Profesionalisme dan Poligami Itu Sama-sama Urusan Pribadi

Kamis, 31 Agustus 2017 | 22:14 WIB
0
637
Profesionalisme dan Poligami Itu Sama-sama Urusan Pribadi

Tidak saya sangka, sebuah postingan saya tentang perlunya sekptis dalam jurnalistik mendapat sambutan hangat pembaca di sosial blog yang saya dirikan tapi kemudian saya tinggalkan, Kompasiana. Saya tidak tahu persis, apakah sambutan itu mengenai topik yang disajikan atau karena saya menyentil kesadaran pembaca atas judul postingan saya itu, yakni Skeptis terhadap J.CO dan Wong Solo.

Mungkin bukan Johny Andrean dengan kreasi J.CO-nya yang menggugah, tetapi lebih karena sosok Puspo Wardoyo dengan Wong Solo-nya. So, ada apa dengan Puspo Wardoyo dan Wong Solo-nya itu?

Langsung ke sasaran saja, barangkali sosok Puspo Wardoyo yang mempraktikkan poligami secara terang-terangan membuat postingan itu diminati, sekaligus disikapi dengan sinis. Tulisan ini tidak bermaksud membahas poligami yang tidak saya kuasai, juga tidak saya sukai, setidak-tidknya sampai saat ini hahaha.

Timbul gagasan di kepala saya, apa kaitan Puspo Wardoyo dan Wong Solo-nya dengan jurnalistik, sebagaimana tema tulisan yang saya gunakan? Saya dari awal harus sudah mengantisipasi adanya simpati dan antipati terhadap tulisan ini.

Ketika postingan tentang skeptis dalam jurnalistik itu saya tautkan ke akun saya di Facebook, ia mendapat komentar dari dua senior saya sekaligus petinggi di Harian Kompas, Mbak Ninuk Mardiana Pambudy dan Mas Hendry Ch Bangun yang kini sudah purnatugas. Mbak Ninuk menyematkan komentar, “Tapi dalam kehidupan pribadi, kalau skeptis melulu capek deh… Jadi, perlu dibedain enggak antara sikap sebagai jurnalis dan kehidupan pribadi.” Sementara Mas Hendry menulis, “Bawa santai aja, tapi tetap fokus, gitu aja kok repot,  he…he… maaf”.

Rekan saya, Dion Db Putra, wartawan yang juga blogger Kompasiana memberi komentar atas tautan itu, “Kata saya sih perlu. SKEPTIS itu mutlak bagi jurnalis. Yang tidak boleh itu SINIS…”

Mendapat kehormatan karena dua senior mengomentari tautan itu, saya pun membalas di Facebook sebagai berikut:

“Mbak Ninuk, jangan mudah capek untuk skeptis selagi masih mau jadi wartawan. Di lapangan, kadang kita dihadapkan pada orang-orang yang nyebelin, Mbak, mungkin malah mengerikan. Misalnya tugas untuk mewawancarai pembunuh berdarah dingin macam Ryan. Kalau kita pilah-pilah dan Si Ryan itu pasti seorang keji, mungkin wartawan nggak bakalan dapet cerita yang bagus. Kalau untuk makan di resto Puspo, saya mungkin lebih baik pilih tempat lain saja (ini antara saya dan kehidupan Puspo yang poligamis)”.

Terus terang, saya menggarisbawahi komentar Dion: SKEPTIS itu mutlak bagi jurnalis, yang tidak boleh itu SINIS.

Saya memang telah begitu sering mendapatkan pertanyaan mengenai apa makna perlunya skeptis (ragu) bagi seorang jurnalis saat pelatihan jurnalistik di berbagai tempat maupun lewat surat elektronik. Konotasi “skeptis” di sini tidaklah jelek, justru sebaliknya. Ini memang murni ilmu jurnalistik.

Dulu saat saya “kuliah” di Diklat Kompas selama setahun sebelum diterjunkan ke lapangan, guru saya Luwi Ishwara selalu menekankan, bahwa menjadi wartawan sedikitnya harus punya dua sikap:  SKEPTIC (ragu) dan CURIOUSITY (rasa ingin tahu). “Tanpa dua sikap ini, berhentilah menjadi wartawan, bahkan Anda mungkin tidak bisa jadi wartawan!”

