Fenomena Mazhab "Jembatan Serong"

Tak perlu tergantung pada sumber daya agama tertentu, atau memilih tunduk pada penguasa yang mengancam akal sehat dan sikap kritis yang ada.

Jumat, 8 Juli 2022 | 07:44 WIB
0
127
Fenomena Mazhab "Jembatan Serong"
STF Driyarkara (Foto: Driyarkara.ac.id)

Banyak pencerahan yang saya alami, ketika belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (selanjutnya STFD), Jakarta. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya diajak berpikir mendalam tentang kehidupan. Tidak hanya itu, saya juga diajak menanggapi secara kritis dan sistematik semua yang saya pelajari, termasuk keadaan sosial politik ekonomi yang terjadi di sekitar. Para pengajar yang bermutu tinggi bersikap sangat terbuka dan egaliter, sehingga STF Driyarkara, di masa itu, dapat dianggap sebagai komunitas akademik terbaik tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.

Ini terjadi pada 2002 sampai 2008 lalu. Di 2022 ini, saya masih dekat dengan salah satu dosen saya, yakni Pak Fransisco Budi Hardiman. Dia juga salah satu alumnus dari STF Driyarkara yang memiliki pengaruh besar di Indonesia. Dalam salah satu percakapan di media sosial, kami sempat berbincang tentang Mazhab Jembatan Serong yang menjadi ciri khas dari STF Driyarkara, persis karena STF memang terletak di Jembatan Serong, Cempaka Putih, Jakarta Timur.

Mengapa Jembatan Serong? Jembatan ini mengandung memori istimewa. Selama bertahun-tahun, jembatan ini menjadi titik datang dan pulang mahasiswa maupun dosen di STFD. Ada satu warung tegal yang menjadi tempat makan siang maupun diskusi kami dulu. Dari sinilah berbagai komunitasi diskusi di STFD lahir, lalu menghasilkan alumnus-alumnus bermutu tinggi, seperti yang kita saksikan bersama sekarang ini.

STF Driyarkara

Apa itu Mazhab Jembatan Serong? Ini adalah roh akademik STFD. Untuk bisa memahami mazhab ini, kita perlu memahami secuil sejarah dari STFD. Kata Driyarkara diambil dari nama seorang filsuf Indonesia yang bernama Nicolaus Driyarkara, seorang guru besar filsafat di Universitas Indonesia dan IKIP Sanata Dharma (sekarang menjadi universitas).

Ia memang mengharapkan, agar bisa berdiri suatu sekolah tinggi ilmu filsafat di Jakarta. Harapannya terwujud pada 2 Februari 1969, persis dua tahun, setelah ia meninggal. Awalnya, perkuliahan dilakukan di jalan H. Agus Salim, Jakarta, yakni di ruang tamu Susteran Theresia. Dua tokoh juga membantu proses lahirnya STFD, yakni Fuad Hassan dan Slamet Iman Santosa. 

Sekarang ini, STFD memang sudah dikenal secara umum. Ia menawarkan program sarjana, magister dan doktoral di bidang filsafat. Ditawarkan juga semacam kursus untuk masyarakat umum di bidang filsafat dan teologi. Alumnusnya pun tersebar di berbagai ranah kehidupan, dan memiliki pengaruh besar di masyarakat luas, mulai dari jurnalis, politikus, pemuka agama, konsultan, dosen sampai dengan penulis yang sangat produktif dan berpengaruh luas.

Roh Mazhab Jembatan Serong

Ini terjadi, karena adanya fenomena Mazhab Jembatan Serong. Ada lima ciri dari mazhab ini. Yang pertama adalah sistematika berpikir yang kokoh dan mendasar. Semua orang yang pernah belajar di STFD pasti diajarkan untuk berpikir secara sistematik dan mendasar.

Ini dilakukan dalam dialog dengan para filsuf dunia di berbagai tradisi, mulai dari Yunani Kuno, Asia, Islam, Kristen, Modernitas, Marxisme, Fenomenologi, teori kritis dan sebagainya. Kita belajar untuk berpikir dan berpendapat secara rasional, logis serta sistematik. Kita diajar untuk menulis dengan berpijak pada teks-teks filsafat yang asli, serta mampu menyampaikannya secara sederhana untuk masyarakat luas.

Dua, dengan dasar sistematika berpikir yang kokoh, berbagai pertimbangan pun bisa dilakukan secara kritis. Kita diajak tidak hanya untuk menelan mentah-mentah semua pemikiran yang ada, tetapi mengolahnya secara kritis. Kita memisahkan apa yang baik dan apa yang kurang dari satu aliran berpikir tertentu, atau satu filsuf tertentu. Sikap dogmatik, atau percaya buta, pun tak punya ruang untuk berkembang di Mazhab Jembatan Serong.

Pertimbangan kritis dan seimbang semacam itu tidak hanya ditujukan pada pada teori filsafat, ataupun filsuf tertentu. Keadaan masyarakat luas pun menjadi bahan kajian yang mendalam. Bagaimana filsafat bisa memberikan pencerahan bagi keadaan masyarakat yang terus ditantang oleh berbagai krisis? Pertanyaan ini kiranya yang menjadi salah satu roh terpenting dan pergulatan tanpa henti dari Mazhab Jembatan Serong.

