Mantan Tekyan yang Menjadi Pejuang Anti-Kejawen Phobia (3)

Mereka-mereka yang dengan KTP agama tertentu, harus mau ikut jadi takmir rumah ibadah tertentu. Ikut ritual ini itu, sekedar untuk dianggap sebagai warga.

Kamis, 14 April 2022 | 09:11 WIB
0
193
Mantan Tekyan yang Menjadi Pejuang Anti-Kejawen Phobia (3)
Pura (Foto: Facebook/Andi Setiono)

Kejenuhan akan situasi paca-pandemi, membawa saya akhirnya juga merasa butuh keluar rumah. Saya merasa sebagai bagian dari yang "tertipu" oleh pageblug ini. Memang semua prokes sudah saya jalankan dengan baik, seluruh kewajiban vaksin sudah saya jalankan. Tapi Covid-19, tak kunjung "menyentuh" saya. Padahal semua orang di rumah sudah, kenapa saya belum? Padahal secara umur, fisik, psikologis harusnya saya juga.
Bagi saya ini anomali, karena akhirnya saya hanya harus percaya pandemi dengan melihat orang lain jadi korban.

Di sosial media, orang mensyukuri masih hidup dengan tak kalah anehnya. Menganggap Covid-19 tak seberbahaya yang dikabarkan di media. Tak seheboh yang para buzzer-media yang konon dibayar para oligarki farmasi itu besar-besarkan. Realitasnya, statistik kematian tak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, juga prosentase nilainya tetap. Sementara kita lihat Si Menteri Kesehatan yang penuh integritas dan pendiam itu dibantai layaknya binatang yang layak dikorbankan. Sementara si Menteri Superman itu, ketahuan ia di balik isu perpanjangan masa jabatan Presiden. Hanya sekedar agar semua bisa berjalan kembali normal.

Mereka tak lagi membicarakan lagi apa itu new-normal. Karena, sesungguhnya tak pernah terjadi apa-apa. Berarti mungkin inilah paranoid berjamaah terbesar dalam sejarah umat manusia. Masing2 kepala kita boleh tidak setuju, tapi sulit dipungkiri data-data nyata tersebut...

Ndilalah, sahabat saya ini sejak lama mengundang saya ke Trowulan. Tempat ia bertempat tinggal, setelah sekian lama jadi tekyan domestik di Jogja. Ia bercerita, bahwa ada beberapa orang yang baru pulang turun bertapa di banyak gunung di Jawa Timur. Dia menggoda saya, akan sangat menarik bila saya bisa bertemu dan ngobrol dengan mereka. Bukan kebetulan juga, bumi seolah kelopak bunga yang sedang merekah dimana-mana. "Penindasan" terhadap kultur lokal dijawab oleh alam, dengan munculnya banyak artefak arkeologis baru di banyak tempat.
Trowulan tentu bukan tempat yang asing bagi saya. Telah belasan kali saya mengunjunginya. Setiap ke Magetan, Surabaya, Malang atau Bali. Atau pokoknya jalan ke Timur, sebetapa pun sebentarnya saya sempatkan mampir. Nyaris seluruh jenis koleksi "kitsch tiruan" yang bisa dibeli secara bebas saya mengkoleksinya. Apakah itu terakota, logam, atau batu. Beberapa kali ditawari yang katanya itu "yang asli", saya menyahut saya beli yang palsu dan tiruan-nya saja. Takut kena karma leluhur Majapahit. Saya berbalik sarankan jual pada orang lain, atau serahkan pada museum.

Menyentuh pun saya tidak mau, takut tergoda mereka "ngikut" saya. Tapi ditawari bertemu dengan para sesepuh Trowulan yang baru turun gunung adalah sesuatu yang tak bisa begitu saja saya lewatkan.

Namun begitu turun dari bis, saya disambut "tuan rumah" saya dengan cerita bahwa di Trowulan sekarang sudah banyak home-stay baru.

Mula-mula saya terpesona, karena di sepanjang jalan Gerbang Masuk Trowulan memang banyak sekali "homestay" baru. Sebuah rumah limasan mini, dengan batu bata merah terakotta yang nyaris ada di setiap halaman depan rumah penduduk. Masing-masing homestay diberi nama dengan bahasa Sansekerta menurut selera masing-masing pemiliknya. Di salah satu homestay itu saya ditempatkan. Belakangan saya baru tahu inilah role-model, homestay terbaik, yang dikelelola dengan sangat profesional. Sayangnya ia hanya satu-satunya yang jalan.

