Pagelaran “Mistik” vs “Majestik” di Pentas Blambangan

Jika pandangan ini benar, maka Perdunu tidak hanya dipandang sebagai gerakan sosial-budaya dalam rangka "pemurnian paradigma tentang dukun sentet".

Selasa, 9 Februari 2021 | 07:30 WIB
0
391
Pagelaran “Mistik” vs “Majestik” di Pentas Blambangan
Ilustrasi santet (Foto: IDN Times)

Tak ada yang menafikan, Banyuwangi telah menjadi salah satu kabupaten yang menjadi model pembangunan di Indonesia. Banyak tamu, dan pejabat dari dalam dan luar negeri berkunjung ke Banyuwangi untuk belajar. Beragam penghargaan pun telah diperoleh dalam sepuluh tahun terakhir di bawah kepemimpinan Azwar Anas Abdullah.

Banyuwangi telah berhasil hijrah mengubah branding dari "kota santet" menjadi "kota internet, festival, dan wisata". Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengundang pak Anas, sang "Bupati legendaris" untuk membahas kiat-kiat membangun desa wisata. (detikTravel.com, 13/01/2021).

Bak petir di siang bolong. Kita dikagetkan oleh lintasan berita di sejumlah kanal media massa tentang pembentukan sebuah organisasi bernama Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) yang dideklarasikan di Villa Bejong yang berada di lereng Gunung Raung, Desa Sumberarum Kecamatan Songgon, Banyuwangi (3/2/2021). Deklarasi dihadiri 15 orang tokoh terdiri dari dukun (ahli spiritual), Gus dan Kiai (ulama) dari berbagai penjuru Banyuwangi.

Menurut Ketum Perdunu, Gus Fatah, Perdunu didirikan untuk menegaskan bahwa dukun (ahli spiritual) itu adalah "sebuah profesi" dengan sejumlah bidang keahlian seperti halnya profesi lain. Misalnya bidang pengobatan akan disegmentasikan dari medis hingga non medis. Bidang psikologis akan disegmentasikan dari yang logis dan non logis. Dengan segmentasi bidang keahlian tersebut, masyarakat bisa memperoleh solusi nyata, serta tak ada lagi masyarakat yang terjerumus aksi penipuan dukun abal-abal.

Yang menarik sekaligus mengagetkan adalah rencana Perdunu untuk menggelar festival santet dan mengenalkan destinasi mistis (wisata religi) Banyuwangi. Festival direncanakan akan dilaksanakan bulan Suro/Muharram mendatang untuk mengedukasi publik tentang ilmu-ilmu spiritual yang masih ada di Banyuwangi.

Masyarakat juga bisa mengetahui ciri-ciri seseorang terkena santet atau sihir. Sedangkan destinasi mistis yang akan diperkenalkan di antaranya Alaspurwo yang berlokasi di wilayah Kecamatan Tegaldlimo, Rowo Bayu di wilayah Kecamatan Songgon, dan Antaboga di Kecamatan Glenmore.

Santet dan Tragedi Berdarah

Dalam sejarah nusantara, cerita soal dukun santet yang selama ini diidentikkan dengan ilmu hitam atau "teluh", sudah ada sejak zaman raja Airlangga Jawa Timur, dan cerita "Calon Arang", seorang dukun santet wanita cantik terkenal di Bali. Praktik perdukunan juga terpahat di atas prasasti-prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya (prasasti Kota Kapur, Palas Pasemah, dan Telaga Batu) (Sianipar, Prakosajaya, & Wiiyastuti, 2020). Bahkan sejumlah tokoh dunia, seperti Jean-Claude Duvalier dari Haiti, Jenderal Ne Win dari Myanmar, dan Soeharto dari Indonesia, sama-sama menyukai praktik perdukunan, klenik, voodoo, (Hasan, 2017).

Di Banyuwangi sendiri, santet merupakan "tradisi mantra" asli suku Using hasil sinkretisme kepercayaan lokal dengan tradisi agama Hindhu, Buddha, dan Islam. Bagi suku Using, ini merupakan pranata alternatif yang digunakan ketika pranata formal-modern tidak mampu lagi mewadahi kebutuhannya. Karenanya, di kalangan suku Using muncul pemeo "bukan orang Using kalau tidak dapat nyantet". (Saputra, 2001:262). Kini, santet telah menjadi realitas menyejarah yang telah menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Banyuwangi.

Publik Banyuwangi niscaya tidak akan pernah lupa dengan tragedi 32 tahun silam, "Pembantaian Dukun Santet 1998" oleh "Ninja" yang telah menelan ratusan korban. Terdiri dari para guru ngaji, kiai, tokoh-tokoh agama dari kalangan “kelompok hijau” Nahdlatul Ulama (NU) dari wilayah tapal kuda. Terbanyak berasal dari Banyuwangi (Juang, Erviantono, & Azhar (1998). Karenanya, tak mengherankan, jika tragedi berdarah di Banyuwangi ini dikenal dengan sebutan "Operasi Naga Hijau". (Teguh, 20/02/2018).

Ada beberapa versi tentang tragedi berdarah ini. Ada yang mengkaitkan dengan penyimpangan isu yang berkembang liar di seputar "Radiogram Sang Bupati" Purnomo yang diterbitkan 6 Februari 1998 (Wahyono, 04/02/2019; 06/02/2019). Konflik dan pertarungan politik nasional pada awal era reformasi di tingkat lokal yang menyasar para pimpinan informal-tradisional (guru agama, kiai NU) di Banyuwangi, yang merupakan basis tapal kuda santri NU (Brown, 1999; Juang, Erviantono, & Azhar (1998). Ada pula yang berpendapat sebagai kesalahan di dalam memahami sosiologi dan budaya masyarakat Banyuwangi tentang santet (Kusairi, 17/05/2019).

Pro dan Kontra

Apapun versinya, tragedi tersebut tak bisa dengan mudah dilupakan oleh masyarakat Banyuwangi. Pro-kontra kelahiran Perdunu dan program kerjanya pun bisa dipahami, mengingat sejarah panjang dan stigmatisasi buruk, menakutkan, dan mengerikan tentang santet di Bumi Blambangan.

MUI Banyuwangi dan PWNU Jatim bersikap moderat, berbaik sangka (husnuzan) terhadap Perdunu, tetapi keberadaan dipandang "berstigma negatif". Kelahiran Perdunu dan programnya dipandang akan memperburuk citra dari Banyuwangi dan akan menjadikan Banyuwangi kembali lagi menjadi kota santet.

Beda dengan MUI dan PWNU, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi (Disbudpar), walaupun masih akan melakukan klarifikasi, tetapi sangat berkeberatan. Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Banyuwangi dan Pemerhati Budaya Jawa Timur, Sulistyanto pun menentang keras gelaran festival santet.

Menurut mereka, Perdunu dan programnya lebih banyak mudarat, kontra-produktif, bahkan sama sekali tidak bermanfaat, dan akan mengingatkan kembali memori publik tentang "kota santet", dan kasus pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai 'dukun santet' di Banyuwangi 1998 silam.

Sebuah stigma buruk Banyuwangi yang selama 10 tahun dengan susah payah dan berdarah-darah telah diikhtiarkan oleh pemerintah setempat untuk mengubah image/brand "kota santet" menjadi "kota internet dan wisata", akan sia-sia. (detikNews, 04/02/2021; 04/02/2021; jatim.suara.com, 05/02/2021). Bahkan, Sulistiyono menyarankan untuk mengganti Perdunu dengan nama "Persatuan Pegiat Metafisika Terapan Nusantara" (suara.com, 07/02/2021).

Bagi yang pro, Perdunu diapresiasi secara kontekstual. Seperti, untuk menyantet Virus COVID-19, melakukan santet massal kepada pelaku/pejabat korupsi atau koruptor. Ada juga yang mengapresiasi sebagai sesuatu yang kreatif untuk menggerakkan roda perekonomian di masa pandemi (malang.suara.com, 04/02/2021).

Ada dua tesis yang bisa diajukan dalam hal ini. Pertama, Perdunu adalah organisasi dan gerakan pemurnian paradigma tentang dukun santet dari salah kaprah yang menyejarah. Kedua, Perdunu adalah organisasi dan gerakan sosial-politik pasca pertarungan pilkada Banyuwangi 2020.

PERDUNU: Gerakan Pemurnian Paradigma dan Peran Kiai/Gus

Sebagai “Gerakan Pemurnian Paradigma”, Perdunu akan menjadi penggerak ke arah pemurnian pemaknaan publik tentang dukun dan santet. Bagi Perdunu, “santet” berbeda dari "sihir". Santet selalu dinisbatkan sebagai praktik yang membuat orang celaka hingga kehilangan nyawa. Padahal, yang demikian itu menurut Perdunu sesungguhnya adalah "sihir", "ilmu hitam".

Santet dalam mindset Perdunu adalah ilmu supranatural yang mengarah pada ilmu pengasihan atau kasih sayang, perjodohan, mencari hari baik (nogo dino), dan pengaliris usaha. Dukun santet seorang "dukun putih" (the white shaman). Dia orang yang dibutuhkan, namun selama ini eksistensinya tidak muncul. Bahkan cenderung disembunyikan, kata Sekretaris Umum Pedunu, Ali Nur Fatoni. (detikNews, 03/02/2021). Sedangkan "sihir" (magic) dimaknai sebagai ilmu supranatural yang mengarah pada praktik yang membuat orang celaka hingga kehilangan nyawa.

