Asal Muasal Kompas [14] Akhirnya Kompas Stagnan

Dari data Puslitbis Kompas, presentase peredaran koran itu di daerah semakin mengecil dibandingkan di wilayah Jabotabek.

Selasa, 4 Juni 2019 | 21:30 WIB
0
785
Asal Muasal Kompas [14] Akhirnya Kompas Stagnan
Pendiri Kompas Jakob Oetama saat ultah ke-85 (Foto: Kompas)

Pembreidelan pada tahun 1978 sekaligus menjadi promosi bagi Kompas. Usai dibreidel, oplah Kompas melaju hingga 400.000 eksemplar pada tahun 1984, dan 500.000 eksemplar pada tahun 1986. Bahkan edisi Minggu oplahnya bisa mencapai 600.000 eksemplar.

Laju oplah ini akhirnya “berhenti” pada tahun 1990 setelah rata-rata mencapai 526.611 eksemplar. Setelah tahun itu oplah terus menurun bahkan menjadi kurang dari angka 500.000.

Pada tahun 1997 sempat naik lagi menjadi rata-rata 508.381 namun setelah itu naik-turun di sekitar angka 500.000.

Keadaan ini berkait dengan tiga penyebab: perkembangan teknologi termasuk kehadiran televisi-televisi swasta yang melengkapi acaranya dengan berita-berita terbaru, meluasnya penggunaan internet, dan perkembangan koran di daerah-daerah.

Kompas sudah ditera masyarakat sebagai koran serius. Sementara itu lingkungan kehidupan masyarakat justru semakin menjurus untuk menyederhanakan masalah. Berita-berita televisi yang dikemas ringkas karena hanya pelengkap dari gambar yang disajikannya, menyeret kebiasaan media cetak untuk berbuat yang sama. Belum lagi ditambah dengan mutu pendidikan yang semakin merosot.

Masyarakat yang semakin sibuk dan tersegmen secara tajam, berjalan seiring dengan perkembangan di atas. Akhirnya Kompas yang sudah sejak awal dikemas sebagai media untuk mencerdaskan bangsa dengan memberikan informasi atau pencerahan secara lengkap, agak tersendat dalam menghimpun pembaca baru.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Oplah yang stagnan untuk jangka waktu lama memang merisaukan bagi koran nomor satu, koran yang dikejar bukan mengejar. Jumlah oplah berkait erat dengan iklan yang masuk karena tarif iklan serta hitungan pembacanya menjadi patokan bagi penjualan iklan. Itulah sebabnya, kondisi stagnan sangatlah merisaukan, dan akhirnya yang muncul adalah sikap saling menyalakan.

Redaksi mencela sirkulasi karena tidak mampu berjualan padahal produk sudah dibuat bagus, sementara bagian bisnis menyalahkan redaksi yang menilai isinya tidak sesuai selera pasar.

Untuk mencari jawaban kenapa oplah Kompas stagnan, Litbang Kompas di bawah J. Widodo pada tahun 1992 mengadakan penelitian. Laporannya yang bertajuk Strategi Besar Kompas Menjelang Tahun 2000 (Sebuah Konsep), terdiri atas tiga bagian.

Salah satu hasil temuannya di banyak tempat: agen-agen Kompas sudah mapan dan susah untuk diajak maju. Untuk mengatasi hal ini pada tahun 1995 Kompas membentuk unit usaha di bawah bagian sirkulasi yang bergerak di bidang keagenan koran yaitu Jasatama Polamedia.

Semula unit tersebut diharapkan bisa “menutup” kekurangan pelayananan dari para agen terhadap pelanggan Kompas. Selanjutnya suku usaha ini sekaligus menjaring dan mendata pelanggan baru.

Dalam perkembangannya kemudian unit tersebut menjadi satu anak perusahaan tersendiri dalam bentuk perseroan terbatas namun hingga tahun 2005 belum mencapai tujuan semula. Namun sejak tahun 2010 “dibangunkan” kembali dengan mencari langganan langsung, tanpa melewati agen diikuti berbagai hadiah.

Sistem pemasaran koran yang pada awalnya melalui kotbah di gereja-gereja atau aktivis Gereja hanya berjalan beberapa tahun, akhirnya jualan koran harus mengikuti pasar, menjemput pelanggan. Ketika Orba mulai berkuasa pemasaran koran pun dilakukan dengan cara menawarkan dari pintu ke pintu. Cara seperti ini bertahan hingga berpuluh tahun, bahkan hingga tahun 2004 Kompas masih mengerahkan tenaga pemasaran lepas (bukan karyawan tetap) hingga berjumlah ratusan orang.

Tenaga-tenaga pemasaran ini diangkut dengan mobil ke daerah sasaran, dipimpin seorang karyawan tetap Kompas. Dengan berbekal koran promosi dan leaflet, mereka menawarkan peluang berlangganan dengan mendapat diskon atau hadiah (gift). Tenaga pemasaran yang mendapat pelanggan akan memperoleh bonus di samping honor hari itu. Pola pemasaran semacam ini digunakan oleh hampir semua penerbitan.

Pada tahun-tahun stagnan itulah Kompas, bagian sirkulasi utamanya, berupaya keras untuk bertahan pada angka oplahnya. Berbagai upaya dijalankan: merebut pelanggan yang pindah melalui tenaga-tenaga pemasaran lepas, memberi diskon atau harga khusus untuk para guru dan mahasiswa, membagikan voucher untuk berlangganan atau beli eceran, membagi hadiah untuk para calon pelanggan, dan banyak lagi.

Upaya paling bermodal yaitu mencetak Kompas di luar kota Jakarta melalui sistem cetak jarak jauh (mulai 1997) dan menerbitkan edisi tambahan khusus berisi berita-berita lokal (2003).

**

Penerbitan edisi tambahan dengan berita-berita lokal di beberapa daerah nampaknya memang harus dilakukan agar Kompas tetap eksis di daerah. Kompas yang hanya dicetak di Jakarta (kemudian juga Bawen, Jateng) tidak mungkin menyaingi koran daerah. Sesuai dengan tujuannya sebagai koran nasional, Kompas harus berisi berita-berita berskala nasional.

Baca Juga: Meski Cuma Debu, Ini Catatan Tertulus Saya untuk HUT Ke-85 Pak Jakob

Dan target sebagai koran nasional (yang beredar di seluruh Nusantara) memang harus diraih agar pemasang iklan bisa mencapai konsumernya secara luas, se-Indonesia. Itu yang membuat iklan Kompas berharga tinggi namun tetap banyak peminat.

Dari evaluasi, perkembangan media visual yang membuat berita hari ini bisa disampaikan hari ini juga, dan perkembangan koran daerah yang dikelola semakin profesional, menurunkan daya tarik koran nasional macam Kompas. Kedatangan yang lebih cepat seiring dengan kebutuhan orang kota yang pagi-pagi sebelum masuk kantor sudah harus membaca koran, langsung menjadi nilai plus bagi koran terbitan daerah.

Berita-berita sekitar yang lebih dekat urusannya dengan pembaca setempat, menjadi kekuatan utama bagi koran daerah. Itu yang hendak dilengkapi Kompas dengan menerbitkan edisi tambahan di beberapa daerah.

Dari data Puslitbis Kompas, presentase peredaran koran itu di daerah semakin mengecil dibandingkan di wilayah Jabotabek. Jika pada tahun 1986 peredaran di luar Jabotabek masih 40% dari oplah maka pada tahun 1997 tinggal 32,17% saja. Angka ini membahayakan eksistensi Kompas di bidang periklanan.***

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [13] Kompas Minggu