dan dirilis media,” ujarnya.

Mengutip BBCIndonesia.com, Senin (9/4/2018), Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawatimengatakan masih akan memeriksa apakah BMKG telah menerima surat pemanggilan dari Polda Banten tersebut.

“Namun kami sebenarnya sudah komunikasi. Kami selalu komunikasi, koordinasi, bahkan dengan Gubernur Banten. Jadi, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami sudah berkunjung dan besok (Selasa) akan melakukan sosialisasi dengan pemerintah provinsi Banten untuk agar konteksnya masyarakat waspada tapi tetap tenang,” kata Dwikorita.

Menurutnya, angka 57 m itu adalah kajian yang sangat awal dari peneliti BPPT dan bukan BMKG yang mengumumkan. Kalau menurut UU Nomor 31 Tahun 2009, itu otoritas untuk menyampaikan ke publik atau diseminasi ke publik tentang gempa bumi dan tsunami, otoritas itu ada di BMKG.

“Jadi kalau kami tidak menyampaikan itu adalah salah. Namun, dalam menyampaikan ke publik, ada prosedurnya. Informasi yang disampaikan ke publik itu harus info yang benar-benar sudah didukung oleh data yang valid, akurat,” kata Dwikorita.

Selama data itu belum teruji atau tervalidasi dan terverifikasi, menurut Dwikorita, informasi itu tidak akan mereka sebarkan.

Ia mengatakan bahwa kepakaran dan reputasi Widjo Kongko dalam penelitian soal gempa “tak bisa dipungkiri”. Dan seminar ilmiah itu, menurut Dwikorita, memang rutin diadakan untuk menambah informasi dan data yang bisa menjadi acuan bagi BMKG.

Namun, penelitian awal yang disampaikan oleh Widjo Kongko kemudian “sudah tersebar”. “Hasil penelitian itu belum menjadi acuan kami. Belum ada data yang kami jadikan acuan yang menunjukkan tinggi tsunami mencapai 57 meter,” ujar Dwikorita.

Di media sosial, warganet memberikan tanggapan yang beragam. Ada yang membagikan informasi tersebut sambil menulis, “tetap berdoa” atau “tetap aman” dan ada juga yang menyatakan bahwa BPPT “pesimis dan menakut-nakuti”.

Akun milik juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, @Sutopo_PN dan @infobencana juga ikut memberikan klarifikasi atas bagaimana informasi tersebut seharusnya ditanggapi.

BPPT sudah mengeluarkan penjelasan lengkap pada Jumat (06/04/2018) untuk menanggapi berbagai pertanyaan yang muncul akan potensi tsunami tersebut. Menurut mereka, paparan soal potensi tsunami di Jawa bagian Barat merupakan “hasil kajian awal”.

Sumber-sumber tsunami itu adalah dari gempa bumi “megathrust” yang peta-petanya telah diterbitkan dalam buku “Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017” oleh Pusat Studi Gempa Nasional PusLitBang Perumahan & Pemukiman BaLitBang Kementerian PUPR, peta pada halaman 345: C7 Segmentasi dan Mmaks Subduksi Indonesia.

BPPT juga menyatakan bahwa potensi tsunami di Jawa bagian Barat adalah “hasil kajian akademis awal dari simulasi model komputer dari skenario terburuk” atau dari “data sekunder dengan resolusi rendah”.

Dalam skenario terburuk itu, indikasi potensi ketinggian tsunami di wilayah pantai utara Jawa Bagian Barat (Bekasi hingga Serang) adalah maksimum hingga ~25 m, dan di wilayah pantai barat-selatan (Pandeglang hingga Ciamis) adalah maksimum hingga 50m.

BPPT juga menyarankan perlunya kajian menggunakan data yang lebih akurat, khususnya di daerah perairan pantai. Namun mereka juga menegaskan, “Meskipun ini adalah hasil kajian awal, tetapi telah mengindikasikan adanya potensi tsunami yang besar di sepanjang pantai Jawa Bagian Barat.”

Sayangnya, potensi tsunami yang disampaikan BPPT malah dipolisikan. Dan, pada Sabtu (22/12/2018), prediksi BPPT itu terbukti. Dari pengakuan nelayan yang mengalami sendiri saat tsunami selat Sunda, menyebutkan tinggi tsunami melebihi gunung.

Carmudi, 40 tahun, nelayan, yang selamat dari peristiwa tsunami Selat Sunda menuturkan. Sebelum terjadinya tsunami pada Sabtu (22/12/2018) malam, terjadi kejadian mencekam di kawasan Gunung Anak Krakatau.

