Meski Cuma Debu, Ini Catatan Tertulus Saya untuk HUT Ke-85 Pak Jakob

Selasa, 27 September 2016 | 17:20 WIB
0
774
Meski Cuma Debu, Ini Catatan Tertulus Saya untuk HUT Ke-85 Pak Jakob

Suatu hari di bulan Juli 2001, telepon genggam S4 Siemens yang saya pegang bergetar. Saya sedang akan menemui seorang politisi untuk wawancara tentang situasi mutahir pergerakan politik Senayan. Di layar kecil hitam-putih henpon buatan Jerman itu tertulis sebuah nomor. Nomor yang tidak saya kenal. Saya mengangkatnya.

"Halo, Bung.... Ini Jakob," kata suara di henpon, suaranya berat.

"Maaf, Jakob siapa, ya?" tanya saya karena tidak mengenalnya.

"Jakob... Jakob Oetama. Ini Bung Pepih, kan!?"

Gubrak! Saya nyaris tidak percaya kalau yang berbicara di ujung henpon itu bukan sekadar boss besar saya di Harian Kompas, tetapi pemilik Kompas dan grup usaha media besar Kompas-Gramedia. Sambil mencoba meyakinkan diri sendiri kalau panggilan telepon itu tidak salah sambung, saya gelagapan sendiri...

"Oh, eh... iya, Pak. Saya Pepih, Pak Jakob," kata saya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya saya kemudian. Saat itu saya masih berada di sekitar Gedung DPR.

"Begini, Bung. Saya sedang menulis Tajuk. Saya ingin mendapat insight, benarkah Gus Dur bisa jatuh? Bung yakin Parlemen bisa melengserkan Gus Dur?"

Sebagai jurnalis yang harus dekat dengan para penentu kebijakan dan tindakan politik di Parlemen maupun Majelis, seperti Amien Rais atau Akbar Tandjung, saya paham betul niat mereka menjatuhkan Gus Dur. Bahkan politisi Golkar yang sekarang menjadi Ketua DPR saat ini, Ade Komarudin, membawa risalah hasil rapat yang diketik rapi dan ditunjukkan kepada saya sebagai bocoran.

Beberapa ada coretan di sana-sini, tapi intinya itu "dasar konstitusi" mengapa Gus Dur harus dilengserkan. Risalah itu tidak lain strategi pelengseran Gus Dur dari sejumlah Fraksi. Untuk itulah mengapa saya yakin Gus Dur jatuh dan itulah yang saya sampaikan kepada Pak Jakob.

Sebelum Pak Jakob bertanya lebih lanjut, saya menjawabnya, "Ya, Gus Dur tumbang, Pak."

"Bung, bukankah Parlemen tidak bisa menjatuhkan Presiden?"

"Benar, Pak. Gus Dur jatuh bukan karena undang-undang, tapi karena kemauan politisi saja."

"Oh begitu ya, Bung.... Jadi apa yang mempercepat kejatuhan Gus Dur?" tanya Pak Jakob lagi.

"TNI, Pak," sambar saya, "Kalau TNI dukung pemakzulan itu, Gus Dur selesai."

"Baiklah kalau begitu, Bung, terima kasih. Selamat bekerja!"

Itu adalah percakapan 15 tahun lalu yang masih saya ingat sampai sekarang, sampai hari Selasa hari ini 27 September 2016 saat Pak Jakob merayakan ulah tahunnya yang ke-85. Sebuah prestasi umur manusia yang sudah jarang ditemukan saat ini. Tidak persis banget, tetapi kira-kira seperti itulah percakapan yang terjadi.

Dengan panggilan telepon yang baru pertama saya terima itu menunjukkan, Pak Jakob selalu ingin mendapat insight, scope, atau apapun namanya, untuk bahan tulisannya di rubrik Tajuk Rencana yang selalu hadir setiap hari di Harian Kompas. Pak Jakob ingin mengetahui latar belakang persoalan atau duduk perkaranya peristiwa. Maka,  ia tidak pernah memandang siapa yang bisa memberikan penjelasan, bahkan saya yang masih berstatus "yesterday afternoon journalist" pun dihubunginya.

