Asal Muasal Kompas [2] Mulai dari Teknologi Cor Timah

Korektor adalah jenjang terendah dalam jajaran redaksi. Dari sinilah saya memulai karir di Harian Kompas, perusahaan yang memberi saya nilai-nilai kehidupan.

Sabtu, 27 April 2019 | 06:55 WIB
0
1174
Asal Muasal Kompas [2] Mulai dari Teknologi Cor Timah
Mesin cetak pertama Harian Kompas (Foto: Kompas Gramedia)

JIKA di lantai atas digunakan untuk ruang kerja redaksi dan administrasinya maka di lantai dasar adalah ruang pracetak. Rasanya sudah susah untuk membayangkan bagaimana bentuk dan cara kerja pracetak ini karena sejak tahun 1970-an mulai ditinggalkan.

Ketika Kompas lahir pada tahun 1965, teknologi pracetak koran di Indonesia umumnya menggunakan mesin cor huruf timah merk Intertype. Mesin berbahan timah panas ini juga digunakan oleh PT Kinta, tempat pracetak Kompas digarap. Mesin yang dipakai rata-rata buatan tahun 1950, tetapi yang tertua buatan tahun 1930.  Salah satunya kini dipajang di lobi gedung Kompas di Palmerah Selatan.

Cara kerja mesin ini sederhana, setelah menentukan lebar kolomnya, operator (biasa disebut dengan zetter) mengetik/menyalin naskah yang ada. Begitu selesai mengetik satu baris, timah dengan cor-coran susunan kata yang diketik, keluar dalam keadaan panas. Timah-timah itu akhirnya dengan sendirinya akan tersusun baris per baris.

Begitu selesai satu naskah, petugas akan mengikat himpunan timah panas itu dengan tali rami untuk dibuatkan cetakannya di atas kertas buram. Caranya, huruf-huruf dari timah panas itu setelah diikat kemudian digosok dengan rol berlumur tinta. Selanjutnya kertas buram ditaruh di atasnya dan digiling dengan rol lain sehingga huruf-huruf itu tercetak di kertas.

Seorang korektor (proof reader) akan mencocokkan hasil cetakan tadi dengan naskah aslinya. Jika ada kesalahan ia memberi tanda untuk dikoreksi oleh zetter. Seringkali korektor tidak sabar untuk mencetak timah hasil koreksian di kertas buram, mereka langsung membaca huruf-huruf di timahnya. Untuk itu membutuhkan keahlian tersendiri karena mereka harus membaca terbalik.

Mengingat Intertype memiliki keterbatasan dalam membuat huruf terutama dalam hal besarannya,  maka biasanya untuk judul-judul berita dilakukan secara manual. Petugas akan menyusun huruf per huruf yang tersedia, dirangkai menjadi satu kalimat. Jadi zetter berbeda dengan penyusun judul. Hasil kerja keduanya dirangkum dalam sebuah papan  berpigura besi yang bisa dikeraskendurkan, biasanya disebut dengan spanraam. Petugas penyusunnya disebut dengan opmaker.

Opmaker ini menyusun timah-timah yang dicetak maupun yang disusun (judul berita) sesuai permintaan redaktur (kemudian hari mengikuti kertas layout yang dibuat layoutman). Petugas ini menyusun menjadi satu halaman koran, termasuk gambar yang berbentuk klise (cetakan gambar yang dibuat dari seng). Jika  sudah disetujui redaktur malam, spanraam tersebut dikirim ke percetakan.

Percetakan yang menggunakan mesin cetak lembar (sheet) akan langsung menggunakan spanraam tersebut untuk mencetak (menggiling) koran. Jika percetakan menggunakan mesin rol (web) maka dari spanraam tersebut biasanya dibuatkan cetakan dari timah yang berbentuk setengah silinder. Dari timah cetakan itulah koran tersebut dicetak. Harian Kompas pada penerbitan pertama dicetak menggunakan spanraam, berkapasitas 5.000 eksemplar per jam.

