Kekuasaan dan Hakekat Manusia

Tugas kita bersama menjamin, bahwa para penguasa busuk akan dikutuk, dan turun dari jabatannya. Di alam demokrasi, ini bukan hanya mungkin, tetapi juga suatu kewajiban.

Sabtu, 4 Juli 2020 | 06:58 WIB
0
454
Kekuasaan dan Hakekat Manusia
Niccolo Maciavelli (Foto: Republika.co.id)

Ibu-ibu pejabat itu kurang ajar. Dia menggunakan pengawalan polisi untuk membelah kemacetan ibu kota.

Semua orang terganggu. Suara sirene dan sikap supir pejabat yang agresif membahayakan pengguna jalan lain.

Padahal, ia hanya mau ke mall untuk arisan dengan ibu-ibu pejabat lain. Begitulah perilaku pejabat yang merasa berkuasa di Indonesia.

Kemungkinan besar, ia bukan orang jahat. Bahkan, mungkin ia suka beragama, yakni menggunakan tampilan dan sikap religius di hadapan umum.

Namun, karena suaminya pejabat, ia merasa punya hak bertindak semaunya. Kekuasaan membuat orang korup.

Machiavelli dan Kekuasaan

Musim dingin di Italia tahun 1513, seorang pegawai kota menulis buku kecil dengan judul The Prince, atau Sang Pangeran. Baginya, buku kecil tersebut adalah karya kesayangannya.

Di masa depan, buku itu menjadi salah buku politik yang paling berpengaruh di dunia. Buku itu bahkan menjadi inspirasi bagi Raja Louis XIV, Kanselir Stalin, Kanselir Otto von Bismarck dari Prussia, Mussolini dan bahkan Hitler.

Mengapa buku itu menarik perhatian banyak penguasa besar? Mengapa buku itu amat berpengaruh?

Jawabannya sederhana. Buku tersebut dapat diterapkan.

Jika anda ingin berkuasa, anda harus merebutnya. Untuk itu, rasa malu harus disingkirkan. Moral dan empati juga harus ditunda.

Ingatlah, di dalam kekuasaan, tujuan menghalalkan cara. Artinya, untuk mendapatkan kekuasaan, semua cara perlu, dan bahkan harus, dilakukan, termasuk yang tak bermoral.

Jika anda lemah, maka orang lain akan menghancurkan anda. Seluruh filsafat politik Machiavelli berpijak pada satu pandangan, bahwa manusia itu mahluk yang munafik, pengecut, rakus dan palsu.

Kebaikan itu hanya pura-pura. Orang, bagi Machiavelli, tidak akan berbuat kebaikan, kecuali ia terpaksa, atau punya maksud tersembunyi.

Sampai sekarang, pandangan Machiavelli masih banyak dipercaya orang. Pandangannya dianggap sebagai realistik, sesuai dengan kenyataan.

Banyak sekali karya populer terinspirasi dari buku Machiavelli tersebut, mulai dari film Game of Thrones, The Godfather sampai dengan House of Cards. Pertanyaan kecilnya adalah, apakah pandangan Machiavelli tepat? Apakah pandangannya sungguh sesuai dengan kenyataan?

Menguji Machiavelli

Dacher Keltner, seorang ahli politik, hendak menguji teori Machiavelli tersebut. Bidang penelitiannya disebut sebagai psikologi kekuasaan.

Ia lalu membuat beberapa eksperimen. Tujuannya adalah untuk memahami perilaku manusia pada saat keadaan alamiahnya, sebelum negara dan masyarakat ada.

Apakah ia akan bertingkah seperti yang diramalkan Machiavelli, yakni rakus, munafik dan merusak? Temuan Keltner ternyata tidak seperti itu.

Baca Juga: Genderang Machiavellian di Latar Panggung Perampokan Buku dan Provokasi Posko Solo

Di dalam keadaan alamiah, tanpa aturan dan hukum yang jelas, manusia justru menjadi ramah dan bersahabat. Jika ada yang bertindak munafik, rakus dan merusak, maka ia akan ditendang keluar dari kelompok.

Kesombongan dan sikap suka pamer dianggap jelek. Yang bisa bertahan di dalam kelompok tanpa aturan dan tanpa hukum justru orang-orang yang bersikap ramah dan bersahabat.