Skeptis adalah sikap yang tidak apriori terhadap orang atau terhadap peristiwa itu sendiri. Di sini timbul pertanyaan, lho kok wartawan harus ragu? Bukankah ragu itu sifat yang jelek banget?

Iyalah kalau ragu di sini dimaksudkan sebagai ragu meliput, ragu menulis, ragu wawancara atau ragu membaca. Skeptis di sini adalah si wartawan tidak mudah percaya begitu saja atas kabar yang didengarnya, tidak percaya begitu saja terhadap keterangan yang diberikan saksi mata atau narasumber, tidak percaya begitu saja atas keterangan pejabat, dan seterusnya.

Berbekal skeptis, wartawan beranjak ke verifikasi, syukur kalau bisa membuktikan kebenarannya di lapangan, meski kebenaran sementara.

Kalau terlalu rumit membayangkannya bagaimana mesin skeptis bekerja, saya ambil contoh sederhana saja. Ketika seorang jurnalis tidak punya sikap skeptis terhadap satu peristiwa, katakanlah peristiwa kecelakaan lalu lintas hebat yang menewaskan 10 orang, si jurnalis tidak perlu turun ke tempat kejadian perkara, tidak perlu melihat peristiwa, tidak perlu merasa harus on the spot di tempat kejadian. Ia cukup mendapat keterangan dengan cara kloning rekaman atau catatan teman atau keterangan polisi yang nantinya hanya akan menghasilkan berita “katanya”, “katanya”, dan “katanya”. Lama-lama Anda jadi “wartawan katanya”.

Berbeda kalau seorang jurnalis ragu atas sebuah peristiwa itu. Anda ragu atas keterangan polisi, ragu atas keterangan teman, Anda ragu dan ragu…. dan keraguan Anda itu menuntun Anda terhadap upaya merekonstruksi jalannya peristiwa kecelakaan maut itu.

Artinya, sebisa mungkin Anda harus on the spot, melihat tempat kejadian perkara, tangkap suasana di tempat kejadian itu, tanya saksi mata, gambarkan secara grafis kronologis atau detik-detik terjadinya tabrakan maut itu, kejar korban ke RS, kejar korban ke penampungan lain dan seterusnya…. Semua tidak akan Anda lakukan kalau Anda tidak skeptis, bukan?

Dengan begitu, niscaya jurnalis akan mendapatkan informasi paling mutakhir dan (mendekati) benar, informasi yang Anda gali sendiri, by yourself. Bukan informasi yang second sources. Jadikan keterangan polisi atau aparat berwenang tambahan saja, bukan laporan utama Anda. Laporan utama Anda adalah latar belakang, jalannya peristiwa, dan akibat dari kecelakaan maut itu, juga pendekatan humanisme dengan menulis lengkap data dan cerita para korban.

Sebentar…. Di mana cerita Puspo Wardoyo dengan Wong Solo-nya dan kaitannya dengan jurnalistik yang saya tulis sebagai judul di atas? Sederhana saja. Bukan murni dari saya, tetapi izinkan saya kembali mengutip komentar rekan Dion Db Putra tadi: “SKEPTIS itu mutlak bagi jurnalis, yang tidak boleh itu SINIS”!

Begitulah, saya datang menemui Puspo Wardoyo di Bintaro untuk suatu wawancara dengan satu sikap yang TIDAK APRIORI dan berusaha TIDAK SINIS.

Boleh jadi sebagian orang, khususnya kaum perempuan, jatuhkan benci dan antipasti kepada Puspo dengan sikap poligamis-nya itu. Sah-sah saja dan tak harus saling menyalahkan kalau saya tidak masuk ke ranah emosional seperti itu.

Kalau saya terpengaruh oleh kebencian atau kesinisan sementara orang terhadap Puspo, barangkali tidak akan ada cerita tentang pebisnis yang sudah membuka gerainya di Malaysia dan Singapura dengan merekrut ratusan tenaga kerja anak negeri ini.

Bagi saya, Puspo Wardoyo dan juga Johny Andrean, adalah dua anak kandung Ibu Pertiwi dengan segudang kreativitas bisnis dan kepiawaiannya menangkap tren dan gaya hidup sebagai peluang, bahkan peluang gaya hidup kelas kaki lima sekalipun.

***