Trik Harian Kompas Menaklukkan Prabowo untuk Sebuah Wawancara Ekslusif

Hubungan Prabowo Subianto dengan media saat ini mencapai titik terendah, ia cenderung memusuhi dan lebih memercayai media asing.

Selasa, 7 Mei 2019 | 22:28 WIB
0
2437
Trik Harian Kompas Menaklukkan Prabowo untuk Sebuah Wawancara Ekslusif
Prabowo Subianto saat berpangkat Brigjen (kanan) (Foto: Boombastis.com)

Saat ini, hubungan calon Presiden Prabowo Subianto dengan media mencapai titik yang terendah. Prabowo ”memusuhi” media dalam negeri yang menulis atau menayangkan semua hasil hitungan cepat (quick count) yang menyatakan bahwa calon Presiden Joko Widodo yang keluar sebagai pemenang. Dan, menurut Prabowo, media dalam negeri seperti tidak serius dalam menanggapi klaim kemenangannya, dan juga tidak serius dalam menanggapi protesnya atas kecurangan dalam Pemilihan Presiden 2019.

Itu sebabnya, Prabowo mengundang media asing untuk meliput dirinya, dan bahkan tidak membolehkan media dalam negeri masuk. Mereka diminta menunggu di luar pagar kediamannya.

Sikap Prabowo Subianto yang ”memusuhi” media bukanlah hal yang baru. Ia juga bersikap sama pada Pemilihan Presiden 2014. Pada tahun 2014, Harian Kompas berupaya cukup keras hingga dapat diterima untuk wawancara di kediaman di Hambalang, pada saat Prabowo maju sebagai calon Presiden. Saya dan rekan dari Harian Kompas lain, Edna C Pattisina dan Sutta Dharmasaputra bersikap sangat hati-hati saat mewawancarainya.

Kalau mau jujur, Prabowo memang tidak pernah dekat dengan media, bahkan sejak ia masih di militer. Pada tahun 1996, Brigadir Jenderal Prabowo menjabat sebagai Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Awal Juni 1996, saya ditugaskan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama untuk mewawancarai Brigjen Prabowo sehubungan dengan pemekaran Kopassus yang akan diresmikan pada tanggal 25 Juni 1996. Jumlah personel ditambah, struktur organisasi diperbesar, dan dipimpin oleh seorang Komandan Jenderal dengan pangkat Mayor Jenderal. Itu sebabnya, dalam waktu dekat Brigjen Prabowo akan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayjen.

Dalam pemikiran Jakob Oetama, pemekaran Kopassus itu bertentangan dengan hakikat pasukan khusus yang posturnya tidak boleh terlalu besar agar dapat dengan mudah digerakkan sewaktu-waktu. Dengan mewawancarai Prabowo, diharapkan akan diketahui apa persis alasan di balik pemekaran Kopassus.

Baca Juga: Adil kepada Prabowo

Oleh karena waktunya tidak banyak, hanya sekitar 2 minggu, saya langsung menemui dengan rekan-rekan wartawan yang bertugas di Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Departemen Pertahanan dan Keamanan, serta bertanya, apakah ada yang pernah mewawancarai Brigjen Prabowo? Ternyata, tidak ada rekan yang pernah mewawancarainya.

Ketika ditanya apakah pernah dicoba? Jawabannya seragam, ia tidak pernah mau diwawancara. Saya kemudian mendatangi kantor Dinas Penerangan Angkatan Darat, yang waktu itu dipimpin Brigjen Robbik Mukav, dan meminta bantuannya agar saya dapat mewawancarai Komandan Kopassus Brigjen Prabowo. Namun, satu minggu berlalu tanpa kabar berita.

Saya sempat menghubungi ajudan Komandan Kopassus yang nomor teleponnya saya peroleh dari Dinas Penerangan Angkatan Darat, tetapi ia mengatakan ia masih mengupayakan waktunya.

Waktu sudah semakin sempit, dan saya belum menemukan cara untuk mewawancarai Brigjen Prabowo.

Tiba-tiba ada kabar baik. Pada tanggal 18 Juni 1996 pukul 20.00 WIB, wartawan Kompas di Bandung Ricky Tafuama menelepon dan memberitahu bahwa Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal R Hartono besok akan meninjau kegiatan Latihan Komando Rajawali II tahun 1996 di Bumi Komando Situ Lembang, Bandung. Ia menambahkan, Brigjen Prabowo ada di sana, kalau ketemu bisa minta waktu untuk wawancara.

