An Ordinary Man (2017)

Sabtu, 9 Desember 2017 | 13:50 WIB
0
3677
An Ordinary Man (2017)

Dari banyak genre, salah satu tema favorit film saya adalah konflik multidimensi di Balkan, lebih tepatnya di eks Yugoslavia. Saya tidak mengerti, bagaimana mungkin dari konflik yang mulanya hanya diawali dari wafatnya Presiden mereka, Josip Broz Tito, lalu bisa berkembang sedemikian rupa menjadi tema-tema yang menurut saya sangat kaya ragam, original dan menyentuh.

Yugoslavia memang unik sejak dulu, walau komunis ia tidaklah sepenuhnya menjadi anggota Pakta Warsawa. Namun juga selalu bersikap kritis terhadap Barat yang cenderung kapitalis.

Presidennya nyaris setali tiga uang dengan Sukarno, sama-sama flamboyan dan doyan perempuan. Karena itu ceritanya pun agak mirip-mirip dengan Indonesia, yang setelah jatuhnya Sukarno, perusahaan multinasional rame-rame menjarah bumi Nusantara. Dengan puncak "absurditas"-nya tentu saja tambang emas Freeport.

Jadi bila dihitung dari tahun 1970-an saja, bumi Papua itu telah membiayai hegemoni AS selama nyaris 50 tahun. Sementara kondisi Papua sengaja terus dibikin terbelakang untuk bisa ajeg dikuasai oleh mereka. Sedang dalam kasus Yugoslavia, posisi mereka bisa jatuh lebih parah karena terpecah menjadi 6 negara dan 2 daerah otonom.

[irp posts="3182" name="Salah Pikir Film G30S/PKI versus Film Sejarah" Rambo"]

Karena isu disintegrasi inilah yang akan terus digaung-agungkan oleh AS, sebagai treatment kepada banyak negara bila mereka tidak bersedia menjadi client dalam hubungan patron dengan negara adidaya itu. Indonesia suka tidak suka, pernah merasakannya juga dalam kasus Timor Timur!

Dalam konteks nasionalisme Yugo inilah, latar belakang film An Ordinary Man (AOM) ini bertutur. Syahdan hampir semua jendral yang membelai tetap berdirinya Yugo, yang kemudian dipersempit sebagai hanya "Serbia" itu telah ditangkap dan diadili sebagai penjahat perang. Kecuali satu orang!

Saya tidak tahu, apakah film ini berdasarkan kisah nyata atau hanya sekedar fiksi. Karena endingnya dibuat mengambang dan tidak jelas benar. Apakah ia benar-benar ditangkap atau digantikan oleh orang lain yang disangkakan sebagai dirinya. Maklum operasi plastik sudah menjadi trend para buron.

Tapi itu tidak penting betul sebenarnya. Bagian terpenting dari film ini lebih pada penderitaan batin dan fisik dari orang yang dianggap sebagai penjahat perang di satu sisi, namun di sisi lain menganggap dirinya adalah pahlawan bagi negara. Ia merasa bahwa ketika negaranya diacak-acak oleh kepentingan asing, dibagi menjadi wilayah-wilayah berbeda berdasarkan perbedaan etnis dan agama.

Padahal, sebagai sebuah negara tentu saja Yugo telah mengalami banyak akulturasi dan migrasi. Ia menjadi satu-satunya orang yang terus berjuang untuk menegakkan kesatuan, di saat orang-oraang lain memikirkan kelompok etnis dan agamanya masing-masing. Dan ironisnya, ia menemukan dirinya justru sebagai penjahat kemanusiaan, orang yang terpisah dari keluarganya, terasing di tengah rakyatnya, dan harus hidup berpindah-pindah laksana seorang kriminal.

Film ini sebenarnya hanya dimainkan oleh tiga aktor saja, yaitu Sang General (yang diperankan aktor gaek Ben Kingsley), Tania seorang perempuan yang menjadi "pembantu" Sang Jendral (yang diperankan oleh aktris Islandia yang aduhai Hera Hilmar), dan Miro pelindung Sang Jendral (diperankan Peter Serafinowicz).

Tania semula disamarkan hanya sebagai orang yang "kesasar" masuk ke apartemen baru sang jendral, namun pelan-pelan terungkap bahwa ia justru "pengasuh" Sang Jendral yang menjaga agar Sang Jendral tidak keluyuran.

Film ini berisi dialog remeh temeh antara keduanya, dari hal-hal besar pengalaman pelarian Sang Jendral dari mulai dilindungi Putin, berpindah dari pegunungan Slovenia hingga pantai dalamatian, pengalaman menjadi penggembala domba atau petani berkubang lumpur. Hingga dialog gak penting misalnya di satu scene: Sang Jendral kepo bertanya kapan si perempuan pertama kali dapat menstruasi dan bertanya bagaimana reaksinya.

[irp posts="1795" name="Mengakrabi Toleransi lewat Film-film Yang Menginspirasi"]

Hanya demi mengenang rasa rindunya pada anak perempuannya yang hilang entah dimana. Berkali-kali Sang Jendral menekankan bahwa ia sama sekali tidak takut berada di ruang publik. Karena ia menyadari bahwa rakyatnya sangat "mencintai"-nya. Ia berkali-kali dikenali oleh mereka, mereka tetap tinggal diam dan tetap menaruh rasa hormat. Namun justru para pelindungnya itulah yang bersikap paranoia terus menyembunyikannya.

Di sinilah letak konflik yang terus saling berbenturan sesungguhnya. Betapa tidak mudahnya suatu persoalan politik dipahami dan dimaknai secara hitam putih.

Kira-kira kalau dalam kasus di Indonesia, mungkin seperti ini (walau sebenarnya jauh bener bandingannya): kita tidak pernah tahu sebenarnya Habieb Rizieq itu benar-benar takut pulang atau dilarang pulang. Mungkin ia pengen sekali pulang, karena ia sebenarnya tidaklah sepengecut disangkakan publik. Namun walau mungkin ia punya 7 juta umat, dalam kalkulasi politik tidaklah sesederhana itu.

Ketika apa yang dulu diperjuangkannya dengan kotor, ketika hal itu berhasil dimenangkannya, tentu membawa konsekuensi banyak hal. Ia hanya menjadi pengganggu bagi "kemenangan semu" yang sementara itu sedang dinikmati oleh kalangannya. Tersebab itu, masihkah kita percaya pada politik praktis?

Politik praktis saja harusnya tidak, apalagi agama yang dipolitisasi!

***