Realitas kehidupan Indonesia hari ini, sebenarnya adalah cerminan kehidupan para lanun. Lanun secara harafiah adalah penghalusan dari kata perompak atau yang umum dikenal para pembajak. Di Jawa, istilah seperti ini tidak dikenal, tapi populer sebagai "begal".
Tesis awalnya adalah ayam yang kelaparan di lumbung padi. Segala ada, semuanya tersedia, tapi karena banyak hal kita harus mencurinya atau merampoknya di rumah sendiri. "Banyak hal" itu bisa apa saja, akibat faktor kebodohan, kemalasan, kalah bersaing, merasa paling berhak (daripada berkewajiban), dan seterusnya.
Benang merahnya sisi negatif dari watak dasar manusia inferior, yang sebenarnya memang watak umum dari masyarakat daerah equator. Dilimpahi semua keuntungan alamiah, secara iklim maupun sumberdaya alam. Tapi tak bisa melihatnya sebagai potensi, akhirnya sudah cukup senang ketika sekedar diberi imbalan fee, royalti atau upeti.
[irp posts="1756" name="Siapa Gerangan Aktor-aktor Politik Yang Dimaksudkan Presiden Jokowi?"]
Intinya tidak mau repotnya, yang penting kebagian. Apa yang disebut Koentjaraningrat: watak tukang trabas, jalan pintas, atau main slonong!
Dalam sejarahnya, para lanun itu mulanya adalah masyarakat yang pada dasarnya orang baik-baik, cinta damai dan justru selalu terbuka untuk berbagi. Hanya ketika para "kolonialis" datang, untuk mula-mula berdagang, namun lama-lama karena berwatak menangan dan cenderung merampok. Maka karena kalah secara hukum, secara teknologi, secara apapun, lahirlah mereka sebagai lanun.
Perasaan tertindas dan tersisih inilah yang melahirkan watak perompak. Mereka ambil jalan pintas, jalan paling gampang untuk memperoleh segala sesuatu. Konon di Indonesia, banyak suku bangsa yang memiliki watak seperti ini. Bahkan mereka selalu bangga dan menganggapnya sebagai suatu legenda yang patut dikenang dan dilestarikan.
Saya tidak ingin menyebut sukunya (nanti jadi rasis), tapi bisa dilihat dari kemampuan mereka menguasai lautan, teknologi pembuatan kapalnya, sifat dasarnya yang berani dan suka berkelahi. Mulanya memang yang diserang adalah kapal-kapal imperialis dari Barat, namun lama-lama juga kapal dagang dari Timur Jauh, dan akhirnya sesama bangsa sendiri di Nusantara. Mana ada perompak pilih-pilih sasaran. Memangnya perompak budiman?
Dan di hari-hari kemarin kita melihat para lanun itu bersimaharajalela dalam panggung politik dan ekonomi nasional. Bahkan dengan cara yang lebih canggih dan kekinian, yang sebenarnya bukan watak dasar para lanun. Bila para lanun dulu, berani berhadapan langsung dengan musuhnya, saat ini lebih suka pakai cara-cara yang dulu ciri khas orang pedalaman yang suka kasak-kusuk, pinjam tangan orang lain, fitnah san-sini, kongkalikong, memprovokasi, dan sebagainya.
[irp posts="2168" name="Demo 212; Unjuk Rasa, Unjuk Soliditas, dan Unjuk Kelemahan"]
Mereka bisa punya seribu wajah dengan topeng yang berbeda-beda. Bisa membolak-balik perkataan, mengubah posisi duduk dan berdiri seenaknya sendiri. Posisi dasarnya adalah ban serep, tapi selalu ingin menjadi "king maker". Selalu berbicara tentang kepentingan akhirat, tapi yang dikejar selalu nafsu duniawi. Menumpuk kekayaan, melalui pembegalan berbagai proyek besar, menggunakan tangan kiri-kanan para kerabatnya.
Terakhir Si Raja Lanun ini, menggunting dalam lipatan: menamatkan riwayat seorang baik, dengan segala cara, dengan semua kemungkinan yang bisa ia lakukan. Ia merasa sukses? Belum konon ini hanya antara.
Yang selalu terperdaya dan kalah itu tentu saja rakyat (yang tentu saja tak kunjung cerdas dan mudah lupa) dan orang baik yang hanya suka bersuara (tapi malas bergerak itu).
Dan sekarang semua berteriak lantang, kembali memasang gambar Garuda Pancasila. Mereka lupa musuh terbesarnya ternyata Wakil Lurah-nya sendiri.
Mari kita tunggu ia menusukkan badik ke punggung Pak Lurah yang dianggap orang udik yang lemah itu. Dan setelah itu kita bersorak: Hore!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews