Pemudik Gadungan [4] "Monggo" Meliterasi Masyarakat tentang Cokelat

Monggo meliterasi masyarakat tentang cokelat, asal-usulnya, proses kakao menjadi massa cokelat, dan bagaimana membuat massa cokelat menjadi cokelat yang siap dimakan.

Kamis, 6 Juni 2019 | 22:06 WIB
0
520
Pemudik Gadungan [4] "Monggo" Meliterasi Masyarakat tentang Cokelat
Monggo Cokelat (Foto: Cosmo Hotel)

Laporan Hari Keempat, 2 Juni 2019

"The best thing fire did was cook. Foods that human can not digest in their natural forms -such as wheat, rice, and potatoes- become staples of our diet thanks to cooking. Fire not only changed foods chemistry, it's changed its biology as well. Cooking kills germs and parasites that infested food. Human also had a far easier and faster time chewing and digesting... .

The advent of cooking enabled human to eat more kinds of food, to devote less time to eat... ."
(Yuval Noah Harari, "Sapiens")

Harari luput menyebutkan contoh cokelat sebagai salah satu pangan yang diolah manusia harus dengan dimasak. Suku Maya di Amerika pernah menjadikan cokelat sebagai minuman sehari-hari mereka dan ketika Suku Aztec menaklukkan mereka, cokelat menjadi kemewahan. Bijinya menjadi mata uang. Beberapa puluh biji kakao dihargai satu ekor kelinci.

Cokelat yang merupakan olahan dari biji kakao diperkenalkan suku asli Amerika kepada penjajah Spanyol. Suku Aztec mengonsumsi cairan dari pengolahan biji kakao dan karena gula belum dikenal, ditambahilah dengan cabai untuk menandingi rasa pahit dari cokelat. Bangsa Eropa kemudian membawa kakao ini ke negerinya sebagai hidangan minuman untuk para raja.

Butuh dua ratus tahun kemudian, setelah seorang Belanda bernama Casparus dari Houten atau Casparus van Houten menemukan teknik mendapatkan bubuk cokelat dari pengolahan biji kakao, cokelat bisa berbentuk padat sehingga berkembang menjadi makanan seperti sekarang.

Cokelat kini adalah industri besar dunia. Meski Indonesia merupakan ketiga terbesar penghasil kakao, kita kebingungan mengolah kakao ini menjadi cokelat karena memang rumit. Ini menjadi kegusaran Thierry Detournay, seorang Belgia yang memperistri orang Solo ketika menetap di Yogyakarta dua dekade silam.

Sebagai orang Belgia, negeri yang menemukan cokelat praline alias cokelat yang ada isinya, Thierry menemukan cokelat yang dikonsumsi di Indonesia berkualitas rendahan, ironi dengan posisi Indonesia sebagai penghasil kakao.

Thierry mulai memproduksi cokelat sendiri. Mereknya "Monggo". Dari awalnya menjajakan sendiri produknya di jalanan Yogyakarta, kini "Monggo" beredar hampir di seluruh kota besar Indonesia. Pabrik Monggo memproduksi 300.000 kilogram produk cokelat per hari. Monggo meliterasi petani-petani tentang bagaimana menghasilkan biji kakao berkualitas tinggi.

Monggo juga meliterasi masyarakat tentang cokelat. Tentang asal-usulnya. Tentang proses kakao menjadi massa cokelat. Tentang bagaimana membuat massa cokelat menjadi cokelat yang siap dimakan. Dan itulah pengalaman kami di Museum Cokelat Monggo di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kami tiba di museum sekitar pukul 16.00. Untuk bisa masuk ke museum, ada dua pilihan. Pertama, membeli tiket masuk yang dihitung per orang, dengan harga Rp10 ribu per orang, belum lagi ditambah membayar pemandu. Kami memilih cara kedua, membayar Rp200 ribu paket all in, mulai dari membuat cokelat lalu membawa pulang hasilnya, dan tur ke dalam museum disertai pemandu.

Biaya Rp200 ribu ini jadi murah jika Anda datang beramai-ramai maksimum 10 orang karena yang dibayar tetap sejumlah itu.

Namun, kami harus antre menunggu pembuatan cokelat karena sudah ada keluarga lain yang lebih dulu melakukan. Sambil menunggu, kami melongok sebentar ke Kafe Monggo yang menyediakan makanan dan minuman berbasis cokelat, dan langsung memesan untuk berbuka puasa nanti. Saya memesan es cokelat 77 persen. Istri saya pesan es cokelat yang dikombinasi espresso. Gie tentu saja es cokelat susu. Tak lupa, kami memesan air mineral dan makanan bernama Galette.

