Banyak hal yang baru dalam operasi tangkap tangan Wali Kota Tegal Siti Masitha oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.
Pertama, saat siang ia ditangkap, malam harinya banyak para ASN (dulu disebut PNS) yang datang ke balai kota. Semula saya pikir akan ada aksi bela wali kotanya. Ternyata, sebaliknya mereka melakukan sujud syukur, bergembira ria seolah lepas dari cengkeram "Mak Lampir".
Sejelek itukah Sang Wali Kota, tentu tidak. Justru sebaliknya, wali kota ini justru "super duper" cantik, jauh dari kesan mbak-mbak penjaga warteg. Ia adalah anak mantan Direktur Garuda di masa lalu. Lebih dari setengah masa pendidikannya sejak SD hingga kuliah (sayangnya semua hanya setingkat akademi), dihabiskan di luar negeri. Di negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia di Jerman dan Amerika Serikat.
Artinya selain cantik, ia beruntung sudah lahir dari keluarga kaya. Jangan lupa adik kandungnya adalah Eddy Suparno, yang sekarang menjabat Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN).
Kedua, ini bukti bahwa daerah sebenarnya sudah muak dengan para pemimpin drop-dropan dari Pusat. Mereka selamanya tidak akan suka dipimpin orang yang sebenarnya hanya bertindak sebagai "vampire" yang menghisap habis mereka.
Dalam kasus Tegal, lebih parah daripada Klaten: Si ibu tidak hanya berjualan beli jabatan, tatapi bahkan berani me-nonjob-kan wakil walikotanya sendiri. Memindah-mindahkan aparat seenak udelnya sendiri (tentu tergantung "wani piro") dan menerapkan sistem setoran dari Kepala Dinas nyaris kayak gaji bulanan.
Ia tidak belajar sama sekali, dari walikota sebelumnya yang digantikannya yang juga dicokok KPK. Ia ini tipical orang yang suka berpindah-pindah partai hanya untuk mengejar jabatan. Sebelumnya ia adalah anggota Legislatif DPRD Jawa Barat dari Nasdem, lalu nyalon sebagai kader Golkar.
Profil kutu loncat sperti ini, selamanya hanya loyal pada dirinya sendiri dan ambisinya. Sialnya, partai-partai yang mengusungnya kok sering bangga dan menjadikannya sebagai simbol "kemenangan" terhadap "alien-alien" yang diusungnya itu.
Ketiga, ini bagian yang paling saya sedihkan: saya berharap bahwa pemimpin perempuan akan mencuci bersih karakter pemimpin laki-laki yang telanjur distigmakan sebagai para "hunter" harta, tahta, wanita. Saya berharap akan mucul Risma-risma lain di banyak daerah.
Tapi, yang muncul justru Angelina Sondakh, Sri Hartini, Miryam S. Haryani, Damayanti Wisnu Putranti, Atty Suharti, dan seterusnya, dn seterusnya. Yang sialnya mereka ini sama-sama suka dipanggil Bunda, sebutan paling melodius dalam bahasa Indonesia untuk memanggil seorang ibu.
Lebih buruk lagi dalam kasus Wali Kota Tegal ini, karena dia tidak punya gelar akademis. Secara resmi ia menabalkan gelar Hajjah dan KMT, yang satunya gelar keagamaan yang seharusnya menunjukkan derajat kesempurnaan ke-iman-annya. Sedang KMT (Kanjeng Mas Temenggung), sebuah gelar adat kekerabatan dari Kraton Surakarta yang semestinya menunjukkan keadiluhung-annya sebagai figur panutan penjaga budaya Jawa.
Walau bukan rahasia, gelar ini bisa dibeli asal ada sejumlah uang untuk sumbangan kraton. Cih!
Wanita ini telah merisak segala sesuatunya: agama, budaya, dan terakhir politik dan birokrasi. Ia telah memupus harapan bahwa saat ini adalah abad perempuan.
Ketika ia diberi kesempatan, ia menyelewengkannya jauh lebih brengsek, otoriter dan semena-mena dari kaum laki-laki. Bagian terburuknya, bukannya secara legawa menerima dan mau berinstrospeksi, ia ngeles merasa korban dari sistem dan permainan dari tema-teman2 sepermalingannya.
Ia contoh perempuan yang gagal memanfaatkan keberuntungannya: sejak lahir cantik, kaya, pandai, dan dikagumi; tetapi berakhir sebagai pencuri uang negara dan menyakiti hati rakyatnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews