Jangan Pilih Menteri Berpaspor Ganda!

Jumat, 19 Agustus 2016 | 08:07 WIB
0
422
Jangan Pilih Menteri Berpaspor Ganda!

Bagi burung nasar (vulture), tak ada bangkai yang mubazir. Sebaliknya, bangkai adalah makanan berharga paling lezat. Secara naluri, kawanan burung pemakan bangkai ini bahkan sudah mengetahui kapan makhluk hidup yang sekarat bakal menemui ajal.

Jabatan menteri ESDM yang kosong ditinggalkan Arcandra Tahar adalah “bangkai” yang aromanya semerbak kemana-mana. Di sekitar sanalah kawanan burung pemakan bangkai itu sabar menanti untuk bancakan. Tidak aneh kalau sejumlah pentolan partai politik bermanuver, melayang-layang di angkasa menentukan mangsa. Partai Golkar salah satunya.

Setelah lama tidak berkuasa, lapar kekuasaan di perut Golkar semakin terasa. “Kruyuk kruyuk”, begitu bunyinya. Satu kursi menteri yang kemarin sudah didapat dan disantapnya lahap masih terasa kurang. Maka partai berlogo beringin rimbun inipun menyorongkan sejumkah nama. Satya Widya Yudha, salah satunya.

Bagi orang politik, khususnya yang setiap hari ngendon di Gedung DPR, Widya bukanlah nama asing. Posisi kader golkar ini sekarang adalah Wakil Ketua Komisi VII DPR, jabatan yang cukup prestisius di lingkup Senayan. Ketua Bidang Energi dan Energi Terbarukan DPP Partai Golkar –mudahnya sebut saja Menteri ESDM-nya Golkar—Eni Maulani Saragih mengatakan, bukan hanya nama Widya yang dipersiapkan, tetapi ada nama lainnya, yaitu Zainudin Amali dan Dito Ganinduto. Tuh, banyak sekali, bukan?

Partai Nasdem yang kemarin mendapat jatah menteri, juga mengusulkan nama, yaitu Kurtubi. Anggota Komisi Energi DPR ini sebelumnya dikenal sebagai pengamat migas yang cukup trengginas. Selain dari parpol, nama lain dari kalangan profesional muncul, yaitu Gde Pradnyana. Saat ini lulusan ITB ini menjabat Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi. Karena tidak disorong partai, Gde tidak bisa disamakan dengan burung nasar karena hanya disebut-sebut saja.

Kemarin beredar isu mengenai kemungkinan Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengangkat kembali mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar yang sudah dilengserkannya terkait kewarganegaraan ganda yang dimilikinya. Kalau ini terjadi, Arcandra adalah menteri yang paling cepat mengalami “angkat-banting-angkat” sepanjang sejarah Republik ini berdiri. Jaya Suprana harus siap-siap mencatatkan peristiwa ini dalam rekor MURI terbarunya.

Sinyal ke arah diangkatnya kembali Arcandra itu bukan tidak ada, karena sebelumnya Kemenkumham pernah memberikan status WNI secara kilat kepada Nocolaas Jouwe dari Papua serta Hasan Tiro dan Hasan Zaini dari Aceh.

Ketiga orang ini pernah menjadi pemberontak terhadap NKRI. Bahkan menurut mantan Menteri Hukum dan HAM yang kini menjadi hakim konstitusi Patrialis Akbar, pemerintah bisa memproses pemberian kewarganenegaraan kepada Arcandra dalam waktu singkat, tidak harus bertele-tele.

Namun kunci semua itu, bola ada di tangan Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif. Mau mengangkat pengganti Arcandra dari parpol maupun nonparpol dalam hal ini kalangan profesional, itu juga terserah Presiden. Hanya saja, posisi “vaccum” kekuasaan di Kementrian ESDM yang dipegang oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri ESDM ad Interim (sementara) tidak boleh terlalu lama. Salah-salah sindroma kursi Ligna, yakni “kalau sudah duduk lupa berdiri”, bisa menyerang siapapun, termasuk Luhut.

Mengangkat pengganti Arcandra dari kalangan parpol sebagaimana digadang-gadang Golkar dan Nasdem, juga kurang elok, wa bil khusus bagi Golkar. Wong kemarin sudah dapat satu kursi menteri kok sekarang minta lagi, padahal Golkar partai yang belakangan “sadar” bergabung dengan pemerintah Jokowi. Malulah. Demikian juga Nasdem. Jangan sampai ada tudingan partai baru kok “kemaruk” kursi menteri.

Mengangkat kembali Arcandra juga perlu dipikir seribu kali. Memangnya tidak ada lagi anak-anak bangsa Indonesia ini selain Arcandra yang jago dalam urusan minyak dan gas? Selain itu, mengangkat kembali Arcandra berarti membiarkan “geger” dan “tsunami” politik, dari nyinyir sampai kritik, menerjang Republik ini tanpa kendali. Tetapi kalau paspornya sudah NKRI dan tidak ganda lagi, ya nggak ada masalah, suka-suka Jokowi saja.

Kelak yang dinyinyiri dan dikritik itu bukan Arcandra-nya lagi, tetapi proses cepat pengangkatannya sebagai WNI yang bagai Gundala putera petir setelah Arcandra kehilangan kewarganegaraannya; baik kewarganegaraan Indonesia maupun Amerika Serikat. Jokowi kembali akan menjadi “samsak hidup” kritikan dari pelbagai penjuru bumi, bahkan mungkin langit yang tak berpenjuru.

Yang terbaik adalah mengangkat profesional dengan kualifikasi seperti Arcandra, syukur kemampuannya melebihi, dalam urusan minyak dan gas. Jangan lupa pula memilih pengganti Arcandra berstatus warga negara Indonesia yang memiliki kewarganegaraan tunggal, yaitu kewarganegaraan Indonesia. Bukan kewarganegaraan Amerika, Tiongkok, Arab Saudi, apalagi Turki. Dijamin gelombang kritik bakal mereda.

***