Hasrat akan Identitas

Hasrat akan identitas dan kehendak agar orang lain sama dengan diri kita, itu adalah sesuatu yang "alamiah" pada setiap manusia. Mungkin ini adalah bagian dari mekanisme atau cara manusia untuk pertahanan diri; "survival mechanism".

Selasa, 2 November 2021 | 07:35 WIB
0
180
Hasrat akan Identitas
Identitas (Foto: objectivo)

Ini adalah "kaidah rohani" yang saya pegangi untuk melihat segala masalah, baik yang bersifat keagamaan atau umum: Keragaman adalah sunnah atau hukum Tuhan yang akan selalu melekat pada semua hal.

Mungkin kaidah ini, bagi sebagian orang, dianggap klise dan "truisme" belaka -- sesuatu yang sudah "self evident", benar dengan sendirinya, tidak perlu dijelas-jelaskan lagi. Tetapi, sering kali kita, atau minimal saya, melupakan kaidah dasar dalam ciptaan Tuhan ini. Bukti bahwa kita sering lupa hal ini adalah kecenderungan kita untuk (kalau bisa) memaksa semua orang sama dengan diri kita. Mungkin "pemaksaan" ini tidak kita lakukan secara terang-terangan.

Pemaksaan ini kita lakukan secara "sembunyi-sembunyi"; misalnya: secara diam-diam kita, dalam hati, sebenarnya "kemrungsung", ngotot menghendaki agar semua orang sama pendapat dan pandangannya dengan diri kita. Jika ada yang berbeda pendapat, kita mencoba, dengan argumen yag berbusa-busa, untuk meyakinkan orang itu bahwa pendapat dia salah, dan hanya sayalah yang benar.

Dalam bahasa filsafat, kita bisa mengatakan: hasrat akan "identitas" (yaitu segala hal harus sama dengan "diri" kita) selalu ada pada setiap manusia. Jika ada "liyan" yang berbeda, kita langsung cemas dan ingin "menaklukkan" perbedaan itu agar bisa terserap dalam "identitas diri" kita.

Dengan kata lain, Tuhan menghendaki perbedaan, tetapi diam-diam kita menghendaki "kesamaan". Ketika "liyan" atau orang lain sama dengan diri kita, kita merasa "nyaman", tenang, karena kedirian kita terkonfirmasi. Tabiat manusia memang cenderung melihat dirinya sebagai "pakubumi", pusat untuk melihat dan mengukur orang lain.

Jika orang lain itu sama dengan kita --misalnya, warna kulitnya, budayanya, agamanya, dll.,-- kita akan senang. Jika dia berbeda, kita merasa terancam, atau minimal cemas. Dalam bentuknya yang buruk dan destruktif, hasrat ini bisa muncul dalam bentuk "agresi": menyerang pihak lain yang berbeda.

Era medsos saat ini memberikan ruang yang luas, bahkan memfasilitasi bangkitnya agresi atas "liyan" yang berbeda ini, sebagaimana terungkap dalam Facebook Papers yang bocor dan menjadi kontroversi akhir-akhir ini di Amerika. Platform seperti Facebook bekerja melalui sebuah algoritma yang unik: yaitu meningkatkan "keterlibatan" (engagement) melalui isu-isu yang "divisive", membelah publik, menimbulkan polarisasi.

Sifat manusia memang cenderung menyukai hal-hal yang "panas". Polarisasi adalah situasi panas yang menaikkan "selera" netizen untuk ikut "nimbrung" dalam percakapan, dan dengan demikian tingkat "keterlibatan" akan naik. Naiknya keterlibatan netizen berarti mengucurnya keuntungan moneter bagi pencipta sebuah platform. Sifat-sifat alamiah yang menyukai hal-hal yang "panas" inilah yang dimanfaatkan dengan cerdik oleh Facebook dan platform medsos yang lain.

Jika kita telusuri lebih dalam, apa sih sumber utama polarisasi itu? Sumbernya tiada lain adalah hasrat akan identitas. Karena kita ingin agar semua orang "sama" (identik --> identitas) dengan diri kita, tetapi toh kenyataannya itu tidak mungkin terjadi (karena "by nature", realitas akan selalu beragam), maka lahirlah situasi ini: "Saya" versus "mereka" yang berbeda.

Polarisasi biasanya muncul bukan sekedar karena ada "liyan" yang berbeda. Polarisasi adalah tahap lebih lanjut dari keragaman yang faktual itu -- yakni, kehendak kita untuk memaksa yang lain itu sama dengan diri kita.

Baca Juga: Ilmu Politik [21] Bangkitnya Politik Berbasis Identitas dan Dampaknya pada Negara

Saya sendiri memiliki kecenderungan ini. Saya, misalnya, sering tidak sabar manakala melihat orang-orang yang memiliki pandangan keagamaan yang tidak sama dengan diri saya. Saya, diam-diam dalam hati, sebetulnya ingin "menaklukkan" argumen orang-orang itu agar mereka berubah pandangan dan menyetujui pendapat saya.

Saya diam-diam merasa cemas, mungkin malah terancam, terhadap orang-orang semacam itu. Diam-diam, saya memiliki pikiran semacam ini: ketika seluruh dunia sudah seragam dan sama dengan diri saya, barulah saya merasa bahagia dan damai. Sebelum itu, saya cenderung "gemas" dan ingin melakukan "jihad" untuk menaklukkan liyan-liyan yang berbeda itu.

Hasrat akan identitas dan kehendak agar orang lain sama dengan diri kita, itu adalah sesuatu yang "alamiah" pada setiap manusia. Mungkin ini adalah bagian dari mekanisme atau cara manusia untuk pertahanan diri; "survival mechanism".

Tetapi, alangkah baiknya, manakala hasrat itu mendesak-desak dan hendak menyatakan diri ke permukaan, kita mengingat kembali "kaidah rohani" di atas: bahwa Tuhan menghendaki keragaman di dalam segala hal.

Alangkah baiknya kita mengatakan "Ya" kepada sunnah Allah ini. Sebab, mengingkari hukum Allah ini hanyalah membawa kita kepada sikap "kemrungsung", ngotot, dan menjadikan kita tak bahagia.

***