Tiga, mazhab ini pun selalu punya arah etis yang kuat. Etis, dalam arti ini, bukanlah berarti moralitas tradisional yang kerap kali menindas, dan ketinggalan jaman. Etis, dalam arti ini, adalah upaya terus menerus untuk melawan ketidakadilan di berbagai bidang dengan menggunakan filsafat sebagai pisau analisis. Tujuan utama adalah pembebasan secara menyeluruh, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali.

Ini dengan jelas dilakukan oleh para pengajar dan alumnus STFD. Nama-nama besar, seperti Franz Magnis-Suseno, almarhum B. Herry Priyono, F. Budi Hardiman dan sebagainya, adalah para pemikir yang terus terlibat di dalam permasalahan dunia. Mereka menghadirkan kejernihan dan pencerahan, ketika krisis melanda. Semua ini didasarkan pada arah etis yang jelas, yakni pembebasan masyarakat menuju keadilan dan kemakmuran untuk semua.

Empat, Mazhab Jembatan Serong pun menjadi politis. Ini bukan berarti hanya terlibat menjadi caleg atau capres. Menjadi politis berarti terlibat penuh di dalam berbagai tantangan yang muncul di dalam masyarakat. Filsafat tidak menjadi ilmu menara gading yang membicarakan hal-hal abstrak dan tak berguna.

Mazhab Jembatan serong tidak pernah malu terlibat di dalam berbagai tantangan dunia. Ketika globalisasi dan neoliberalisme merangsek dunia, berbagai kajian yang mendalam dan kritis dilakukan. Ketika dunia digital mengubah dunia, hal yang sama pun terjadi. Mazhab Jembatan Serong, sebagai roh akademik dari STFD, selalu relevan dan kontekstual.

Lima, ada satu ciri epistemologis yang kiranya melekat di dalam semua kajian Mazhab Jembatan Serong, yakni demitologisasi kritis holistik. Demitologisasi adalah proses tanpa henti untuk menyibak berbagai mitos (kesalahan berpikir) yang hadir di masyarakat. Mitos-mitos ini tersebar luar di berbagai bidang, mulai dari agama, politik, ekonomi, budaya sampai dengan seni. Dampaknya pun amat merusak, mulai dari kesalahan pengambilan kebijakan sampai konflik brutal yang berkepanjangan.

Demitologisasi ini bisa dilakukan, jika sikap kritis dirawat dengan seksama. Sikap kritis adalah sikap tak gampang percaya oleh ujaran ataupun tampilan luar. Dengan sikap kritis, Mazhab Jembatan Serong menembus semua gejala, untuk memahami hakekat dari apa yang sesungguhnya terjadi. Kejernihan ini adalah dasar yang amat kuat untuk pembuatan kebijakan yang tepat, serta penciptaan budaya perdamaian yang berkelanjutan.

Semua ini dilakuan secara holistik. Artinya, semua teori digunakan untuk memahami gejala. Tidak ada satu teori, ajaran atau aliran berpikir yang disembah secara dogmatis. Yang tersedia digunakan secara menyeluruh untuk memahami dunia dengan jernih. Mazhab Jembatan Serong pun tetap gesit menari di tengah berbagai perubahan dunia yang terjadi.

Beberapa Catatan

Kini, alumnus dari Mazhab Jembatan Serong tersebar di berbagai penjuru dunia. Mereka mewarisi roh akademik mazhab ini. Tak heran, alumnusnya pun mampu memberikan warna khas, dimanapun mereka berkarya. Namun, ada dua catatan yang penting untuk diperhatikan.

Pertama, melihat kualitas institusi yang menopang Mazhab Jembatan Serong, yakni STFD, ada satu masalah mendasar. Mutu pengajarnya tidak sebaik sebelumnya. Para pengajar baru adalah pemuka agama yang hidup dalam kenyamanan. Karya mereka pun sedikit, sehingga keterlibatan kritis dan politis mereka jauh lebih rendah, jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Dua, ada kecenderungan menjilat kekuasaan di generasi sekarang. Beberapa kali, saya mengikuti seminar umum di STFD. Pembicaranya adalah tokoh politik ataupun agama yang sedang berkuasa, dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan STFD, atau Mazhab Jembatan Serong, sebagai roh akademiknya. Tidak ada sikap kritis dan sistematik di dalam diskusi, sehingga roh akademik Mazhab Jembatan Serong seolah tumpul dan pingsan.

Mungkin, hal ini terjadi, karena rasa takut yang muncul di dalam institusi. STFD dirasa perlu untuk dekat dengan kekuasaan, seperti kementerian ataupun perwakilan rakyat, supaya bisa terus bertahan keberadaannya. Ketakutan ini menghancurkan roh akademik yang bernuansa demitologisasi kritis holistik, seperti yang dijelaskan sebelumnya. STFD pun, sebagai rumah bagi Mazhab Jembatan Serong, terancam menjadi alat kekuasaan, dan kehilangan roh akademik Mazhab Jembatan Serongnya.

Ini tentu sangat disayangkan. Padahal, banyak sekali alumnus bermutu tinggi dari Mazhab Jembatan Serong yang tersebar di berbagai bidang. Mereka bisa diberdayakan untuk meningkatkan mutu sekolah yang sangat unik dan bermutu ini. Tak perlu tergantung pada sumber daya agama tertentu, atau memilih tunduk pada penguasa yang mengancam akal sehat dan sikap kritis yang ada.

***