Tentu saja beliau ingin mengetahui apa yang terjadi di Parlemen atas persiapan orang-orang politik itu menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Peristiwa lain saya ingat dan saya catat terjadi pada suatu hari di tahun 1996 saat saya sedang menulis berita, Pak Jakob datang ke ruang redaksi yang luas dan terbuka tidak seperti biasanya, agak tergopoh-gopoh.

"Wah, kasihan ya, Mbak Mega dipaksa untuk mundur," katanya. Semua orang terpesona mendengar Pak Jakob bicara, tetapi tidak ada yang berani bertanya lebih lanjut kenapa putri proklamator itu harus dijatuhkan oleh rezim berkuasa saat itu, Soeharto.

Tetapi begitulah, informasi A1 yang sudah diterimanya bahwa Megawati Soekarnoputri yang ia sebut "Mbak Mega" itu akan dijatuhkan oleh Presiden Soeharto, harus disampaikannya di ruang redaksi. Kami mafhum, pola Soeharto memang harus menjatuhkan orang kuat yang dicintai rakyat. Sosok Megawati yang semakin kharismatis dan mengakar di hati rakyat, menggoda Soeharto untuk menjatuhkannya. Benar, Megawati memang jatuh. Namun kejatuhan Megawati inilah yang sejatinya mempercepat kejatuhan Soeharto juga.

Saya memandang Pak Jakob sebagai guru. Guru dalam arti sesungguhnya. Risalah-risalahnya dalam bentuk buku hampir semuanya saya baca, semua bicara tentang jurnalistik yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai kemanusiaan. Belum lagi wejangan-wejangannya pada acara-acara khusus seperti ulang tahun Harian Kompas yang jatuh setiap 28 Juni. Saya juga masih beruntung mendapat insight langsung dalam rapat-rapat redaksi yang saya ikuti.

Pada rapat Redaksi, misalnya, tidak henti-hentinya Pak Jakob bertanya mengenai berbagai hal aktual. Mengapa Jenderal A ngomong begini, Mengapa Menteri B bicara begitu, mengapa Presiden tidak konsisten, mengapa ekonomi makin ruwet, mengapa pembunuhan sadis makin merajalela, dan seterusnya. Semua hal ditanyakan. Adalah kewajiban peserta rapat, dalam hal ini para editor, redaktur pelaksana, sampai pemimpin redaksi yang bergantian menjawab dan menjelaskannya.

Belakangan, kira-kira tiga atau empat tahun lalu, Pak Jakob sesekali masih ikut rapat redaksi, tetapi usianya sudah semakin sepuh. Satu hal yang sama bisa ditanyakan berulang-ulang. Peserta rapat tidak ada yang berani menertawainya, tetapi tetap menjelaskan dengan khidmat dan serius apa yang ditanyakannya, meski dengan jawaban yang sama.

Orang luar, khususnya yang agak berbau sinis, mengenal Jakob Oetama dengan jurnalisme kepitingnya. Kalau aman maju, kalau ada bahaya mundur, kira-kira begitulah strateginya. Ya, begitulah gaya Kompas berjalan menapaki rezim represif yang memasang ranjau sana-sana, perlu strategi khusus.

Berita Kompas selalu khas, khususnya Tajuk Rencana yang ditulis orang-orang pilihan, saking khasnya orang tidak langsung paham apa yang disampaikannya. Kadang untuk sekadar "mencubit" penguasa, Kompas terpaksa harus meminjam peristiwa luar negeri yang serupa. Nyindir sambil mlipir. Itu dulu.

Sekarang Tajuk Rencana lebih terbuka, lebih straight, dan sudah jarang mlipir lagi. Zaman sudah berubah, gaya Tajuk pun berubah pula. Tetapi esensi tetap terjaga dengan latar belakang peristiwa yang kuat.

Saya ingat juga perkataan Pak Jakob dalam sebuah rapat, yakni jangan terlalu menyudutkan orang yang sudah divonis bersalah. Saat itu kata-kata yang keluar darinya adalah, "Sudahlah.... sudah jatuh mencium kanvas kok masih dipukuli juga!" Pak Jakob mengibaratkan petinju yang terkena KO lawannya.