Amukan gunung tersebut menyebabkan air laut tumpah ke daratan yang berada di sekitarnya. Nelayan itu mengatakan saat peristiwa tsunami, ia bersama anak dan teman-temannya sedang berada di tengah laut untuk mencari ikan.

Menurutnya Gunung Anak Krakatau meluapkan isinya, hingga air laut meninggi melewati gunung tersebut. “Air besar, melebihi gunung airnya, dua kali terjadi. Air melewati gunung,” kata Carmudi saat ditemui JawaPos.com di RSU Berkah Pandeglang, Banten, Senin (24/12).

Kapal yang ditumpangi pun hancur diterjang tsunami pada malam itu. Beruntung Carmudi punya keahlian untuk berenang. “Sempat terombang-ambing di laut. Selamatnya karena bisa berenang terus ditolong sama kapal lain, ikut kapal lain,” ucap Carmudi terlihat trauma.

Peristiwa nahas itu mengakibatkan wajah dan kaki nya terlihat memar. Mencermati peristiwa tsunami di Pantai Barat Provinsi Banten pada 22 Desember 2018, malam hari sekitar pukul 21.27 WIB, maka BMKG menyampaikan tanggapannya.

Menurut Dwikorita, BMKG mendeteksi dan memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku pada 22 Desember pukul 07.00 hingga 25 Desember pukul 07.00 di wilayah perairan Selat Sunda.

Pada pukul 09.00-11.00 terjadi hujan lebat dan angin kencang di perairan Anyer. BMKG berkoordinasi dengan Badan Geologi melaporkan, pada pukul 21.03 Gunung Krakatau erupsi kembali sehingga peralatan seismometer setempat rusak.

Tetapi seismik Stasiun Sertung merekam adanya getaran tremor terus-menerus (tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan). Berdasarkan rekaman seismik dan laporan masyarakat, peristiwa ini tidak disebabkan oleh aktivitas gempabumi tektonik.

Namun sensor Cigeulis (CGJI) mencatat adanya aktivitas seismik dengan durasi +- 24 detik dengan frekuensi 8-16 Hz pada pukul 21.03.24 WIB. Berdasarkan pengamatan tidegauge (sementara), didapatkan data sebagai berikut:

Tidegauge Serang di Pantai Jambu, Desa Bulakan, Kec. Cinangka, Kab Serang: tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian 0.9 m; Tidegauge Banten di Pelabuhan Ciwandan, Kec. Ciwandan : tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0.35 m.

Tidegauge Kota Agung di Desa Kota Agung, Kec. Kota Agung, Lampung : tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0.36 m; Tidegauge Pelabuhan Panjang Kec. Panjang Kota Bandar Lampung : tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0.28 m.

Kepada masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh dengan isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Juga diimbau untuk tetap menjauh dari pantai perairan Selat Sunda, hingga ada perkembangan informasi dari BMKG dan Badan Geologi.

Demikian himbauan Kepala BMKG Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, MSc, PhD yang dirilis di Jakarta, 22 Desember 2018. Widjo Kongko pun kembali mengingatkan potensi tsunami lagi di Selat Sunda.

Melansir JawaPos.com, penyebab tsunami di Selat Sunda yang menyebabkan ratusan korban jiwa itu karena longsoran di sekitar lereng Gunung Anak Kratau itu akibat adanya fase erupsi dan juga hujan dengan curah tinggi.

Menurut Widjo Kongko, lereng Anak Krakatau runtuh dan menyebabkan tsunami. “Kalau runtuh lautnya bergelombang,” ujarnya. Kalau dari satelit luasannya sekitar 60 ha. “Untuk kedalamannya saya belum tahu,” lanjut Widjo Kongko.

“Tapi perkiraannya antara 100-150 juta kubik yang ambrol. Sekitar pukul 20.55 hampir jam 9 (malam) yang terekam di Seismograf Jerman dan BMKG,” ungkap Kepala Bidang Mitigasi Bencana Persatuan Insinyur Indonesia (PII) ini.

Ia mengatakan, setelah longsor secara logika di lereng Anak Krakatau akan lebih curam. Karena longsoran itu menyebabkan ketidakstabilan yang baru. “Itu bisa longsor berikutnya, makanya sekarang sepakat daerah itu masih rawan,” ujarnya.

“Fase erupsi terus masih ada hujan. Longsoran bisa lebih besar atau lebih kecil. Saya tidak tahu, jadi potensinya ada,” ungkap pria lulusan S3 Leibniz University Hannover Jerman itu.

Sebuah peringatan dan himbauan yang tentunya tidak perlu lagi diperiksa oleh pihak Polri, bukan?

***