Bregman punya istilah bagus untuk ini, yakni survival for the friendliest. Hanya orang-orang yang bisa bekerja sama yang akan bertahan hidup dan berkembang. (Bregman, 2020)

Manusia dan Kekuasaan

Keltner juga tetap kritis. Maka, ia membuat sebuah eksperimen lain, yakni tentang perilaku orang-orang yang sudah memegang kekuasaan.

Kesimpulan yang didapatnya amat berbeda. Ketika orang mendapatkan kekuasaan, perilaku mereka menjadi tak bersahabat.

Mereka cenderung bersikap semaunya, tanpa peduli pada kebutuhan orang lain. Mereka menjadi orang yang rakus dan ambisius.

Mungkinkah penelitian Keltner ini hanyalah perkecualian saja? Ternyata tidak. Banyak penelitian keluar dengan kesimpulan yang sama: ketika manusia memegang kekuasaan, ia menjadi manusia yang tidak bersahabat.

Di dalam dunia psikologi kekuasaan, hal ini disebut sebagai acquired sociopathy. Artinya, orang menjadi bersikap semaunya, tak peduli pada kebutuhan masyarakat luas, karena perubahan keadaan.

Singkat kata, ketika memegang kekuasaan, orang menjadi kasar. Ia menjadi pribadi yang sama sekali berbeda, dibandingkan dengan sebelum berkuasa.

Mereka seperti orang yang mengalami kerusakan otak. Sikapnya lebih impulsif, egois, ceroboh, sombong dan kasar.

Penelitian serupa dilakukan pada pria yang telah menikah dan memegang kekuasaan. Ada kecenderungan besar, bahwa mereka akan berselingkuh, dan meninggalkan keluarganya.

Orang-orang yang berkuasa merasa, bahwa mereka adalah mahluk istimewa. Mereka berbeda dari orang-orang pada umumnya. Maka mereka merasa berhak diperlakukan istimewa.

Tidak hanya itu, orang-orang yang berkuasa juga merasa punya hak untuk mengatur orang lain. Mereka merasa, orang-orang lain itu bodoh dan terbelakang, maka perlu untuk diatur dengan hukum yang kuat.

Ada tiga hal yang kiranya bisa dipelajari. Pertama, pada umumnya, manusia itu ramah dan bersahabat. Karena itulah ia bisa bertahan di dalam proses evolusi, dan menjadi mahluk berkuasa di bumi.

Namun, ketika dipercaya dengan kekuasaan, kepribadiannya berubah. Ia tak lagi bersahabat, melainkan egois, kasar dan rakus.

Ini menjelaskan perilaku pejabat di Indonesia. Dulunya mereka mungkin aktivis yang kritis dan jujur. Namun setelah menyentuh kekuasaan, mereka menjadi egois, kasar dan rakus, sama seperti pejabat-pejabat korup yang mereka lawan sebelumnya.

Dua, maka kontrol terhadap kekuasaan haruslah kuat. Demokrasi adalah sistem politik yang dirancang persis untuk mengontrol para penguasa.

Orang mungkin baik secara alami. Namun, sentuhan kekuasaan mengubahnya menjadi setan. Maka, di dalam politik, demokrasi harus terus diperkuat.

Tiga, demokrasi bukan hanya soal pilkada dan pilpres. Demokrasi adalah soal cara hidup dan cara berpikir.

Seorang demokrat melihat orang lain sebagai mahluk yang setara. Kekuasaan yang ada merupakan amanah untuk berbuat baik bagi kebaikan bersama.

Inilah kiranya yang kurang di Indonesia. Sistem politik kita demokratis, namun mental pelakunya masih mencintai kerajaan. Tak heran presiden dan pejabat bersikap seperti bangsawan di masa kuno, dan rakyat memujanya tanpa sikap kritis.

Hakekat Manusia

Kekuasaan kiranya memang mengubah hakekat manusia, karena hakekat manusia itu cair. Ia dibentuk sesuai dengan keadaan.

Setiap orang terlahir baik, bagaikan malaikat. Percikan kekuasaan mengubahnya, sehingga ia bisa bengis, seperti iblis.

Tugas kita bersama menjamin, bahwa para penguasa busuk akan dikutuk, dan turun dari jabatannya. Di alam demokrasi, ini bukan hanya mungkin, tetapi juga suatu kewajiban.

***