Pemudik Gadungan [6] Besuk Seorang Kawan Demonstran di LP Wirogunan

Kawan sama-sama berdemonstrasi dulu itu terlihat segar dan agak berisi badannya. Kami berpelukan. Tak disangka bertahun-tahun tak bertemu, sekali ketemu di dalam penjara.

Selasa, 11 Juni 2019 | 07:28 WIB
0
715
Pemudik Gadungan [6] Besuk Seorang Kawan Demonstran di LP Wirogunan
LP Wirogunan (Foto: Arfi Bambani)

Laporan Hari Keenam, 4 Juni 2019

Penjara jadi salah satu pengalaman penting yang didapat anak dan istri saya di Lebaran kali ini. Sehari sebelum Idul Fitri datang, kami mengunjungi LP Wirogunan di Kota Yogyakarta. Tujuannya, membesuk seorang kawan saya yang sedang menjalani masa tahanan di sana.

Kami datang sekitar pukul 10.00 pagi. Di luar bayangan saya, ternyata prosedurnya mudah.

Ketika masih bekerja di media, saya pernah meliput ke dalam LP Cipinang, Rumah Tahanan Salemba, dan LP Nusakambangan, namun tak ada yang semudah, setransparan, dan serapi LP Wirogunan ini sistemnya. Saya hanya mendaftarkan diri dengan berbekal kartu identitas, lalu menyebutkan nama narapidana yang hendak saya kunjungi dan menerakan apa hubungan saya dengan dia.

Karena tak boleh membawa telepon genggam, saya harus meminjam loker menggunakan kartu identitas. Kami menunggu 5 menit baru dipanggil berdasarkan nomor antrean.

Pintu berjeruji itu pun dibukakan. Saya, istri dan anak kami yang berusia sedikit lagi 9 tahun lalu masuk. Kami harus melewati pendeteksi logam. Lolos, saya harus masuk ke pemeriksaan fisik di bagian khusus laki-laki, sementara istri dan anak saya di bagian perempuan. Istri saya yang membawa sebungkus rendang, kue basah, dan kue kering lolos berikut bawaannya. Saya tidak lolos karena ketahuan membawa segepok uang dalam amplop.

"Uang tak boleh dibawa masuk, Pak," ujar sipir yang memeriksa. "Bapak boleh mengasih uang dengan mentransfer langsung ke rekening narapidana," ujarnya lalu menyebut nama bank yang dipakai para narapidana. "Bisa ditransfer di dekat bagian pendaftaran tadi di luar," ujarnya.

Saya lalu keluar lagi, kembali ke bagian pendaftaran. Saya mendekati seorang petugas perempuan yang sudah siap dengan mesin EDC sebuah bank pelat merah. Saya mengatakan ingin mentransfer uang untuk seorang narapidana. Saya menyebut nama panjangnya. Si petugas membuka buku daftar narapidana berikut rekening mereka. Dia mengeluarkan kartu debetnya untuk mentransfer ke rekening yang bersangkutan, lalu saya menyerahkan uang tunai saya. Tak lama, si petugas menyerahkan bukti transfernya. "Nanti kasih bukti ini ke napinya," ujar dia.

Saya kembali lagi ke bagian penerimaan tamu narapidana di mana anak dan istri saya sudah berhasil masuk. Istri belakangan cerita, Gie sempat ketakutan saat masuk karena pintu penjara yang berjeruji. "Seram ya," ujarnya kepada istri saya.

Namun ruangan penerimaan tamu LP Wirogunan ini sebenarnya jauh dari kesan seram, malah seperti musala kecil karena kita harus lesehan dan tanpa alas kaki. Juga ada pojok buat anak-anak bermain. Setelah menunggu 10 menit, narapidana yang hendak kami temui pun datang. Kawan sama-sama berdemonstrasi dulu itu terlihat segar dan agak berisi badannya. Kami berpelukan. Tak disangka bertahun-tahun tak bertemu, sekali ketemu di dalam penjara.

"Ini Lebaran ke berapamu di sini?" saya bertanya.

"Keempat. Masih satu kali Lebaran lagi (baru keluar)," ujarnya tersenyum.

Kawan ini terlihat santai sekali. Wajahnya cerah. Dia cerita bagaimana sebenarnya lembaga pemasyarakatan itu gagal "memasyarakatkan" kembali narapidana-narapidana karena banyak faktor. Belum lagi dia menemukan banyak rekan-rekan sesama narapidana sebenarnya tidak layak dipenjara karena tidak melakukan kejahatan yang menguntungkan diri sendiri. Dia pun menganggap kasus yang menyeretnya ini juga tak layak membuat dia dipenjarakan sekian lama.

"Tapi mungkin ini nasibku, harus menjalani ini," ujarnya.

Dia juga memperlihatkan sebuah kartu debet bank pelat merah yang disimpan di sakunya. Di sini, transaksi resmi pakai kartu ini. Kalau yang tak resmi, transaksinya pakai rokok. Misal, potong rambut yang dilakukan seorang napi kepada napi lain dibayar dengan sebungkus rokok.

"Kamu juga ikut bekerja di dalam?" saya bertanya. Saya tahu ada kerjasama LP dengan pihak luar seperti supermarket misalnya, narapidana bekerja membuat kriya atau kerajinan lalu dijual di supermarket.

"Nggak. Itu seperti perbudakan," katanya. "Ada yang cuma digaji Rp50 ribu sebulan," katanya.

Saya lalu menyodorkan slip bukti transfer ke rekeningnya tadi. Mukanya jadi lebih cerah.

Ada sekitar setengah jam kami berbincang-bincang sambil lesehan sampai sipir meneriakkan namanya bahwa jatah bertemu sudah selesai. Saya berdiri memeluknya sekali lagi. Saat disalami anak saya, dia lalu memeluknya juga. "Jadi ingat anakku. Setinggi ini juga," katanya. Memang anak kami sebaya pula.

Dan saya menjanjikan, sebelum kembali ke Jakarta, akan datang sekali lagi. Saya akan berusaha mendapatkan dendeng batokok kesukaannya. Dia bilang, sudah cukup senang dengan kedatangan saya karena bisa bercengkerama, tidak kesepian.

Malamnya, saya, istri, dan Gie memilih duduk di Kafe Loko yang berdiri persis di pinggir rel menjelang masuk Jalan Malioboro. Sepanjang duduk di kafe yang buka 24 jam ini, pikiran saya melayang ke masa-masa dulu berkuliah di kota ini.

Saya pernah berdemonstrasi bersama kawan yang di penjara tadi, berjalan kaki dari Bunderan UGM melintasi rel di depan kafe ini, masuk ke Jalan Malioboro, terus sampai berhenti di persimpangan Nol Kilometer Yogyakarta.

Saya juga teringat saat satu kali tidak mudik, memilih Lebaran bersama dia di rumah keluarganya di pelosok Jawa Tengah. Kami sama-sama anak pertama dari empat bersaudara. Bapaknya juga mirip dengan bapak saya yang juga ustad sering mengisi ceramah di masjid. Mungkin kawan ini benar, bahwa tak selalu orang jahat yang dipenjara. Kadang ini perkara nasib.

#Mudik2019 #Yogya #Semarang

***

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [5] Borobudur, dari Raffles sampai Soeharto