Baca Juga: Dahlan Iskan Menjawab (5): Gadis Cantik Mongolia dan Santet Pilkada

Walaupun ada perbedaan dalam contoh sosok dukun, Ketua PWNU Jatim Kiai Haji Marzuqi Mustamar juga mengklasifikasi dukun menjadi dua kategori, yaitu "dukun yang menabrak syara'", seperti dukun santet, dan dukun ramal; dan "dukun yang tidak menabrak syara', seperti dukun bayi/anak, dan dukun pijat. Dua-duanya dikenal sebagai "mbah dukun". (detikcom, 06/02/2021).

Senada dengan Mustamar, menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta Latif Kusairi, dalam terminologi sosiologi dan budaya masyarakat Banyuwangi, "santet tidak identik dengan sihir jahat." Santet merupakan realitas yang telah menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Banyuwangi. Karenanya, penting bagi publik untuk memahami konstruksi realitas santet di Banyuwangi. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, Kusairi membagi santet dalam beberapa klasifikasi, yaitu santet merah, santet kuning, santet putih dan santet hitam. (Kompas.com, 17/05/2019).

"Santet merah" terkait dengan pelaris usaha dagang/ekonomi. "santet kuning" terkait dengan usaha memikat orang lain, seperti 'jaran goyang' dan 'sabuk mangir'. "Santet putih" adalah untuk pengobatan/penyembuhan, digunakan menetralisasi semua jenis santet (merah, kuning, dan hitam). Yang paling berbahaya adalah jenis "santet hitam" yang mengarah pada praktik yang membuat orang celaka hingga kehilangan nyawa. (Kompas.com, 17/05/2019).

Ikhtiar Perdunu untuk mengubah/meluruskan mindset/paradigma "dukun" ini, tidak lepas dan sangat dipengaruhi oleh bergabungnya sejumlah Kiai dan Gus di dalam Perdunu. Selain komunitas aslinya, yaitu dukun (ahli spiritual). Dengan kata lain, Perdunu adalah organisasi dan gerakan pemurnian paradigma tentang dukun santet dari salah kaprah yang menyejarah, yang didukung dan dideklarasikan oleh kalangan pondok pesantren (Ponpes).

Kiai/Gus Abdul Fatah Hasan, Ketua Perdunu, adalah pengasuh Ponpes Alhuda Blimbingsari, Tegalsari Banyuwangi. Demikian pula Gus Hadi, Dewan Pembina Perdunu, adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar. Sang deklarator, Gus In'am adalah putra K.H. Thoha Munthoha (Pengasuh ponpes Minhajut Thulab, Krikilan Glenmore Banyuwangi, dan pengurus Rijalul Ansor Banyuwangi; dan deklarator Gus Fahru al-Abshor adalah pengasuh ponpes al-Abshor Bulurejo Purwoharjo.

Pemurnian mindset ini pun menjadi lebih jelas, ketika dinyatakan bahwa Perdunu akan menjadi organisasi "pelurus tauhid dukun/para ahli spiritual", "pengubah stigma negatif" masyarakat nusantara tentang dukun, dan menjadi "benteng" bagi masyarakat untuk menghadapi santet yang diminta oleh orang-orang yang berniat jahat. (Suara.com, 07/02/2021). Dalam konteks ini, Ketua PWNU Jatim sepakat, bahwa sepanjang Pergunu melakukan kegiatan perdukunan yang tidak bertentangan dengan tauhid, dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW serta meminta kepada Allah SWT, tidak ada masalah. (detikNews, 06/02/2021).

PERDUNU: Gerakan Sosial-Politik Tandingan

Fenomena berdirinya organisasi Perdunu dan agenda kegiatannya ini semakin menarik untuk dicermati, mengingat deklarasinya terjadi setelah pilkada 2020, dan menjelang pelantikan Bupati Banyuwangi Terpilih, yaitu pasangan Ipuk Fiestiandani & Sugirah yang akan dilakukan bulan Februari 2021.

Bila ditelisik, kedua kubu pasangan calon bupati Banyuwangi memiliki basis dukungan dari relawan dan komunitas, juga didukung oleh kalangan ponpes, dengan klaim yang sama, yaitu "Kelompok Nasionalis - Religius".