Mulanya hati saya "bungah", dengan kemajuan ini. Trowulan jadi desa wisata model baru. Pemerintah punya kepedulian. Walau akhirnya jadi sangat masgul dan kecewa, proyek yang mula-mula hanya 30 rumah itu. Lalu dikembang biakkan jadi "konon" sampai sekitar 300 sampai kelak 600 rumah di seluruh Kecamatan Trowulan, tersebar di 6 desa. Ia berhenti sekedar proyek fisik, tampak sebagai keadilan yang merata. Tapi, kita akan kaget bahwa dari sekian banyak itu yah hanya sekitar 30 di koridor utama yang laku dan berfungsi sesuai tujuan mulanya.

Selebihnya, homestay itu berubah jadi ruang tamu, atau warung, atau apa pun menurut selera si pemiliknya. Begitulah sambutan awal kedatangan saya di Trowulan. Padahal maksud saya adalah untuk ngisi charge baterai spiritual saya. Saya merasa seolah saya ini wisatawan yang harus dijamu oleh Trowulan. Saya jadi merasa asing sendiri, sedari awal menginjak kaki di era Jokowi ini ...
Saya berharap ladang-ladang yang tersisa itu bercerita tentang keagungan ibukota Majapahit. Suatu ladang luas yang sejak masa Henri Maclaine Pont, arsitek cum arkeolog berkolaborasi Bupati Mojokerto, Kanjeng Adipati Ario Kromodjojo Adinegoro mulai makna penting. Di atasnya lalu dibangun Museum Trowulan untuk mencegah penjarahan dan pencurian artefak dari situs Trowulan. Sayangnya setelah lebih dari seratus tahun, upaya itu bukan saja gagal total berkembang secara arkeologis sebagaimana mungkin Borobudur, atau Prambanan, atau yang terbaru Liyangan. Yang bisa jadia rea yang terbebas dari rambahan.
Untuk menjadikannya situs Trowulan sebagai yaitu sebagai sebuah padang perlindungan. Ia tak banyak berubah secara berarti.
Padahal, ya padahalnya di setiap sejarah, Majapahit tercatat sebagai kerajaan terbesar yang ada di bumi Nusantara. Yang jejak dan nilai-nilainya diserap habis oleh bangsa ini. Ya benderanya, ya simbol kenegaraannya, ya para tokoh termasyurnya. Serat-seratnya selalu dijadikan acuan mencari jejak-jejak keberadaban masa lalu sebagai pondasi kehidupan masyarakat yang lebih maju, yang lebih toleran, suatu masyarakat modern yang bersedia hidup dalam keberagaman dan perbedaan. Majapahit adalah segala-galanya dalam denyut nadi keinginan membesarkan negara yang konon diwadahi dalam NKRI.

Sesuatu yang plek ketiplek meniru Majapahit, sebuah rentang luas kemana saja wilayah ini terjelajahi dan terangkum. Kemana saja catatan mereka ditinggalkan. Sebuah susuran lautan, yang masuk ke sungai-sungai. Naik turun ke gunung dan lembah. Hanya sekedar menunjukkan di sini bendera Merah Putih Majapahit pernah berkibar....

Dan mereka para pewarisnya itu, alih-alih membangun kembali kebesaran Majaphit dalam peta besarnya sebagai sebuah kota. Mereka lebih suka membangun ibukota baru dengan meminjam kosa kata yang dulu besar lalu kembali dikecilkan sebagai Nusantara. Di situsnya, alih-alih membebaskan padang luas itu sebagai sebuah kesatuan konservasi. Mereka lebih suka membangun sesuatu untuk hajat hidup hari ini. Dengan tanpa malu mereka menutup kembali, dengan mengurugnya kembali dalam kuburan raksasa atas berbagai temuan baru atas dasar menjaga keimanan hidup masyarakat hari ini.

