Persoalan Tanah di Yogyakarta

Selasa, 6 Maret 2018 | 12:22 WIB
0
629
Persoalan Tanah di Yogyakarta

Yogyakarta adalah bagian dari NKRI, tapi bukan berarti seluruh hal dan pasal di Yogyakarta juga harus sama dengan apa yang seharusnya ada dan berlaku di NKRI. Lalu kalau 100% harus sama persis, apa artinya ia sebagai daerah istimewa?

Banyak komentar yang miring sinis, yang terus bertubi-tubi menghantam kota ini. Rata-rata karena ego-intelektual, sikap sok tahu yang selalu diiringi ketidakpunyaan data yang akurat, tapi sebagian besar terutama ketidakpahaman tentang sejarah. Setelah isu intoleransi, lalu kota yang dianggap termacet ke-4 di Indonesia dan yang terakhir isu ketidakadaan persamaan hak dalam masalah tanah.

Isu intoleransi beragama gampang patah, karena memang itu isu atau kasus kiriman yang sama sekali bukan hal baru. Publik yang cerewet, lalu terdiam, hanya dengan foto seorang berjilbab spontan ikut menyapu di gereja. Isu kota termacet? Cobalah sesekali lihat foto lama era 1950-an, saat Jogja beberapa lama menjadi "ibukota revolusi" juga terlihat hiruk pikuk, semrawut dan macet.

Kalau ukurannya macet, sejak dulu poros Utara-Selatan Jl. Mangkubumi-Malioboro, maupun Timur-Barat Diponegoro-Sudirman-Urip Sumoharjo ya padat merayap. Kalau sekarang tampak macet, ya di luar pertambahan populasi kendaraan bermotor, juga memang kunjungan wisata di kota ini nyaris tanpa kendali. Tunjuk satu kota di dunia ini yang punya kendali buka-tutup untuk tamu wisata?

Dan hari-hari ini seorang bernama Handoko, entah apa itu etnisnya (juga gak penting) menggugat larangan kepemilikan tanah untuk warga negara keturunan Tionghoa di Jogja. Itu haknya secara konstitusional? Yang jadi masalah adalah ia "buta sejarah" atau lebih tepat tidak peduli sejarah dan saya yakin karenanya tidak memiliki rasa hormat terhadap sejarah sebuah daerah.

Terdapat banyak dasar, bahwa Sultan HB IX (catat kaping IX, artinya HB X hanya meneruskannya) membuat keputusan tersebut. Pertama, ia menyadari sisa tanah yang ada di wilayah yang kemudian disebut DIY itu setelah bergabung dengan NKRI relatif sempit. DIY itu provinsi tersempit kedua, setelah DKI Jakarta. DKI beruntung punya wilayah penyangga yang disebut Jabotabek, yang salah satu previlegenya walau mereka tidak ber-KTP DKI, tapi tetap dapat memiliki kendaraan Plat B.

Kedua, dahulu kala ada peraturan bahwa orang Tionghoa hanya boleh tinggal di daerah perkotaan dan tidak berprofesi di bidang agraris. Silahkan menjadi pedagang atau industrialis, tetapi tidak turun ke sawah. Pemukimannya-pun kalau di Jogjakarta, terbatas dalam cluster yang disediakan: Gandekan, Pajeksan, Ketandan, Kranggan. Bahkan dalam kasus hubungan dengan Kraton Jogjakarta, mereka memperoleh kepercayaan dalam profesi-profesi tertentu yang sangat terhormat seperti penarik pajak, jaksa, dll.

Jangan lupa salah satu dari mereka, yang bernama Tan Ji Sing (bahkan kemudian terkenal degan gelar bangsawan sebagai Setjodiningratan) mendapat kehormatan sebagai Bupati Kota Yogyakarta. Lalu diskriminatifnya di mana?

Harmoni itu terjaga sekian lama, hingga muncul banyak isu yang pada ujungnya memojokkan posisi Kraton dan Raja-nya sebagai institusi budaya dan politik (bagian inilah yang terlalu sering dianggap tidak penting). Masyarakat juga belajar dari sebuah kasus yang sepele, tapi bergaung luas.

Ketika seorang pengusaha mainan anak, yang sukses lalu beli tanah di mana-mana, salah satunya di pinggir Jl. Brigjend Katamso. Rumah yang semula sederhana itu, lalu dibangun sebagai toko besar. Permasalahan beberapa pengusaha kecil (gurem malah), yang sebelumnya berjualan di depan rumah itu diusir. Bahkan kasusnya sampai ke pengadilan!

Ia merasa berhak, menganggap bahwa halaman depan (yang sesungguhnya trotoar jalan) adalah halaman eksklusif tempat ia berdagang. Kasus yang lebih bernuansa kemanusiaan ini, sangat menghina warga asli Jogja yang nyaris seumur hidup saling bersimbiosis hidup bersama secara harmonis dengan etnis mana pun.

Jaringan pengusaha yang sama, sekarang seolah menjajah kawasan Jeron Beteng yang absurdnya tidak lagi menjadi sentra barang tradisional. Tapi jaringan bisnis mainan anak, yang sialnya adalah barang-barang impor dari Cina dengan harga murah dan kualitas paling rendah.

Dan saya pikir dan duga secara kuat, jaringan pengusaha-pengusaha hitam sejenis inilah mencoba mengusik-usik "peraturan khusus" yang sebenarnya lebih bermaksud melindungi kepentingan rakyat kecil daripada para pengusaha-pengusaha yang serakah dan tanpa nurani. Pengusaha etnis Tionghoa yang asli Jogjakarta, keturunan dari mereka yang telah ratusan tahun tinggal, saya pikir mereka lebih sangat tahu diri!

[irp posts="5549" name="Hidup di Jogja Memang Istimewa"]

Di mana pun, hukum yang berkedok atas nama isu hak asasi manusia, toleransi, dan anti diskriminasi akan terus digunakan secara terbalik justru oleh kalangan kuat untuk menindas yang lemah. Isu "tanah untuk rakyat" yang selama ini memang telah berjalan dengan baik, dibelokkan menjadi "tanah untuk keserakahan".

Yogyakarta akan terus diusik, dijebak, dan dimanipulasi untuk kehilangan jati dirinya. Sehingga ia kehilangan kesabarannya, kerendahhatiannya, kesederhanaannya, kesediannya berbagi dan segala hal baik dan mulia yang generik dalam dirinya.

Pelan-pelan ia akan terus dipaksa bersuara, bergerak, dan melawan. Skenario yang sangat mudah dibaca ke mana ujungnya: pertentangan horizontal, sikap saling curiga, keresahan yang tanpa bentuk dan berujung kerusuhan sosial yang bisa atas nama apa pun.

Selama ini kami melawan dengan diam dan kesedihana mendalam, tapi kesabaran pun bahkan ada batasnya!

***

Editor: Pepih Nugraha