Jejak Buku Kritik dan Pemikiran Film

Jejak pikiran yang tertinggal mengungkap banyak perspektif pemikiran dan konsep perilman yang berguna buat kita bukan saja memahani seni film tetapi jaitan antara kemanusiaan dan film.

Kamis, 12 Maret 2020 | 07:51 WIB
0
333
Jejak Buku Kritik dan Pemikiran Film
Ilustrasi film (Foto: tirto.id)

Saya baru saja menerima buku berjudul “Tilas Kritik” Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007 - 2012, terbitan Komite Film Kesenian Jakarta, Desember 2019, dari sobat Hikmat Darmawan. Di luar delapan kata pengantar dan daftar isi serta keterangan tentang penulis dan kotributor, jumlah halaman buku ini mencapai 1606 halaman!

Saya ukur ketebalannya mencapai 13 centimeter! Kira-kita setebal pulpen standar atau guting menengah.

Buku ini merupakan rangkuman dari tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan di web Rumah Film (RF) dalam kurun waktu lima tahun (2007 -2012). Web itu “digawangi” oleh tujuh “redaktur” masing-masing Asmayani Kusrini, Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Ifan Adriansyah Ismail, Hikmat Darmawan, Krisnadi Yuliawan Saptadi dan Cholil Mahmud.

Bahan buku dari web kemudian disistimatisir menjadi lima bagian. Pertama ulasan dan kritik film, baik film asing maupun film Indonesia. Kedua, laporan-laporan festival dari seluruh penjuru dunia. Ketiga, wawancara dengan tokoh perfilman baik dalam maupun luar negeri. Kermpat, esai - esai dan artikel umum, lalu kelima lain-lain. Inilah “warisan” yang ditinggalkan oleh Rumah Film.

Buku ini merupakan salah satu dari enam penerbitan seri wacana sinema. Menurut ketujuh redakturnya, buku ini menjadi dokumen kultural. Ia menjadi semacam “artefak” yang punya nilai historis. Buku ini dipandang dapat mengisi kelangkaan kritik film di Indonesia.

Banyak sekali hal menarik dalam buku ini. Misalnya diuraikan, kritikus yang merasa lebih pinter dari pembuat film, kritikus yang biasanya hanya mencari-cari kesalahan karya kreatif. Hal itu sama buruknya degan kreator yang mudah panas telinganya dan baper (bawa perasaan) kakau dikritik karyanya dan lantas mereka memandang kritik itu sebagai “kritik tanpa solusi” yang bukan saja pantas diabaikan dan kalau perlu dipadamkan.

Ada juga penjelasan kritik film tidak harus selalu mengulas film-film yang baik saja, tetapi juga film-film yang buruk. Hal ini karena ada pemeo di antara para redakturnya “film bisa buruk, tapi kritik filmnya bisa bagus.” Lagi pula kritik film tidak sekedar menyebut dari aspek baik atau buruk sehingga tidak berangkat dari selera, melainkan dari pemahaman film adalah produk budaya.

Dalam buku ini kita dapat membaca “kritik film” baik terhadap film asing maupun film Indonesia.Ada juga tulisan 100 film terbaik di dunia kurun waktu 2000 - 2009 dan ada tiga di antara dari Indonesia, sebaliknya film Avanger tidak dipilih, walaupu pilihan itu kurang diiringi dengan kejelasan kriterianya dengan lengkap

Menarik juga pernyataan atau bahkan mungkin “kredo” para sineasnya tatkala muda lantas dibandingkan dengan keadaan sekarang. Joko Anwar, upamannya, kala itu menegaskan ada dua tipe sutradara: yang membuat film karena pesanan dan sutradara yang membuat film karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Nah, sekarang, kita dapat menelaah dimana posisi Joko Anwar sendiri?

Pada akhirnya buku ini memberikan banyak pelajaran kepada kita. Jejak pikiran yang tertinggal dari sana mengungkap banyak perspektif pemikiran dan konsep perilman yang berguna buat kita bukan saja memahani seni film tetapi jaitan antara kemanusiaan dan film.

Pergumulan pikiran pada zaman itu masih banyak yang relevan dengan keadaan kiwari yang menambah kekayan dan wawasan batin dan pengetahuan kita: film bukan sekedar gambar hidup tapi bagian dari kebudayaan itu sendiri

***