Pemudik Gadungan [5] Borobudur, dari Raffles sampai Soeharto

Rekonstruksi ulang Borobudur itu baru massif dilakukan di era Soeharto dengan dibiayai oleh UNESCO. Rekonstruksi dilakukan sesuai bangunan terakhir yang dibuat Dinasti Syailendra.

Minggu, 9 Juni 2019 | 11:50 WIB
0
577
Pemudik Gadungan [5] Borobudur, dari Raffles sampai Soeharto
Relief di Borobudur (Foto: Arfi Bambani)

Laporan Hari Kelima, 3 Juni 2019

Bumisegoro. Daratan yang dikelilingi lautan. Di tengah pulau itu, berdiri sebuah tempat pemujaan. Segi empat. Berundak-undak, bak teratai di tengah danau. Suatu hari, gunung yang berada di sebelah timurnya meletus. Tanah di bawah danau retak, air mulai masuk ke retakan. Abu letusan berjatuhan menutupi pulau dan danau yang terus mengering. Piramida berundak-undak itu pun pelan-pelan tertimbun, menjadi gundukan bukit. Bumisegoro tinggal nama, segoro-nya sudah mengering.

Berabad-abad bahkan puluhan abad berlalu, menyisakan kisah tentang tanah Kamulan atau tanah asal mula itu. Abad ke-8, seorang raja Mataram kuno dari Dinasti Syailendra, memerintahkan gundukan tadi dibongkar. Raja yang seorang penganut Buddha ingin membangun kuil di atas gundukan tadi, di tanah Kamulan. Bangunan baru dari batu dan diberi relief disusun mengikuti bentuk segi empat dan struktur piramidal yang mengecil ke atas. Relief-relief setiap lapis menggambarkan fase kehidupan seorang Budha. Piramida itu berubah menjadi candi Budha.

Dalam prasasti Karangtengah tercantum, Ratu Pramudawardhani menganugerahkan tanah sima (tanah bebas pajak) untuk memelihara Kamulan yang disebut Bhumi Sambhara Bhudhara. Rakyat di sekeliling candi tadi menyebut bangunan ini sebagai Borobudur. Namun bencana alam terus menghantui Kamulan. Sampai akhirnya abad 14, seiring dengan pudarnya kejayaan kerajaan Hindu Mataram, Borobudur pun terkubur sekali lagi dan nyaris terlupakan. Tempat sembahyang itu sekali lagi menjadi gundukan bersemak dan bahkan menjadi hutan.

Baca Juga: Borobudur yang Malang, Kini Dianggap Simbol Kebengisan Myanmar

Tahun 1814, pada kunjungan inspeksinya di Semarang, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro ini. Ia mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Butuh dua bulan bagi Cornelius beserta 200 anak buahnya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur. Kolonial Belanda berhasil menampakkan lagi Borobudur sekali lagi, namun sayang setelah itu penjarahan marak terjadi.

Rekonstruksi ulang Borobudur itu baru massif dilakukan di era Soeharto dengan dibiayai oleh Unesco. Rekonstruksi dilakukan sesuai bangunan terakhir yang dibuat Dinasti Syailendra.

Saat rekonstruksi dan rehabilitasi itulah diketahui Borobudur yang hari ini kita lihat berdiri di atas tapak piramida berundak-undak. Itulah mengapa Borobudur ini unik jika dibandingkan dengan candi-candi Budha lainnya seperti di Thailand, Kamboja atau Myanmar yang lebih ramping namun menjulang tinggi. Dan bagi saya, Borobudur lebih dari sekadar candi Budha. Dia lebih tua dari itu.

Perjalanan ke Borobudur ini mewarnai hari kelima kami mudik gadungan ke Semarang dan Yogyakarta. Ini kali ketujuh saya ke candi ini. Namun ini yang pertama bagi Gie, anak kami. Dia pun sampai meminta langkah pertamanya di candi ini divideokan.

Supaya menarik bagi Gie, saya mengisahkan bahwa relief-relief di Borobudur ini seperti film. Dia dinikmati mulai dari Pintu Timur, berjalan ke arah kiri, mengitari candi searah jarum jam. Namun karena ilmu saya yang terbatas dalam memahami relief, tugas Gie hanya mencatat kendaraan, binatang, dan buah-buahan apa saja yang tergambar dalam relief.

Dia menemukan kendaraan kereta kuda beroda, tandu, dan kapal laut. Dia mencatat gambar-gambar binatang seperti hiu, gajah, kuda, ular, anjing, kucing, tupai, burung, dan kura-kura. Ada satu temuan ganjil, orang yang memiliki kaki seperti kaki elang dan memiliki sayap.

"Relief ini pesan dari orang-orang zaman dulu kepada orang-orang di masa depan, Gie," ujar ibu Gie. "Kalau kini, pesan disampaikan dengan tulisan, film, video."

"Keren ya," ujar Gie.

Usai mengelilingi candi, kami mampir dulu di Museum Samudraraksa, yaitu museum yang didedikasikan untuk kapal yang dibuat berdasarkan relief di Borobudur. Kami membayar Rp25 ribu untuk menikmati museum yang disampaikan secara naratif melalui video dan virtual reality ini. Di akhir pertunjukan, muncul Presiden Jokowi dengan pidato mengenai visi Poros Maritimnya. Eh, ini kampanye, bukan ya?

Sayang kami harus melewatkan Museum Borobudur karena ingin mengejar berbuka puasa di Warung Ayam Goreng Mbah Cemplung di Bantul. Kami pun melaju ke arah Yogyakarta dengan melewati jalur yang tembus dari Borobudur ke Kulon Progo, bukan melalui Jalan Magelang. Karena jalannya lebih kecil, kami baru tiba di warung menjual ayam goreng itu 15 menit setelah berbuka. Dan nahasnya, kami harus menunggu satu jam pula untuk bisa mendapat suguhan ayam goreng khas Mbah Cemplung.

Dengan jerih payah serta lama menunggu, ayam goreng ini terkesan biasa saja bagi kami. Dagingnya alot sehingga mengingatkan kami pada ayam goreng Kalasan yang lembut.

Dan tunggu kisah kami di hari berikutnya. Semoga bisa mencicipi ayam goreng Kalasan yang legendaris itu.

#mudik2019 #yogya #semarang

***

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [4] "Monggo" Meliterasi Masyarakat tentang Cokelat