Mereka mendirikan bangunan-bangunan megah berotot besi baja, hanya untuk menyombongkan diri bahwa kepercayaan hari ini jauh lebih berotot daripada berakal. Yang tak akan terhembas dan tertimbun sebagaimana dulu kerajaan ini dikalahkan oleh "waktu". Ya oleh waktu, bahwa sudah saatnya mereka terkubur. Tak boleh lagi bangkit atas alasan apa pun.
Saya mampir ke sebuah situs yang secara lucu diisukan sebagai "sebuah pura yang dimualafkan". Saya tersenyum mosok iya segitunya? Ketika sebuah bangunan baru yang seluruh arsitekturnya bernuansa ala-ala Majapahit, dengan gerbang sendang kapitan. Diceritakan itu bukan pura, itu dulu padepokan seorang dukun. Demikianlah mereka memprejudice dan menstigma aliran Kejawen. Aliran Kejawen selalu dipersangkakan sekedar sebagai praktek klenik dan mistik. Dulu bangunan ini adalah sumber keresahan masyarakat.

Lalu datanglah seorang kaya menjadikannya sebuah pesantren atau apalah anamnya, agar ia menjadi bangunan yang sesuai dengan keimanan masyarakat mayoritas hari ini. Menghilangkan jejak kepuraannya, dengan menabalkan banyak bendera merah putih dan tulisan-tulisan. Saya diberi contoh, bagaimana sebuah sekolah menengah pertma di setiap sudut bangunan kelasnya dipasangi TOA-TOA besar. Sekedar untuk menyambut anak-anak untuk belajar dengan berbagai bacaan Nabi. Agar mereka tak kembali mengenali masa lalunya. Ah sudahlah....
Lalu tercapaikah tujuan saya? Tentu saja, selalu ada pelajaran berharga dari sengkarut "wong ndalan", para pencari yang berangkat bukan untuk tujuan menemukan. Tapi sekedar "nglakoni laku". Di sebuah padepokan, yang lebih tepat disebut gardu ronda saya bertemu banyak sedulur-dulur baru. Seorang yang dianggap guru lalu banyak bercerita. Bagaimana ia menyantuni kepercayaan lamanya, dengan harus terlalu banyak berkompromi. Dengan segelintir umat, yang menjamu tamu dengan cara lucu. Apa pun bakul makanan yang lewat dibeli untuk saling dipertukarkan untuk dinikmati.

Mereka-mereka yang dengan KTP agama tertentu, harus mau ikut jadi takmir rumah ibadah tertentu. Ikut ritual ini itu, sekedar untuk dianggap sebagai warga. Dan bahkan ketika berdoa bersama, dalam hening malam tanpa lampu. Ia harus menyisipkan rapalan dari doa-doa yang berasal dari apalan surat yang paling standar itu. Saya tidak tahu, apakah mereka kehilangan jejak rapalan matau mantra-mantra aslinya. Saya menduga hanya dengan cara inilah cara mereka bertahan. Sependek yang saya tahu mereka hanya menekankan dengan keras di awal dan akhir doa mereka sebagai identitas sejati mereka:

Rahayu, rahayu, rahayu sagunging dumadi...

(Selesai)

NB: Di tengah tekanan dan rangsekan beban kehidupan tak terperi inilah, sahabat tekyan saya ini menjalani hidupnya. Ia memilih kembali sebagai Kejawen, ia kesana kemari menjadi penyemangat hidup. Tak malu menunjukkan identitasnya bukan dengan peci, tapi dengan kethunya. Ia adalah alien yang jauh dari habitat aslinya sebagai tekyan Malioboro. Ia terasing tapi bahagia. Ia tak segan mengundang orang yang sefrekuensi dengan dirinya untuk menjadi saksi gelap nasib Indonesia di hari ini...
Ia bernama Afan, nama lengkapnya Afan Refanol. Nama belakangnya itu adalah pilihan ibunya yang diambil dari nama obat anti-desinvektan untuk mengobati luka. Bukan kebetulan, ia berjalan dari satu diskusi ke diskusi lainnya. dari satu komunitas ke komunitas lainnya sebagaimana dulu ia dibesarkan sebagai obyek penderita, sebagai tekyan anak jalanan. Sesuatu yang bukan tanpa sengaja, malah memperkaya perspektif dan spiritual hidupnya. Ia mengatasi banyak phobia, stigma yang ditabalkan secara keterlaluan. Ia banyak mengobati luka para minoritas yang terbuang, dengan membesarkan hatinya.
Ia merawat ke-Indonesi-an kita dengan caranya sendiri. Ia membela kepercayaan leluhurnya, yang sudah dianggap di batas ambang kepunahan. Justru di situs yang dianggap sebagai titik tolak kebesaran bangsanya: Trowulan!