[caption id="attachment_1085" align="alignleft" width="425"] Jakob Oetama (Foto: Dionbata.com)[/caption]

Oh ya, Pak Jakob juga pernah dicibir oleh sebagian orang bahkan rekan-rekan wartawan sezamannya saat harus menyatakan "bersalah" terhadap Rezim Orde Baru saat Harian Kompas diberangus tahun 1978. Dari buku sejarah dan utamanya mendengar langsung dari kolega senior di Kompas, Pak Jakob pernah bersilang pendapat dengan pendiri Kompas lainnya, PK Ojong.

Intinya, kalau Pak Jakob tidak menandatangani surat pernyataan bersalah dari Rezim Orde Baru, tamatkah riwayat Kompas karena SIUPP-nya dicabut dan Kompas tidak akan pernah terbit lagi selamanya. Di sisi lain Pak Ojong berpendapat, Kompas tidak harus tunduk pada kemauan penguasa.

Pak Jakob harus "berdamai" dengan egonya sendiri selaku jurnalis profesional manakala rentetan manusia, orang hidup, begitu banyak bergantung kepada koran yang dipimpinnya. Sikap harus diambil di antara dua pilihannya; tidak tanda tangan Kompas mati dengan predikat heroic, tanda tangan Kompas hidup dengan cap "pecundang". Dan, pilihan kedualah yang Pak Jakob ambil. Sesederhana itu.

Demikianlah cara kerja Rezim Orba menekan demokrasi dan mempermalukan instrumen keterbukaan dangan cara menistakan. Tetapi sejarah mencatat, cap "pecundang" itu terbukti menjadi "pemenang" di kemudian hari.

Pada masa-masa 1996-2002 itu, setidak-tidaknya masa-masa yang saya alami, sebelum manajemen Kompas dibenahi secara moderen oleh CEO Agung Adiprasetyo, beberapa kali saya dipanggil ke ruangan oleh August Parengkuan, salah satu petinggi Kompas yang kini Duta Besar RI untuk Italia.

Kalau dipanggil seperti itu pada malam-malam, pastilah saya bakal menerima secarik kertas lagi, yang tidak lain selembar cek yang ditandatangani oleh Pak Jakob Oetama sendiri. Itu adalah cek penghargaan atas prestasi orang perorangan yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Cara penilaiannya, saya tidak pernah tahu. Tapi soal besarnya, bisa berkali-kali lipat gaji pokok saya!

Itulah kebaikan Pak Jakob yang selalu saya ingat, selalu saya rindukan. Tidak semua wartawan menerimanya saya kira, dan saya tahu itu. Tetapi alhamdulillah, saya bisa menerimanya beberapa kali bahkan di tahun yang sama hahaha....

Tetapi itu dulu, masa lalu yang indah. Setelah manajemen moderen diterapkan oleh Mas AAP, demikian kami biasa memanggil CEO KG, pekerjaan kami dengan bonus yang kami terima diukur berdasarkan KPI. Ada ukurannya, lebih moderen dan transparan, tidak dengan cara tradisional dipanggil ke ruangan Pak August Parengkuan secara diam-diam.

Tetapi anehnya, cara tradisional seperti itu jauh lebih menyenangkan, setidak-tidaknya bagi saya. Bahkan dari sejumlah cek atas kebaikan Pak Jakob yang saya kumpulkan, saya berhasil membeli mobil second. Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan lewat imajinasi liar sekalipun bahwa saya yang orang kampung ini bakalan punya kendaraan roda empat! Wuih...

Selasa hari ini, 27 September 2016, Pak Jakob berusia 85 tahun, jelas sudah semakin sepuh. Tidak ada yang bisa saya berikan kepadanya sebagai penghormatan dan tanda terima kasih saya dan keluarga selain tulisan pinggiran yang saya tulis dari pinggir kantor Harian Kompas di Palmerah.

Semoga Pak Jakob tetap diberi kesehatan dan kekuatan.

Dirgahayu!

***