“… Machiavelli 'marches in the opposite direction to that in which he fires', or fires in the opposite direction from that in which one wishes to make him march; or, even worse, that if he certainly does not fire in the line of the march, we do not even know where he is firing: he always fires elsewhere.” – Louis Althusser, Machiavelli and Us.
Sudah lama disadari, pertarungan politik elektoral di Indonesia, terutama mengencang sejak 2014 dan berlanjut kini, melibatkan para Machiavellian. Mereka para jagoan strategi pertempuan politik yang patut dicemaskan bukan hanya karena lihai mengatur strategi. Lebih dari itu, mereka orang-orang berhati besi, yang meyakini apapun boleh dilakukan demi kemenangan.
Maka membaca peristiwa-peristiwa politik tak cukup dengan kacamata orang biasa. Cara berpikir Machiavellian itu pula yang patut digunakan. Gerak bergelagat ke kanan janganlah disangka akan sungguh ke sana. Sebuah ya mungkin saja bermakna tidak.
Ketika tiba-tiba serdadu di beberapa kota merampok toko-toko buku, merampas buku-buku popular bertema sejarah, Soekarno, tragedy 1960an, dan Orde Baru Soeharto, banyak orang terkejut. Bagaimana bisa di bawah pemerintahan nasionalis demokratis, negara bertindak dengan watak otoritarian orde baru?
Para pembelajar separuh hati teori negara dan kekuasaan menyangka negara itu layaknya seekor ular, yang presiden sebagai kepalanya bisa memerintah seluruh anggota tubuh hingga ke ujung ekor.
Tidak banyak yang awas, kekuasaan negara adalah medan pertarungan kelas, golongan, kelompok, kecenderungan politik, dan kepentingan-kepentingan. Perangkat negara dengan wewenang pemaksa yang banyak dan beragam itu lebih sering tak mengabdi kepada diri sendiri, juga tak mematuhi banyak tuan di luar sana.
Maka MK pada 2010 boleh saja menggugurkan undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963. Konsekuensinya penyitaan dan pelarangan edar barang cetakan hanya bisa oleh keputusan pengadilan atas peradilan terhadap barang cetakan tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mujahir Effendy boeh-boleh saja pada Hardiknas 2017 mengutuk aksi-aksi sweeping buku.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, 30 Septemberr 2018, silakan saja berpidato resmi bahwa ancaman PKI tak ada lagi. Sekretaris Kabinet, Pramono Anung juga sudah sejak 13 Mei 2016 menyampaikan sikap presiden, bahwa dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat adalah prinsipil, dan karenanya tentara dan polisi tak boleh overacting menyita buku.
Tetapi serdadu-serdadu bukan ekor ular. Mereka sangat mungkin punya tuan sendiri yang unofficial, kelas berkuasa yang tercecer di luar kekuasan formal namun memiliki banyak sumber daya untuk turut berkuasa.
Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko berkomentar, perampokan buku-buku bertema sejarah dan perlawanan adalah tanda pihak Orde Baru sedang memanfaatkan oknum-oknum TNI yang berada dalam pengaruhnya. Buku Budiman, Anak-anak Revolusi yang turut disita adalah biografi perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru.
Sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam Asvi mencurigai aksi sweeping buku kali ini berkaitan dengan kepentingan pihak tertentu dalam pileg dan pilpres 2019. Ia menilai demikian karena banyak buku-buku yang disita bukan buku-buku komunis melainkan buku-buku tentang Soekarno.
Buku Kronika 65: Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S Sebelum hingga Setelahnya (1963-1971) yang juga jadi korban sweeping adalah buku sejarah, rekaman peristiwa politik harian 1963-1971.
Aswi Warman Adam benar. Sweeping buku kali ini adalah provokasi terhadap PDIP dan Joko Widodo. Tidak harus orde baru di baliknya—semangatnya iya—seperti yang disangka Budiman Sudjatmiko.
Ini lebih tepat ulah Machiavellian. Ini provokasi agar PDIP marah sebab ternyata yang disita lebih banyak buku-buku tentang Soekarno, bahkan buku-buku yang memuat pidato-pidato Soekarno, bukan buku-buku yang mempromosikan PKI dan ajarannya. Ini provokasi agar Jokowi bicara, memerintahkan aparat menghentikan aksi-aksi kampungan itu.
Maka jangan heran jika tiba-tiba diviralkan lagi arsip video berita di stasiun tv pada April 2016 silam, berisi pernyataan Pramono Anung bahwa presiden memerintahkan aparat tidak bertindak keterlaluan dalam menghambat demokrasi.
Lalu muncul pula konten hoaks berisi manipulasi pernyataan 4 tokoh perempuan terkemuka PDIP: Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Eva Kusuma Sundari, Tjipta Rikaning, dan Puan Maharani tentang aksi sweeping terkini.
