Ketika Tradisi Perguruan Tinggi Dikritik

Perguruan tinggi selayaknya berisi lebih banyak cendekiawan-intelektual, bukan akademisi teknokratif yang sangat administratif dan diam seribu bahasa terhadap ketidakadilan dan penindasan.

Selasa, 16 Februari 2021 | 07:01 WIB
0
500
Ketika Tradisi Perguruan Tinggi Dikritik
Ilustrasi kritik (Foto: fiscuswannabe.web.id)

Saat ini, kata "kritik" lagi trending topik, ramai didiskusikan di kanal media massa dan sosial terkait dengan pernyataan Presiden Jokowi 'silakan kritik pemerintah'. Pernyataan yang disampaikannya dalam acara laporan akhir tahun Ombudsman RI ini kemudian menuai komentar pro dan kontra memenuhi ruang-ruang wacana publik.

Sejatinya, kritik perlu dibedakan atau ada demarkasi yang tegas dengan ujaran kebencian, nyinyir, fitnah, provokasi, menghasut, dan semacamnya. Kritik merupakan salah bentuk partisipasi publik melalui analisis dan evaluasi kritis terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki dan meningkatkan kinerja.

Kritik merupakan dinamika kehidupan yang wajar, dan tak perlu disikapi secara berlebihan. Apalagi harus dipanggil polisi dan masuk penjara. Terpenting, kritik disampaikan dengan cara bermartabat, didukung oleh data, dan argumentasi yang logis dan sahih. Selama itu dilakukan, tidak perlu ada kekhawatiran soal akibat hukum dari kritik itu.

Menghadapi kritik pun, tidak perlu harus menghadirkan "buzzer" untuk membalas kritikan dan menguliti para pengritik (kritikus). Terpenting, setiap kritik harus dicarikan solusinya, agar substansi yang menjadi sasaran kritik tidak terjadi berulang.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini kita layak berduka atas peristiwa demi peristiwa yang terjadi di sejumlah Universitas di Indonesia. Lagi-lagi, kalangan universitas (perguruan tinggi) di Indonesia bergeming, karena dikritik, diprotes, dan digugat tidak hanya oleh kalangannya sendiri. Tetapi juga oleh publik luas yang berada di luar tembok universitas. Kritik keras dan pedas terjadi tidak hanya pada kampus biasa tetapi juga pada sejumlah kampus ternama.

Kritik pertama terjadi tatkala perguruan tinggi diklaim oleh publik hanya menampakkan diri sebagai "kelompok elit" yang eksklusif, dan distigmasi sebagai "menara gading" (ivory tower) yang menjulang tinggi, sama sekali tidak acuh, tidak peduli, tidak peka, dan abai terhadap lingkungan sekitarnya.

Bahkan, sosiolog Karl Mannheim dan Antonio Gramsci menuduh mereka sebagai pengkhianat, karena hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya, tanpa terlibat dalam kerja-kerja praksis atau melakukan bentuk aktivisme sosial kolektif di masyarakat yang berada di luar tembok kampus.

Kritik ini ditanggapi oleh perguruan tinggi melalui projek Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat (PMkM) sejak 1971, yang telah diubah menjadi Kuliah Kerja Nyata (KKN). Projek teranyar abdimas perguruan tinggi adalah serangkaian kebijakan yang digulirkan dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), seperti Asistensi mengajar di satuan pendidikan, Proyek kemanusiaan, atau projek pembangunan desa/Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT).

Kita berharap, program-program abdimas perguruan tinggi ini, benar-benar memberdayakan potensi masyarakat "dari dalam", dan bukan sekadar program "penebusan dosa". Semoga pula, model-model pemeringkatan universitas yang marak belakangan ini, dan menjadi arena kontestasi antarperguruan tinggi sedunia seperti Academic Ranking of World Universities, QS World University Rankings, the Times Higher Education World University Rankings, the U.S. News & World Report Best Global University Ranking, dll. tidak menjadikan sebagai "simbol status" yang lantas meninabobokkan perguruan tinggi terhadap darmabaktinya kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menjadi filosofinya.

Kritik kedua terjadi ketika terjadi "persekongkolan" antara kalangan perguruan tinggi (akademisi, cendekiawan, intelektual) dengan kekuasan. Termasuk dalam hal ini adalah praktik plagiarisme dan penganugerahan gelar doktor kehormatan yang mengindikasikan adanya "persekongkolan akademisi dan politikus". Memberikan pendapat ahli untuk melegitimasi tindakan korup, sewenang-wenang, dan menindas. Bahkan kemudian tampil sebagai pemegang kekuasaan dengan melupakan tugas utamanya sebagai pemegang kebenaran dan penjaga moral dan etika masyarakat, bangsa, dan negara.

Fenomena persekongkolan ini oleh Julien Benda dianggap sebuah bentuk pengkhianatan intelektual (la trahision des clercs). Pengkhianatan ini terjadi karena kalangan intelektual Perancis waktu itu berkolaborasi dengan Nazi. Mereka terlibat dalam kancah politik (kekuasaan), dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, serta menjelma menjadi petualang politik yang sangat menikmati segenggam kekuasaan. Bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan anti-moralitas.

Apakah keterlibatan akademisi seperti Anies Baswedan (gubernur DKI Jakarta), Nurdin Abdullah (gubernur Sulawesi Selatan), I Wayan Koster (gubernur Bali), dan sejumlah intelektual kampus yang berada dalam pusat lingkaran kekuasaan (kementerian), termasuk pada kategori mereka yang melakukan pengkhianatan intelektual menurut pemikiran Benda? Biarlah publik yang menilai.

Baca Juga: Jejak Buku Kritik dan Pemikiran Film

Sejalan dengan berkembangnya bidang-bidang pekerjaan yang membutuhkan jasa intelektual perguruan tinggi, keterlibatan kalangan perguruan tinggi memang tidak seluruhnya dianggap sebagai pengkhianatan. Mereka disebut pengkhianat, jika sebagai cendekiawan atau intelektual di dalam pusaran kekuasaan, tidak lagi komitmen pada fungsi utamanya untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat tetap harus dijalankan.

Pengkhianat, jika mereka juga telah lupa diri untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai mutlak dan abadi kemanusiaan. Nilai-nilai itu intrinsik dalam diri manusia, yakni martabat dan harkat manusia yang terungkap dalam nilai-nilai derivatif, seperti kebebasan, keadilan, kerja, politik, dan teknik.

Cendekiawan atau intelektual sebagai pemegang otoritas sah tradisi agung universitas, sejatinya adalah mereka "yang berumah di angin", kata W.S. Rendra. Atau seperti kata Edward Said, mereka adalah sosok yang bebas, independen, dan tak berada dalam sistem (kekuadaan). Mereka, kata Ali Syariati, seorang sosiolog asal Iran, adalah "rauzan fikr" (manusia yang tercerahkan), sosok yang berpijak hanya pada kebenaran yang tinggi, dengan segala nilai-nilai, perspektif, dan norma melekat di dalamnya.

Kritik ketiga terjadi beberapa waktu lalu, di akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021. Tatkala kalangan universitas dihebohkan lagi oleh dugaan praktik plagiarisme yang dilakukan oleh akademisi, guru besar, bahkan Rektor perguruan tinggi. Kehebohan ini menambah sejarah panjang berita dugaan praktik plagiarisme di dunia perguruan tinggi Indonesia sejak tahun 2010.

Kritik publik ini menghentak dunia perguruan tinggi yang selama ini selalu dinisbatkan sebagai penjaga tradisi dan marwah akademik, “benteng pencegahan plagiarisme". Untung saja, Majelis Guru Besar (MGB) dan Dewan Guru Besar (DGB) dari enam PT-BHMN (2010) segera mengambil sikap tegas, dan Kemendiknas pun kemudian mengeluarkan peraturan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi (2010). Disusul kemudian dengan edaran Dirjen Dikti tentang validasi karya ilmiah (2011).

Namun, tampaknya hal itu belum sepenuhnya efektif memutus mata rantai praktik plagiarisme di kalangan perguruan tinggi. Plagiarisme sudah menjadi "epidemi pandemik", penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan menimbulkan banyak korban tidak hanya dikalangan perguruan tinggi, tetapi juga kalangan terdidik dan awam di luar tembok universitas di Indonesia dan seluruh belahan dunia.

Kritik keempat terjadi tatkala perguruan tinggi menganugerahkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (Dr. HC) kepada seseorang yang oleh publik dianggap sebagai sosok kontroversi, kontribusinya dipertanyakan, dan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Kasus ini pernah terjadi di negara lain, dan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan menjadi polemik di kalangan publik, seperti yang dilakukan oleh Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) (2018), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (2020), Universitas Negeri Semarang (2021).