Kubu pasangan Ipuk-Sugirah didukung sejumlah ponpes (Kiai dan Gus) yang tergabung di dalam barisan "Laskar Kiai Langgar" yang beranggotakan para imam, muballigh, dan guru ngaji musala/surau/langgar dari sejumlah ponpes, dan "Gawagis" alias para Gus (putra pengasuh pesantren) dari beberapa pondok pesantren dari Kalibaru, Glenmore, Genteng, Wongsorejo, Gambiran, Purwoharjo, Berasan, Siliragung, Sumberberas, Sumberasri, Cluring, Muncar, Pesanggaran, Bangorejo, Plampangrejo, Tegalsari, dll. Selain itu, pasangan ini juga didukung relawan "Komando Ansor dan Banser 1988–2020". (radarbanyuwangi.jawapos.com, 05/11/2020).

Kubu pasangan Yusuf-Riza mengklaim didukung 100 alim ulama (Kiai dan Gus) dari sejumlah ponpes di Banyuwangi, seperti dari Sumberberas, Blokagung, Pesanggaran, Muncar, Glenmore, Genteng, dll. Gus Riza sendiri merupakan keluarga besar Ponpes Darussalam Blokagung, salah satu ponpes besar dan memiliki pengaruh kuat di Banyuwangi. Selain itu, pasangan ini juga didukung relawan dari kelompok dan komunitas (petani perhutanan sosial, pemuda, pegiat olahraga, pelaku seni-budaya, keagamaan, dll.)

Pilkada Banyuwangi 2020 sudah usai, dan KPU sudah menetapkan pasangan Ipuk-Sugirah mengungguli pasangan Yusuf-Riza. Namun, perlawanan kelompok pendukung Yusuf-Riza terus berlanjut di arena budaya-politik dalam bentuk program wisata tandingan. Seperti dinyatakan oleh sebuah sumber bahwa pembentukan Perdunu merupakan kelanjutan yang tidak bisa dilepaskan dari kekalahan kelompok pesantren pendukung Yusuf-Riza. Pandangan ini ada benarnya, dan bisa dicermati dari dua indikator.

Pertama, sosok para deklarator dan pengurus inti Perdunu terdiri dari para Kiai/Gus pengasuh ponpes pendukung paslon Yusuf-Riza, seperti Gus Abdul Fatah Hasan - Ketua Perdunu; Gus Hadi - Dewan Pembina Perdunu; Gus In'am; dan Gus Fahru, dll.

Kedua, program wisata yang direncanakan Perdunu, seperti "Festival Santet" dan "Destinasi Mistis" secara simbolis merupakan "program tandingan” terhadap program wisata pemerintah Banyuwangi. Di dalamnya memuat program wisata dalam bentuk beragam festival dan wisata bertemakan “Majestic Banyuwangi" baik yang tetap bernuansa kearifan lokal maupun kreasi millennial, seperti petik laut, keboan aliyan, legenda sang gandrung, jaranan buto milenial, festival lembah Ijen, dll.).

Semua program wisata tersebut dengan susah payah diikhtiarkan oleh pemerintah Banyuwangi selama 10 tahun terakhir untuk mengubah image/brand Banyuwangi dari "kota santet/mistis" (Mystic City, the Santet of Java) menjadi "kota internet, festival, dan wisata" (Majestic City, the Sunrise of Java).

Jika pandangan ini benar, maka Perdunu tidak hanya dipandang sebagai gerakan sosial-budaya dalam rangka "pemurnian paradigma tentang dukun sentet". Perdunu juga dapat dipandang sebagai organisasi dan gerakan sosial-budaya-politik tandingan dalam rangkaian pertarungan pilkada Banyuwangi 2020.

Akhirnya, mari kita lihat bagaimana kelanjutan pertarungan di bumi Blambangan ini berlanjut. Yang pasti, di era post-modernisme ini tak ada lagi hegemoni dan dominasi tafsir atas realitas. Setiap pribadi, komunitas, dan institusi berhak memiliki tafsirnya sendiri-sendiri dan berwenang untuk menggaungkannya di ruang-ruang publik, tanpa intimidasi, kekerasan, atau sensor.

Referensi

Saputra, H.S.P. (2001). Tradisi Mantra Kelompok Etnik Using di Banyuwangi. Humaniora, vol. XIII(3), pp. 260-267.

Sianipar, H.M.T., Prakosajaya, A.A., & Wiiyastuti, A.N. (2020). Praktik Perdukunan Menurut Tiga Prasasti Peninggalan Kedatuan Sriwijaya Abad ke 6-7 Masehi. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, vol. 6(2), pp. 194-220.

Brown, J. (1998). Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian (Terror Maut di Banyuwangi, 1998). Universitas Muhammadiyah Malang.

***