Para Machiavellian, gerombolan penghalal cara sudah atur langkah, menanti Presiden Jokowi bereaksi menentang tindakan barbar serdadu-serdadu. Sudah disiagakan para buzzer yang akan menyebarluaskan pernyataan presiden disertai caption, “bukti Joko Widodo membela PKI.”
Rakyat sedang berhadapan dengan para Machiavellian, yang menghalalkan apapun cara asal bisa memenangkan kekuasaan, asal bisa meraih tujuan mereka. Maka sebuah sikap awas, berhati-hati dalam menilai keadaan dan meresponnya sangat diperlukan di hari-hari ini. Salah bersikap hanya akan membawa kaki kita ke dalam jerat perangkap Machiavelian.
Peristiwa politik yang juga patut disikapi dengan hati-hati adalah pendirian posko-posko Prabowo-Sandiaga di Solo.
Kita tahu, tanpa gangguan luar biasa sejatinya pilpres telah usai. Parade kebohongan yang terbongkar mengantarkan kemenangan kembali kepada Joko Widodo. Yang kita tunggu adalah momentum formal konstitusional untuk mengukuhkan keputusan rakyat. Karena itu rakyat tak perlu bereaksi berlebihan terhadap kehadiran posko-posko tersebut.
Kehadiran posko-posko Prabowo-Sandiaga di Solo dan Jawa Tengah mungkin akan sedikit menggeser dominasi PDIP dan Jokowi, mungkin mengubah 1-2 persen; bahkan bisa saja tak berdampak sama sekali.
Saya sudah menuliskannya pada pertengahan Desember 2018, “Mimpi Menyerang Jateng, Prabowo-Sandi Kebobolan di Kandang Sendiri”.
Pada pemilu 2014 PDIP meraih lebih dari 4 juta suara di Jateng, dua kali lipat suara Golkar dan PKB yang meraih suara terbanyak kedua dan ketiga. Sementara Gerindra untuk sekadar 2 juta suara pun tak sanggup. Kini PDIP-Golkar-PKB berada di satu gerbong pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Dalam pilpres 2014 silam, ketika diusung begitu banyak parpol, pasangan Prabowo-Hatta hanya memperoleh 6 jutaan suara di Jateng, lebih kecil dari gabungan suara parpol pendukungnya yang sekitar 9 juta suara. Sementara Jokowi meraih 9,5 juta suara, 1 juta lebih banyak dibandingkan total suara parpol pendukung.
Ketika Prabowo-Sandiaga bergelagat seolah-olah hendak merebut Jateng, mereka sedang kehilangan 5 dari 10 provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, NTB, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Maluku Utara) yang dimenangkan Prabowo-Hatta pada pilpres 2014 silam.
Berpindahnya para tokoh berpengaruh yang dahulu berjasa memenangkan Prabowo berpotensi mengubah peta pemilih di provinsi-provinsi basis Prabowo menjadi lumbung suara Joko Widodo. Selain Banten (Ma'ruf Amin), provinsi-provinsi tersebut adalah Sumsel (3 Gubernur terakhir), Jabar (Ridwan Kamil dan Dedi Mizwar), NTB (TGB Zainul Madji), dan Kalimatan Selatan (Ketua DPW PAN Muhidin).
Karena itu bukan terebutnya Solo dan Jateng oleh kehadiran posko-posko Prabowo yang perlu dicemasi. Kubu Prabowo-Sandiaga pun saya yakin sudah tahu mereka tak akan berhasil di sana. Justru reaksi berlebihan rakyat Solo yang patut jadi perhatian. Jangan sampai ada tindakan yang mencederai demokrasi. Biarlah posko-posko Prabowo-Sandiaga dibangun sebanyak-banyaknya.
Para Machiavellian berharap rakyat Solo, para pendukung loyal Jokowi salah langkah, bertindak reaksioner. Mungkin bukan huru-hara yang membatalkan hasil pemilu target mereka. Mungkin sekadar tercorengnya citra demokratis kubu Jokowi-Maruf Amin. Itu bukan hal kecil. Citra demokratis itu menentukan haluan 30an persen pemilih rasional. Jika citra itu tercoreng, hilang pula salah satu nilai lebih Jokowi-Maruf Amin.
Namun kemungkinan terburuk perlu pula dipertimbangkan. Ingatlah, saat yang bersamaan terjadi bentrokan besar di Rutan Solo antara pembesuk dan sejumlah tahanan kelompok Laskar Islam dengan narapidana kriminal biasa (Blok C1).
Solo adalah tanah air kaum nasionalis dan progresif. Solo pula gudang kelompok-kelompok islam garis keras. Sangat mungkin bentorkan itu sebuah prakondisi yang didesain.
Ingalah selalu. Para Machiavellian sedang gentayangan di pilpres ini.
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews