Menanamkan Berpikir Kritis pada Siswa SD Peserta Ekstrakurikuler OSN IPA

Minggu, 17 Maret 2019 | 09:30 WIB
0
604
Menanamkan Berpikir Kritis pada Siswa SD Peserta Ekstrakurikuler OSN IPA
Ilustrasi keaktifan siswa di kelas

Ketika bulan September atau Oktober 2018, kepala sekolah SD tempat saya bersekolah dulu menawarkan saya untuk menjadi pengajar ekstrakurikuler OSN IPA. Tanpa pikir panjang, saya menyanggupi.

Mengajar adalah passion saya sejak lama, dan bidang studi saya saat ini yatu kedokteran sangat relevan dengan IPA. Tentu saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyalurkan passion saya sekaligus berbakti kepada almamater.

IPA adalah sebuah bidang yang luas. IPA adalah ilmu yang menjelaskan bagaimana alam ini bekerja dalam keteraturannya. Anak tidak bisa mempelajari IPA hanya dari mengerjakan soal-soal dan membahasnya. Mengajak anak belajar IPA berarti menanamkan keingintahuan anak akan proses-proses alam dan mengupas sedalam mungkin pengetahuan anak akan proses-proses tersebut.

PR saya adalah menanamkan berpikir kritis pada para peserta ekstrakurikuler. Hal ini penting karena saya tidak mau hanya mencetak juara lomba. Saya tidak mau ekstrakurikuler OSN IPA hanya menghasilkan juara-juara lomba, peraih medali, namun ketika duduk di tingkat yang lebih lanjut mereka melempem karena tidak memahami konsep IPA.

Saya tidak mau murid-murid saya hanya bisa mengerjakan soal-soal, saya ingin mereka juga memiliki keingintahuan terhadap soal-soal yang dikerjakan dan materi IPA yang berkaitan dengan soal itu. 

Ekstrakurikuler ini diikuti oleh empat belas anak, tujuh orang saat tulisan ini ditulis duduk di kelas IV, dan tujuh orang lainnya duduk di kelas V. Jumlah kelas yang tergolong kecil ini, menurut saya cukup ideal untuk menumbuhkan proses pembelajaran yang berangkat dari pemikiran kritis.

Sebagai perbandingan, jumlah mahasiswa saat diskusi kasus dan praktikum, aktivitas yang menuntut pemikiran kritis, di sekolah kedokteran adalah sepuluh mahasiswa. 

Bagaimana cara saya menanamkan berpikir kritis pada anak? Pada akhir pertemuan, saya  selalu memberikan tugas pada mereka. Tugas dapat berupa soal uraian maupun contoh kasus dengan sebuah pertanyaan analitik, dan mereka saya perkenankan menggunakan buku, internet, atau bertanya pada ahli (orang tua, guru, dsb) untuk menjawab tugas itu. Tugas ini, sebenarnya adalah materi pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Tugas ini TIDAK PERNAH SAYA NILAI. Tugas ini bukan pertimbangan nilai ekstrakurikuler. Namun, pada awal pertemuan berikutnya, saya selalu menunjuk anak-anak secara acak untuk menerangkan jawaban tugas yang saya berikan itu. Setelah itu, saya berikan kesempatan yang lain untuk menanggapi. 

Apa yang terjadi? Anak-anak sangat aktif. Ada yang membantah jawaban temannya dengan sumber yang berbeda. Ada yang melengkapi jawaban temannya. Ada juga yang menanyakan hal-hal tertentu. Setelah saya rasa cukup, saya akan memberikan penjelasan tambahan jika diperlukan, dan kesimpulan dari tugas itu. 

Tugas ini membuat anak-anak sudah belajar sebelum masuk kelas. Mereka tidak datang dengan otak kosong, namun dengan otak terisi dan siap ‘menguliti’ materi yang akan dibahas. Pemikiran kritis mereka terbangun melalui aktivitas belajar mandiri di rumah, dan juga aktivitas saling membandingkan hasil belajar satu sama lain. Jadi, selain mereka paham materi, mereka juga memiliki sense of wonder terhadap ilmu alam.

Dalam satu kesempatan, saya tidak menduga bahwa  salah satu dari mereka akan menanyakan hal tertentu, yang mana setelah saya selidiki ternyata dia sudah belajar menggunakan referensi saya di kuliah kedokteran!

Selain membangun pemikiran kritis, cara mengajar saya ini juga menjadi pelajaran sikap. Mereka belajar cara-cara membuat pendapat dalam forum akademik sederhana. Mereka belajar bagaimana cara menyampaikan pendapat secara baik. Mereka belajar menerima pendapat orang lain. Mereka membangun respect satu sama lain. 

Yang jelas, keuntungan lainnya adalah anak-anak tidak perlu mencatat terlalu banyak saat di kelas. Mereka sudah mencatat sebagian besar materi melalui tugas mandiri itu. Sehingga selama 1,5 jam saya mengajar, saya bisa lebih fokus mengajak mereka berdiskusi.

Mereka belajar menjawab soal tidak hanya secara tertulis, namun juga secara lisan. Sehingga kepercayaan diri mereka bertambah, dan mereka juga bisa lebih memahami materi yang dibahas bersama.

Dalam jangka panjang, mereka akan benar-benar memahami IPA. Hal ini akan berpengaruh positif pada prestasi belajar mereka di kelas. Terutama bagi peserta ekstrakurikuler yang duduk di kelas V, pemahaman IPA ini akan berguna untuk mereka lulus Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) pada saat duduk di kelas VI maupun sebagai bekal untuk menempuh pendidikan di tingkat menengah dan tinggi.

Bagaimana penilaian akhir ekstrakurikuler? Saya mengadakan evaluasi akhir berupa ujian dengan soal-soal pilihan ganda dan isian singkat standar OSN IPA, sesuai materi yang dipelajari selama satu semester. Evaluasi ini menentukan 40% nilai ekstrakurikuler.

Sisa 60% adalah penilaian sikap di kelas, yang dinilai melalui keaktifan mereka dalam berpendapat di kelas, pola pikir penyusunan pendapat mereka, dan juga etika mereka dalam menyampaikan pendapat di kelas. Tugas yang diberikan di akhir memang tidak menentukan nilai akhir ekstrakurikuler secara langsung, namun tugas tersebut adalah pondasi mereka untuk meraih nilai yang 60% tadi.

Bagaimana hasil dalam lomba-lomba? Tahun ini seorang murid saya dari kelas V, meskipun gagal lolos OSN IPA di tingkat kecamatan, sudah meraih medali perak dalam ajang Hidayatullah Mathematics and Science Olympiad (HIMSO), sebuah olimpiade MIPA SD tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Ponpes Hidayatullah Surabaya.

Satu orang lagi berhasil memperoleh juara III dalam LCC tingkat kecamatan. Untuk yang kelas IV, seorang murid saya berhasil lolos juga ke babak final HIMSO, meskipun belum dapat meraih medali. Semoga tahun depan dia dapat meningkatkan prestasinya.

***