 Pracetak yang menggunakan mesin susun huruf timah ini  punya kelemahan yang bisa berakibat fatal. Manakala kunci spanraam kurang kuat, ketika diangkat timah-timah itu bisa berjatuhan sehingga harus disusun lagi. Padahal susunan hurufnya sudah berantakan. Kalau sudah begini korektor bisa menangis karena kesulitan menyusun kembali. Dampak yang pasti, halaman tersebut terlambat dicetak bahkan bisa jadi korannya terlambat terbit.

**

DUA bulan pertama pekerjaan saya adalah mencocokkan antara naskah asli dengan proof  hasil pengetikan ulang yang dilakukan operator mesin zetter. Istilahnya saat itu korektor, tepatnya proof reader karena hanya mencocokkan dan tidak berhak mengoreksi. Pada tahun 1970 itu Kompas terbit 8 halaman, setiap malam ada enam korektor yang bertugas, termasuk dua orang korektor bagian iklan. Korektor shift pagi empat orang.

Pekerjaan korektor ini nampaknya ringan namun tanggung jawabnya berat. “Jadi korektor itu salah terus, tidak pernah benar,”  begitu pesan R. Soeparjono, koordinator korektor malam ketika saya memperkenalkan diri padanya. Dan itu memang benar, jika seorang korektor membetulkan naskah yang salah ketik, itu sudah kewajibannya namun jangan sampai salah ketika memperbaiki naskah asli, bisa dimaki banyak orang.

Misalnya dalam naskah asli tertulis kata  “kite”, korektor yang tidak mengetahui konteks berita bisa saja langsung mengganti menjadi “kita” dengan dugaan wartawan salah ketik. Ternyata, wartawan tersebut memang bermaksud menulisnya dengan kata  “kite”, maka omelan tidak saja dari redaktur malam dan wartawannya tetapi juga teman-temannya dan bisa berlangsung berhari-hari! Semua jasa memperbaiki yang telah dilakukannya, langsung lenyap. Maklum, korektor adalah  jenjang terendah dalam jajaran redaksi. Dari sinilah saya memulai karir di Harian Kompas, perusahaan yang tidak saja memberi saya pekerjaan, pengalaman, dan hidup layak tetapi juga nilai-nilai  kehidupan.

Dalam teknologi masa kini, proof reader itu sudah tidak ada lagi. Wartawan langsung mengetik dikomputer, diunduh redaktur untuk memperbaikinya, langsung dilayout dan dicetak. Kalau ada kesalahan cetak, ya karena keteledoran wartawan penulisnya atau redakturnya.

Untung pekerjaan itu hanya saya jalani sekitar dua bulan, itu pun setelah saya menanyakannya kepada redaktur malam, “Saya melamar jadi layoutman kapan difungsikan?”  Mas Roestam yang saat itu jadi redaktur malam  menatapku dengan wajah angkernya, “Saya juga nunggu, kapan kamu mau berfungsi!”

Dan esok malamnya saya pun menyerahkan rancangan kerja berupa dummy setiap halaman. Mas Roestam yang baru pulang dari Jerman untuk mempelajari proses produksi koran di sana, nampak senang. Bagi saya, pekerjaan membuat layout sudah saya lakukan di majalah Selecta, tempat kerja sebelumnya.

Mulai hari itu saya pun bekerja di lantai atas, duduk di samping redaktur malam. Sebelum naskah diturunkan ke pracetak, saya mengukur perkiraan panjangnya kalau sudah jadi cetakan, memberi tanda jenis huruf, dan besarnya kemudian menghitungnya dalam kertas layout.

Dengan adanya layoutman, pekerjaan redaktur malam sangat terbantu, ia tinggal menanyakan masih perlu tambahan berita atau tidak. Ia pun tak perlu turun ke ruang pracetak, tinggal melihat proof kemudian mengoreksinya jika ada yang tidak berkenan.

Harian Kompas menjadi koran pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menggunakan layout dalam proses kerjanya.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: 

Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan