Sebenarnya sih kalau ukuran raja yaaa.. belum terlalu tua betul, tapi raja ini sudah tampak sedemikian lelah. Kelelahan yang mengikuti kotanya yang makin sumpek, macet, dan ruwet. Becak dikalahkan oleh bentor ilegal, yang membuat jalanan rimba tanpa hukum. Ia kalah oleh tuntutan perut warganya (sic!), yang atas nama kemajuan jaman memaksakan diri bersaing dengan moda transportasi on line yang nyaris memotong leher semua angkutan tradisional.
Andong bukan lagi konsumsi warga, yang mengantarkan mereka bergerak dari Kotagede ke Beringharjo, dari Godean ke Pasar Kranggan. Andong sudah semahal mobil limosine jam-jaman. Alasannya kudanya, sekarang eks-kuda balap yang harganya semahal sebuah motor baru. Coba tengok mana ada lagi, kuda-kuda Jawa di jalanan. Mereka trah kuda Ostrali yang sudah turun drajat jadi penarik kereta jalanan.
Polisi selalu kalah oleh warga, atas nama yang paling penting "iklim kondusif tetap terjaga". Mantra baru yang mengaahkan jargon apa saja, apah artinya "city of tolerance" dibanding situasi kondisif? Jogja Never Ending Asia sudah entah kemana, mungkin memang sudah benar-benar ending. Karena hari ini Jogja adalah Istimewa!
Se-istimewa apakah? Istimewa karena akan menjadi kota dengan bandar udara termegah se Asia Tenggara. Sementara warganya selalu diejek dengan salah satu provinsi dengan tingkat kesejahteraan paling rendah di Indonesia.
[irp posts="5549" name="Hidup di Jogja Memang Istimewa"]
Mereka gagap dan gundah dengan ukuran-ukuran ekonomi yang disediakan oleh Pusat, yang bahkan bukan dibuat oleh orang pusat itu sendiri. Ia hanya drop-dropan dari lembaga kreditor seperti World Bank atau IMF, sebagai parameter kemajuan pembangunan ekonomi. Ia lupa bahwa prestasi tertinggi warganya justru adalah tingkat harapan hidup yang tertinggi di Indonesia. Mana ada daerah yang warganya mencapai usia rata2 74,1 tahun!
Di hari gini, di mana tidak dikenal lagi biaya hidup turun, dari hari meningkat terus tanpa pernah punya alasan jelas. Jogja istimewa hanya dilihat dari jumlah pertumbuhan hotel yang sedemikian pesat, tanpa pernah mengukur daya dukung lahannya. Air yang dikonsumsi sebuah hotel, menyedot habis air yang semestinya menjadi hak warga se-kampung.
Dalam hal air, kota Jogja justru diselamatkan oleh "iklim yang tidak beraturan", hujan terus menerus, tanpa kenal aturan kala. Yang membuat kandungan air tanah di kota ini tampak stabil dan tak ada masalah. Tapi sampai kapan? Akan tiba saatnya kemarau panjang itu tiba saatnya.
Dan seminggu ini, Jogja digempur isu intoleransi yang sebenarnya sama sekali bukan hal baru.
Bakti sosial yang dilakukan sebuah gereja, yang sebenarnya hanya sebuah gereja kecil di pinggiran kota, di mana antara pihak gereja dan warga telah lama saling kenal dan mengasihi, tapi sebuah organisasi anak pinak dari Ibukota mengintervensi mereka. Melarang acara yang hanya "pembagian sembako", yang mereka curigai sebagai "upaya-upaya baru kristenisasi".
Sementara nun jauh di Baduy, sebuah BUMN dengan terang-terangan memberikan listrik gratis bagi mereka yang bersedia di-"mualaf"-kan.
Dan raja ini, bukannya bersikap di tengah, ia condong ke kanan berpihak dengan mengatakan: "Sebaiknya kalau bakti sosial tidak usah bawa-bawa kata gereja". Kalimat itu jadi salah, terutama karena itu keluar dari mulut raja yang bagi orang Jawa dianggap "sabda Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali", sabda raja adalah pegangan hidup warganya yang tak boleh dibantah.
Ia bisa saja berkilah, itu dikatakannya dalam kapasitas sebagai gubernur, bukan sebagai raja. Ia kedudukan yang berbeda dan terpisah, walau ada dalam satu tubuh. Bagi saya, ini hanya sebuah indikasi yang ke sekian kalinya: bahwa ia telah lelah, lelah terlalu lama jadi gubernur. Entah kapan berakhir atau diganti. Lelah ditinggal istrinya mengejar karier di Jakarta. Lelah mengurusi warganya yang makin sulit diatur, bersalin watak, dan gampang menuduh.
Dan lalu, masyarakat tak lagi menganggapnya Agung dan Bertahta untuk Rakyat. Dan lalu, masyarakat mengenang dan merindukan lagi bapaknya, yang lebih irit bicara dan sederhana, tapi terus bergerak dan bekerja. Ia harus diingatkan, sekalipun lelah (dan itu manusiawi), bahwa karakter utama orang Mataram-Jogjakarta itu: Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh.
Sawiji berarti satu, menyatu, terpadu. Greget diartikan gigih, semangat, kerja keras dan dinamis. Sengguh berarti percaya diri, ora mingkuh bertindak tetap rendah hati.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews