Adil kepada Prabowo

Bersikap adillah, khususnya pada Prabowo yang divonis kalah. Apalagi jika ada kesadaran bahwa lembaga-lembaga survei bisa jadi bagian dari Istana.

Jumat, 19 April 2019 | 05:47 WIB
0
1105
Adil kepada Prabowo
Prabowo Subianto (Foto: Tirto.id)

Bagaimana saya menyikapi "perang" klaim "kemenangan" versi Quick Count (QC) dan Real Count (RC)? Jawabannya, saya akan bersikap adil pada klaim lembaga survey dan klaim kubu Prabowo dan bersikap menunggu hasil perhitungan akhir KPU!

Saya tidak akan terburu-buru menilai QC versi Lembaga Survei PASTI BENAR dan RC versi Prabowo PASTI SALAH. Kedua-duanya memiliki potensi BENAR dan potensi salah yang SAMA.

Ini tidak ada kaitannya dengan metode hitung cepatnya. Sebagai org yang hidup di dunia kajian dan juga dosen, mustahil saya menolak QC sebagai sebuah metode statistik ilmiah. Ini lebih terkait dengan siapa penyelenggaranya!

Setiap habis pemungutan suara dalam pemilihan jabatan-jabatan politik, QC oleh lembaga-lembaga survei sudah menjadi semacam ritual wajib. Dan setiap kalinya, kita akan mengimani hasil QC lembaga-lembaga survei itu sebagai hasil akhir kontestasi.

Dan setiap keluar hasil QC, pihak yang paling menderita adalah pihak yang dinyatakan kalah oleh lembaga survei. Ada beban psikologis berat bagi kandidat dan para pendukung yang divonis kalah itu.

Jika pihak yang divonis kalah menyatakan pihaknya memiliki data RC berbeda dari QC dan menegaskan akan menunggu hasil resmi penyelenggara resmi pemilu, akan ada cibiran bahwa mereka tidak LEGOWO menerima kekalahan.

Hasil QC akan dipandang sebagai akhir pertarungan. Alasannya, metode QC diambil berdasar metode ilmiah. Lembaga yang melakukannya juga dianggap INDEPENDEN dan bebas keberpihakan.

Lembaga survei yang melakukan QC, dianggap tidak punya kepentingan politik apapun untuk menyatakan satu pihak menang dan pihak lain kalah. Beda dengan pernyataan mereka yang ikut kontestasi. QC mereka akan dinilai sebagai KLAIM SEPIHAK.

Ini yang saya tidak setuju. Prabowo bisa saja memakai metode ilmiah yang sama dengan yang dilakukan lembaga survei. Sebaliknya, siapa yang menjamin lembaga-lembaga survei itu independen dan tak memihak?

Bagi mereka yang akrab dalam kajian-kajian komunikasi politik, khususnya komunikasi politik kampanye, penilaian bahwa lembaga survei itu pasti netral secara politik dan independen adalah pernyataan yang sangat absurd dan naif.

Lihat misalnya kajian tentang bisnis konsultan politik dalam kampanye yang dilakukan Dennis W. Johnson (George Washington University). Dia mengatakan, lembaga survei adalah salah satu bagian dari PERUSAHAAN bisnis politik bernilai ratusan milyar dolar di Amerika.

Johnson membagi bisnis konsultan politik pada tiga tingkatan: tingkatan STRATEGIS, SPESIALIS dan VENDOR. Perusahaan survey (polling firm), masuk sebagai konsultan politik pada tingkatan strategis, tingkatan paling atas konsultan politik yang memiliki PERAN KUNCI.

bersama-sama dengan konsultan umum, manajer kampanye, perusahaan humas dan komunikasi media, lembaga survei bertugas membuat pesan kampanye dan merumuskan strategi kampanye yang tepat selama masa kampanye kliennya.

Jadi, lembaga survei bukanlah pihak EKSTERNAL dari sebuah proses kampanye. Mereka adalah bagian dari TIM SUKSES kandidat. Karenanya, hasil-hasil survei dan QC mereka ABSAH dianggap sebagai bagian dari TAKTIK kampanye.

Ini yang kurang disadari media dan publik karena lembaga-lembaga survei di Indonesia kerap menyembunyikan kontrak kerja mereka dengan partai atau kandidat. Mengapa? Agar citra INDEPENDEN dan KREDIBEL itu tetap terbangun!

(Kasus berbeda mungkin pada Pollmark Eep Saefullah Fatah yang jujur mengaku dikontrak PAN)

Loh, jika metode ilmiah dilakukan secara ketat, bukankah hasilnya akan sama saja meski lembaga survei yang melakukannya berpihak pada kandidat tertentu? Jawabnya, iya!

Justru itu, kita juga wajib mempertimbangkan hasil QC yang dilakukan Prabowo dan timnya. Jika metodenya mengikuti rumus-rumus QC yg dilakukan lembaga-lembaga survei, hasil akhir akan sama. Kalau kalah ya kalah.

Dalam Pilpres sebelumnya, Prabowo mengklaim dirinya menang dan ternyata kalah! Lah, dalam beragam survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei dalam beragam kontes politik mereka juga sudah terbukti salah! Jadi, masalahnya dimana? 

Bersikap adillah, khususnya pada Prabowo yang divonis kalah. Apalagi jika ada kesadaran bahwa lembaga-lembaga survei bisa jadi bagian dari Istana.

Keduanya bisa salah dan bisa benar. Bagaimana cara mengkonfirmasi kredibilitas pernyataan kedua pihak itu? Ya tadi itu, kita tunggu saja hasil akhir KPU! Dengan syarat, jika lembaga itu gak masuk angin juga ! 

Tabik!

Akhmad Danial

***