Bangsa Indonesia yang Pemaaf dan Sebagian Umat Islam yang Pendendam

Selasa, 22 Januari 2019 | 21:26 WIB
0
526
Bangsa Indonesia yang Pemaaf dan Sebagian Umat Islam yang Pendendam

Bangsa Indonesia katanya pernah dijajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun dan juga dijajah oleh bangsa Jepang selama 3,5 tahun dengan penuh penderitaan. Tapi sejak tahun 1945 Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka. Alhamdulillah…!

Apakah bangsa Indonesia menyimpan dendam kesumat pada bangsa Belanda dan Jepang yang telah menjajah, membunuhi rakyat, dan membuat mereka sengsara? Tidak. Itu masa lalu. Kini bangsa Indonesia bahkan bekerja sama dengan mesra dengan ke dua bangsa penjajah tersebut. Mereka seolah sudah lupa bahwa kakek moyang orang Belanda dan Jepang tersebut telah membuat kakek moyang bangsa Indonesia tertindas dan sangat menderita.

Sebenarnya kita tidaklah lupa, tidak akan melupakan, dan akan terus mengingatkan semua anak-anak kita. Kita mengingatkan anak-anak kita dalam pelajaran sejarah. Tetapi sejarah adalah sejarah. Kisah tentang masa lampau. Sejarah permusuhan di masa lampau tidak perlu diteruskan dan rasa dendam dan permusuhan perlu dikubur saja.

Sekarang kita mengajarkan anak-anak kita untuk bersama-sama dengan bangsa mana pun menatap masa depan, yaitu dengan bekerjasama mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran bersama dalam suasana penuh kedamaian. Bahkan kepedihan dan kekejaman perang antara bangsa Indonesia dengan Timor Leste yang baru saja berlalu juga sudah dilupakan.

Saya berkunjung ke Timor Leste baru-baru ini dan sama sekali tidak melihat dan merasakan sedikit pun rasa dendam mereka kepada bangsa Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Alangkah indahnya dan tentramnya perdamaian di antara dua bangsa ini. 

Tapi berbeda dengan umat Islam.

Meski perseteruan antara umat Islam dengan kaum kafir, umat Nasrani, dan umat Yahudi sudah berlalu selama 14 Abad tapi perseteruan, permusuhan, dan kebencian itu masih diawetkan dan dihirup setiap hari. Jangankan itu. Sedangkan permusuhan antara kaum Sunni dan Syiah yang dimulai belasan abad yang lalu saja sampai saat ini masih awet, segar, dan dipupuk dengan penuh semangat oleh umat Islam.

Mereka terus menyimpan dan mengobarkan dendam lama seolah itu adalah amanah suci yang harus terus dilestarikan. Padahal mereka itu punya Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Alquran yang sama, syahadat yang sama, salat yang sama, puasa yang sama, dan ada ratusan kesamaan lain yang bisa disebutkan kalau mau. Tapi mereka lebih memilih satu perbedaan, saya Sunni dan kamu Syiah. Dan itu membuat kita benar-benar berbeda. Berbeda berarti bermusuhan. Titik. 

Mengapa umat Islam sampai hari ini masih juga menyimpan permusuhan pada kaum kafir, umat Nasrani dan Yahudi? Mengapa mereka masih saja mengawetkan dan menghidup-hidupkan permusuhan dan kebencian pada mereka hanya karena dulunya umat Islam pernah mengalami peristiwa permusuhan dengan mereka. Bukankah itu sudah lewat belasan abad lamanya? Tidakkah mereka bisa selegawa bangsa Indonesia yang bisa melupakan dendam lama dan bersedia bergandeng tangan dengan mesra dengan bangsa mantan penjajahnya?

Bagaimana mungkin terjadi perbedaan cara berpikir yang begitu berbeda antara dua identitas tersebut? Yang lebih musykil lagi adalah bagaimana mungkin seorang warga Indonesia muslim bisa melupakan permusuhan lamanya dengan bangsa penjajahnya yang baru berlalu belum seabad lamanya tapi menyimpan bara permusuhan pada kaum Yahudi dan Syiah yang bahkan tidak pernah mereka temui dalam kehidupan sehari-hari mereka padahal sudah berlalu belasan abad yang lalu? 

Saya harus memberi apresiasi pada para guru sejarah kita. Meski mereka harus menjelaskan betapa kejamnya masa penjajahan Belanda dan Jepang, betapa banyaknya bangsa kita yang tersiksa dan terbunuh selama masa penjajahan, betapa sulitnya para pendahulu kita dalam memperjuangkan kemerdekaan, tapi mereka TIDAK MENGAJARKAN siswanya untuk mendendam pada bangsa Belanda dan Jepang.

Mereka menerima kenyataan bahwa sejarah adalah kisah masa lalu yang harus kita pelajari agar penjajahan tidak terulang lagi, agar kita menjadi percaya pada kemampuan diri sendiri, agar mampu bangkit untuk berjalan bergandengan tangan dengan bangsa lain, meski pun dengan bangsa Belanda dan Jepang sekali pun. Dan di sinilah kita sekarang berdiri sama tegak dengan bangsa Belanda dan Jepang menjalin kerjasama berbagai bidang demi kemajuan bersama. Tak ada dendam yang harus dipiara. Tak ada permusuhan yang harus dikobarkan. 

Saya tidak tahu harus berpaling pada siapa untuk urusan dendam dan permusuhan umat Islam pada umat lain mau pun pada sesama umat Islam ini.

Saya juga tidak tahu kapan urusan dendam dan permusuhan itu akan diselesaikan dan bagaimana caranya. Saya bahkan tidak tahu apakah umat Islam mau dan bersedia untuk melupakan dendam dan permusuhan masa lalu dan mulai menatap ke masa depan yang penuh kedamaian dengan umat lain. Saya tidak tahu kapan kita akan benar-benar mulai menjadi umat yang rahmatan lil alamin.

Yang saya tahu adalah bahwa kita tidak akan pernah menjadi umat yang rahmatan lil alamin dengan semangat permusuhan, kecurigaan, dan kebencian pada umat lain, dan sesama umat Islam, yang terus kita kobarkan di dada kita. 

***

Surabaya, 21 Januari 2019