Besok pagi, pukul 06.00 WIB, wartawan berkumpul di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) Bandung.

Pukul 22.30 WIB, setelah selesai menyunting berita, saya berangkat ke Bandung. Pukul 01.20, sampai di Bandung, saya langsung menuju ke rumah saudara saya untuk istirahat sejenak, dan mandi. Pukul 05.35, saya sampai di Seskoad, dan berkumpul dengan rekan wartawan lain, termasuk wartawan Kompas Ricky Tafuama.

Baca Juga: Jika Prabowo Presiden Beneran, Nyamuk Pers di Ujung Tanduk

Pukul 06.30, wartawan berangkat dengan bus ke Bumi Komando Situ Lembang. Saat memasuki Bumi Komando Situ Lembang, bus wartawan sempat dilarang masuk oleh personel Kopassus yang berjaga di sana. Alasannya, Komandan Kopassus Brigjen Prabowo tidak mengizinkan wartawan masuk ke Bumi Komanda Situ Lembang. Setelah menelepon Kadispenad Brigjen Robbik Mukav dan dijelaskan bahwa para wartawan itu diundang oleh KSAD, akhirnya bus diperkenan melanjutkan perjalanan.

Setelah memasuki Bumi Komando Situ Lembang, para wartawan mendampingi KSAD Jenderal Hartono meninjau Latihan Komando Rajawali II. Selain Brigjen Prabowo sebagai tuan rumah, juga hadir antara lain Panglima Kostrad Letnan Jenderal Wiranto, Aspam KSAD Mayjen Farid Zaenuddin, Komandan Pussenif Mayjen RHS Mokoginta, Panglima Kodam III Siliwangi Mayjen Tayo Tarmadi, dan Kadispenad Brigjen Robbik Mukav.

Saat mengikuti peninjauan itu, saya berpikir keras, bagaimana cara saya mendekati Brigjen Prabowo guna meminta waktu untuk wawancara. Saya sangat berhati-hati karena tahu ia sangat temperamental.

Di tengah-tengah unjuk kemampuan personel Kopassus yang mengikuti Latihan Komando Rajawali II, ada seorang personel Kopassus yang memegang satu ular kobra di tangan kiri dan satu ular tanah (weling) di tangan kanan. Lalu saya dengan cepat memegang ular kobra di tangan kiri personel Kopassus itu, Jenderal Hartono dan Letjen Wiranto yang ada di dekatnya sempat kaget. Namun, wartawan Kompas Ricky Tafuama berteriak, ”Tenang Jenderal, dia sudah biasa dengan ular, di rumahnya dia punya banyak.”

Ketika acara makan siang tiba, para wartawan makan di tenda bersama-sama para perwira menengah, sementara para perwira tinggi makan di tenda lain di atas. Setelah selesai makan, saya berdiri di luar tenda, Mungkin karena masih penasaran dengan kenekatan saya, Jenderal Hartono memanggil saya untuk datang ke tenda perwira tinggi di atas.

Saya lalu mengajak Ricky Tafuama ke atas bersama saya. Saat ngobrol santai dengan Jenderal Hartono, Letjen Wiranto mengatakan, mumpung ngobrol sama KSAD, bilang tuh mau apa… Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, saya bilang kepada Jenderal Hartono, saya mau wawancara Brigjen Prabowo, tetapi dia tidak mau.

Jenderal Hartono lalu berkata, kapan Wo? Brigjen Prabowo menjawab, hari Jumat, 21 Juni 1996, Jenderal. Lalu, Jenderal Hartono sambil tersenyum berkata kepada saya, tuh Jumat, dua hari lagi. Saya langsung mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Hartono, Letjen Wiranto, dan Brigjen Prabowo.

Menjelang Magrib, setelah bus kembali ke Seskoad, saya pulang kembali ke kantor di Jakarta. Walaupun lelah karena kurang tidur, dan perjalanan Jakarta-Bandung pergi pulang, tetapi keberhasilan mendapatkan kesempatan untuk mewawancara Brigjen Prabowo membuat semua kelelahan itu lenyap. Mission accomplished.

Dan, dua hari kemudian wawancara dengan Brigjen Prabowo dilakukan selama hampir 2 jam, dan tulisan hasil wawancara itu dimuat di Harian Kompas tanggal 25 Juni 1996 di hari peresmian pemekaran Kopassus, dan keesokan harinya, 26 Juni 1996.

***