Penganugerahan Dr. HC memang dibolehkan menurut peraturan yang ada di Indonesia, dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. Sejumlah perguruan tinggi besar dan ternama di Indonesia pun pernah memberikan penghargaan serupa. Bahkan, sejumlah tokoh Indonesia pernah mendapatkan penghargaan Dr. HC dari perguruan tinggi bergengsi di luar negeri.

Sejatinya, Dr. HC diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam pengembangan sebuah disiplin ilmu, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan. Gelar doktor kehormatan pertama diberikan kepada Lionel Woodville oleh Universitas Oxford, Ingggris (1470), dan mulai dianggap biasa, menjadi "tradisi" sekitar abad ke-16.

Kritisi publik atas fenomena penganugerahan gelar Dr. HC ini sangat beralasan. Ada kekhawatiran publik bahwa pemberian gelar kehormatan tersebut yang banyak diberikan kepada pejabat publik atau politikus sarat dengan motif kepentingan politik.

Penganugerahan gelar doktor dikhawatirkan bersifat transaksional, menjadi instrumentasi balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik karena yang bersangkutan telah menyumbangkan uang dalam jumlah besar kepada perguruan tinggi. Bukan karena yang bersangkutan benar-benar telah dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.

Jika ini faktanya, tentu ini mengkhianati perjuangan mahasiswa doktoral yang menghabiskan waktu meneliti bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar tersebut. Lebih fatal lagi, praktik ini akan sangat mengkhianati tradisi, integritas, marwah, dan kewibawaan akademik perguruan tinggi.

Sebuah analisis oleh majalah Nature (2019) tentang kehidupan mahasiswa doktoral menunjukkan 36% dari mereka menderita depresi disebabkan oleh studi doktoral mereka. Mayoritas (76%) dari mereka menyatakan menghabiskan waktu lebih dari 41 jam/minggu untuk studi doktoral, dan sekitar 10% dari mereka juga harus bertanggung jawab untuk merawat anak di bawah usia 12 tahun di sela-sela kesibukan studinya. (theconversation.com, 18/09/2020).

Baca Juga: Kritik Rasa humor

Tentu masih banyak kritik publik yang dinisbatkan kepada perguruan tinggi dan tradisinya. Segala kritik ini sangat wajar. Karena bagaimanapun, publik masih menempatkan perguruan tinggi sebagai pemegang dan pewaris sah tradisi universitas yang agung. Sebuah tradisi yang menempatkan perguruan tinggi sebagai penerang dari kegelapan.

Perguruan tinggi adalah pencerah rasionalitas yang memungkinkan manusia dan peradabannya hijrah dari episode barbarian, kejumudan, dan dari hegemoni doktrin dan dogma ke alam kecerahan, kebebasan dan otonomi keilmuan, dan demokrasi. Perguruan tinggi juga diharapkan publik untuk menjadi pembela demokrasi dan kemanusiaan dari diktatorisme dan otoritarianisme kekuasaan.

Secara etimologis (akar historis bahasa), Universitas dalam bahasa latin disebut "universitas scientiarum", "universitas magistrorum et scholarium", suatu persekutuan atau komunitas ilmiah, komunitas kaum terpelajar, komunitas kaum intelektual, atau komunitas yang menumbuhkan dan merawat marwah akademik.

Perguruan tinggi selayaknya berisi lebih banyak cendekiawan-intelektual. Bukan ilmuwan yang oleh Noam Chomsky dalam bukunya "Who Rules The World (2016)" disebut sebagai akademisi teknokratif yang sangat administratif dan diam seribu bahasa terhadap ketidakadilan dan penindasan. Atau yang oleh Rocky Gerung disebut sebagai ilmuwan yang hanya berpikir mengikuti formulir dan format baku yang itu-itu saja dari waktu ke waktu, dalam iklim kampus yang feodalistik.

Jika perguruan tinggi tidak bisa memelihara dan merawat tradisi akademik agung yang telah dibangun ratusan tahun lalu, maka "tunggulah saatnya episode robohnya marwah universitas menjadi nyata" kata Ubedilah Badrun (11/02/2021).

Wallahu alam.

***