Tentang Gaya Bahasa Para Pangeran

Sejak hari itu tak akan lagi menggunakan literasi seperti. Entahlah kalu verbalisasi. Mungkin akibat malu dan jengah sendiri melihat si ibu yang memaki-maki polisi itu.

Jumat, 21 Mei 2021 | 07:10 WIB
0
186
Tentang Gaya Bahasa Para Pangeran
Lukisan (Foto: Dok. Pribadi)

Sehari setelah Lebaran, satu-satunya sedulur yang saya kunjungi adalah paklik Yaksa. Tentu saya sangat pamrih, hawong mau diberi lukisan. Daripada malah dianter, kan kemakinya makin keterlaluan. Mosok sudah diberi, mau2nya namapa resik nang omah. Ora ilok! 

Tentu saya bersemangat, karena lukisan yang mau diberikan adalah tentang sahabat, kakang, guru (spiritual maupun material) saya: pakde Iman Budhi Santosa (alm). Lukisan itu menjadi salah satu sumbangan memorabilia yang ada dalam buku "Nunggak Semi: Dunia Iman Budhi Santosa", yang diluncurkan 28 Maret 2021 lalu. 

Dalam buku tersebut, sang pelukis menyumbang 2 karya. Satu di simpan sendiri, karena di dalamnya mengandung kenangan. Bagaimana keduanya adalah sesama pengguna motor Yamaha Bebek V-80. Saya juga punya ding. Tapi itu dulu sekali di awal tahun 2000-an. Sekarang apa ya tumon, masih pakai motor setua itu....

Rapopo ya Jeng Umi Kulsum dkk, motor utama penggerak penerbitan buku tersebut. Saya yang justru kanugrahan menyimpan lukisan tersebut. Maaf jika nranyak!

Tapi bukan hal ini, isu terpenting dalam rerasanan kami siang itu. Setiap kami bertemu, kami selalu riang gembira, ngalor-ngidul membicarakan banyak hal. Bagi saya, Paklik Yaksa, sekalipun ia sesungguhnya sepuluh tahun lebih muda dari saya. tapi karena anak2 saya selalu memanggilnya begitu, ya saya ikut2an saja. 

Bagi saya ia adalah seorang pengamat sosial-budaya yang sangat genuine dan genius. Ia adalah seorang local-genius menurut saya. Cara pembacaannya terhadap suatu fenomena selalu original dan bikin terkaget-kaget.

Pun di siang itu, ketika kami membicarakan gaya berkomunikasi sebagian seniman yang "merasa" asli Jogja. Yang kemudian ditiru oleh, mereka2 para pendatang sebagai para followernya.  

Beberapa waktu terakhir, kehadiran sosial media melahirkan gaya bahasa baru. Literer tentu saja. Misalnya kosa kata "uasuwoook", "kowanjeng", "kowasu", "hajingang", "hajigor","hajindul", dst dst. Pilihan teks yang digeser dari sekedar kata makian biasa asu, bajingan, bajigur. 

Gaya memaki yang biasa sebagai bagian dari gaya berbahasa di lingkaran kaum abangan atau wong cilik. Yang mulanya adalah gaya bahasa para gali (baca: preman), tapi kemudian menjadi sangat umum diucapkan siapa saja. Tak lagi mengenal kasta maupun usia. 

Sebenarnya hal yang sangat biasa saja, tak ada yang istimewa. Bila kita tidak tahu spirit atau simbol2 yang ada di dalamnya. Lalu apa bedanya? 

Belakangan saya baru tahu dan bisa kami rumuskan bersama. Itulah yang disebut "Gaya Bahasa Para Pengeran". 

Ya pengeran bukan pangeran. Di Jawa, sebutan Pangeran itu adalah sinonim Gusti Allah atau Tuhan atau siapa pun yang tak terjangkau dan Serba Maha. Sedang Pengeran, bisa merupakan predikat atau status wong "njeron beteng". Keluarga atau anak cucu yang masih berbau trah biru Kraton Yogyakarta. 

Jangan bayangkan para pengeran itu selalu berbahasa halus, penuh kesopanan, dan tata krama. Yah, mereka akan melakukannya bila berkomunikasi secara setara dengan sesama bangsawan. Tapi, ke bawah? Ke rakyat jelata ya dengan gaya bahasa seperti itu. Di satu sisi, menunjukkan hegemoni, tapi juga jadi katarsis kesumpegan harus selalu penuh tata krama. 

Hingga dalam beberapa konteks tertentu, memposisikan diri "terjangkau" dalam pergaulan. Nguduni ning ya teteup midaki. Menurunkan harkat diri, tapi tetap dengan gaya menginjak. 

Dalam konteks pergaulan yang lebih luas. Hal ini sedikit membantu menjelaskan perilaku 'seorang ibu' yang naik mobil, sambil memangku anaknya. Nekad menerobos barikade Polisi. Jangankan ia bersikap santun, sebagaimana seharusnya ditunjukkan dari gaya berpakaiannya itu. Ia memaki polisi dengan kata "Anjing, Lu!". 

Sudah pasti salah, malah merendahkan dan menghina lagi! 

Sesuatu yang sangat tidak bisa kita pahami dalam sejarah yang beretika. Tapi terjadi dan nyata, bahkan yaris di sembarang tempat, waktu, dan suasana apa pun. Sebuah gaya bahasa ucap yang terjadi akibat "megalomania complex".

Sebagaimana life-style para pengeran itu. Ia tak sadar, itu "ora umum", tapi memang umumnya mereka begitu. Tak lagi sadar harkat martabat orang lain, tapi ya memang begitu gayanya. Ia menyertai setiap literasi, verbalisasi, dan aktualisasi nyaris setiap saat. 

Apa boleh buat! Kita hanya bisa menerima, bila ingin seSejak hari itu tak akan lagi menggunakan literasi seperti. Entahlah kalu verbalisasi. Mungkin akibat malu dan jengah sendiri melihat si ibu yang memaki-maki polisi itu. jajar kita pasti akan (dan harus) mencontoh dan menirunya. 

Fenomena si ibu berkerudung itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan jenis pakaian yang ia pilih. Sama sekali tidak ada, sebagaimana juga jutaan orang lain yang terpaksa menggunakannnya karena represi sosial dan sekedar mode berbusana. Atas nama ini itu. Atau ketakutan akan itung-itungan duniawi terkait keyakinan imbalan surga neraka. Sama sekali tak ada kaitannya...

Yang abadi di mata saya adalah social-climbing yang tiada akhir. Apa yang populer di hari ini disebut sebagai pansos. Setiap hari kita adalah pansos. Era konsumerisme menghendaki dan memungkinkannya. Dimana seolah kita menaiki tangga ke langit. Setiap satu-dua gigi tangga kita naiki, seribu gigi tangga menanti. Begitu terus, "tuju" yang tak pernah sampai. Seolah kita meminum air laut. Tak akan menyembuhkan rasa haus itu.  

Siang itu saya dapat pelajaran baik dari persinggahan saya. Paklik Yaksa bilang, kita tak usah meniru gaya bahasa seperti itu. Saya setuju! Sejak hari itu tak akan lagi menggunakan literasi seperti. Entahlah kalu verbalisasi. Mungkin akibat malu dan jengah sendiri melihat si ibu yang memaki-maki polisi itu. 

Sebab apa? Terutama karena kita bukan pengeran, dan tak pernah akan jadi pengeran....

***

NB: Matur sembah nuwun loh paklik, lukisannya sudah saya pasang di kamar kerja saya. Bersilangan dengan foto Mbah Umar Kayam. Dua guru yang akan selalu menemani saya bekerja sepanjang hari.