Citayam Fashion Week sebagai "Street Culture" atau Sekadar Latah Budaya?

Antara latah dan tuna budaya itu, akhirnya menular juga di beberapa kota besar tipe C seperti Manado.

Selasa, 2 Agustus 2022 | 06:04 WIB
0
147
Citayam Fashion Week sebagai "Street Culture" atau Sekadar Latah Budaya?
Citayam Fashion Week di Manado (Foto: jawapos.com)

Kebudayaan sebagai organisme bisa tumbuh dan mati. Bahkan dalam berbagai cara ia bertransformasi (= malih rupa) maupun bermetamorfosa.

Sebagai organisme dalam perspektif bio-evolusi Leslie White (1900-1975) seperti yang ditulisnya pada  "The Evolution of Culture“ (1959) dan "The Science of Culture“ (1949), kebudayaan apapun akan terus berganti bagai musim.

Demikian pula yang telah berlangsung secara tak terduga baru-baru ini, kebudayaan populis di ruang publik kota megapolitan seperti Jakarta ikut menghidupkan "outward appearance“ di kawasan SCBD dengan ajang Fashion Citayam Week (FCW) yang fenomenal itu.

Terlepas dari kontroversi bahkan "polemik kebudayaan“ seri milenial itu, kebudayaan tampil (outward appearances) menurut Nordholt & Azis (2005), mengindikasi tiga faktor: trend, identitas dan kepentingan sebagai ekspresi budaya di ruang publik.

FCW itu sendiri bisa dianggap sebagai ekspresi kegamangan dari tiga faktor di atas. Akibatnya, trend FCW itu dituduh sebagai kelatahan budaya.

Jika latah budaya (pseudo-culture) sebagai reproduksi dari patologi tuna budaya, maka budaya populer yang muncul sejak tahun 50-an akhir di Amerika terus bermalih rupa dalam bentuk dan wujud yang kontras.

Ambil contoh, budaya rambut gondrong hingga “backless“, "hotspan“, "you can see“ dan "agogo“ dewasa ini memiliki jejak artefak dan mentifaknya dalam gaya hidup (life style).

Antara latah dan tuna budaya itu, akhirnya menular juga di beberapa kota besar tipe C seperti Manado.

Sebuah ajang meniru secara vulgar FCW di Jakarta, baru-baru berlangsung di ruang publik Megamall dan mengenaskan sejak dari penamaan iven itu: "Street Culture“ (harafiah: budaya jalanan). 

"Budaya jalanan“ (street culture, istilah ini tak lazim dalam kamus kebudayaan) pernah populer di Jakarta tahun 70-an dengan tokoh fiksinya diciptakan oleh sastrawan Teguh Esha (1949-2021) dalam novelnya "Ali Topan Anak Jalanan“. Ali Topan dengan rambut gondrong dan motor trail menjadi model anak-anak muda Jakarta di sekitar Blok M.

Kepopuleran Ali Topan telah mendorong Guruh Soekarnoputra menuliskan lagu "Anak Jalanan“ dalam album perdana Chrisye dan Jockie (Sabda Alam) serta dipentaskan dalam iven Swara Mahardhika lewat vokal Ahmad Albar pada 1978 silam.

ReO Fiksiwan