Gie semangat mencoba semua mainan yang disediakan. Mulai dari bermain angklung, lalu terompah kayu ala 17-an yang bisa diinjak tiga orang sekaligus di halaman Museum Monggo. Tiba-tiba saya melihat pakaian stelan Jawa yang disediakan untuk selfie. Ada hadiah untuk pengunjung yang berswafoto ala-ala jawa dengan latar apa saja bertulisan Monggo di area museum.

Woila, saya dan Gie beraksi berfoto. Tak lama, giliran kami pun tiba untuk mengolah cokelat. Pas lima menit menjelang berbuka, acara mengolah cokelat selesai. Kami berbuka dulu dengan minuman cokelat. Delapan buah galette terhidang di depan kami. Ternyata galette adalah sejenis makanan mirip panekuk yakni lapisan tipis adonan tepung dan telur yang bisa diisi dengan cokelat misalnya yang sering dibikinkan istri saya untuk Gie. Persis rasanya. Usai berbuka, barulah tur museum dimulai.

Hari keempat ini hari Gie banget. Sebelum ke Museum Cokelat, Gie menikmati waktu di Taman Pintar. Gie menikmati pengalaman di Gedung Oval, mulai dari melihat diorama dinosaurus, menjajal beberapa fitur permainan berbasis virtual reality, dan peraga-peraga sederhana menunjukkan bagaimana katrol, roda gerigi dan listrik bekerja. Kami juga mencoba sensasi ruangan terbalik 180 derajat dan 90 derajat. Saya dan Gie juga bermain sebagai presenter televisi. Usai di Gedung Oval, Gie membatik di area kerajinan.

Dari Museum Cokelat, kami yang masih kelaparan kembali ke tengah kota. Rumah makan pertama sudah habis persediaannya saat kami tiba. Lalu kami menuju ke rencana cadangan, yang ternyata sudah tutup karena libur Lebaran. Warung Bakmi Mbah Gito menjadi tujuan berikutnya.

Baca Juga: Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"

Dan setelah antre sebentar, kami akhirnya mendapatkan bangku tapi ternyata harus menunggu lagi setengah jam untuk mendapatkan mi goreng dan mi rebus. Mi Mbah Gito ini tampak sederhana namun lezat. Telurnya berlimpah ruah, diselingi ayam suir. Saat makan, Mbah Gito datang menghampiri hampir setiap pelanggannya. Kami tak lupa berfoto dengan beliau.

Usai makan bakmi, istri teringat gudeg malam hari yang menarik untuk dicoba. Gudeg Pawon menjadi pilihannya. Di Google Map disebutkan, Gudeg Pawon baru buka pukul 21.30. Kami tiba di lokasi pukul 21.00 dan antrean sudah mengular. Kami berbagi tugas. Istri mengantre, saya menunggui anak yang capai ketiduran.

Gudeg Pawon tepat buka pukul 21.30, namun istri saya baru mendapatkan pesanan kami satu setengah jam kemudian. Makanan terbungkus itu kami bawa pulang, langsung dimakan begitu sampai di penginapan menjelang tengah malam. Sayangnya, gudegnya tampak sedikit sekali. Istri berkata, pemilik pawon ingin memastikan semua yang antre bisa mendapatkan gudeg.

Dan setelah membersihkan badan, kami terlelap keletihan dan kekenyangan.

Itulah petualangan hari keempat kami di Semarang dan Yogyakarta. Nantikan kisah-kisah berikutnya.

**

Tahun ini, kami sekeluarga memilih mudik ke kampung orang, bukan kampung sendiri. Kami memilih mudik ke Yogyakarta. Selain suka dengan suasana kotanya serta pilihan hotel yang banyak, saya ingin menyempatkan diri menemui seorang kawan yang sudah lama tak bersua. Selain tentunya menemui kawan-kawan saat kuliah atau beraktivitas di Yogya dulu.

Kami menempuh jalan darat dengan membawa kendaraan sendiri ke Yogya. Mobil sudah berkali-kali dibawa ke bengkel sebelum berangkat untuk dipastikan kesiapannya. Awalnya kami mendesain berangkat tanggal 2 Juni, namun belakangan baru sadar, 30 Mei 2019 yang jatuh pada hari Kamis adalah kalender merah, sisa 'Harpitnas' di Jumat 31 Mei 2019.

Jadilah kami putuskan berangkat 30 Mei, Gie kita mintakan izin tak sekolah pada 31 Mei karena pada dasarnya juga hanya bermain-main di sekolah setelah ujian kenaikan kelas sudah kelar seminggu sebelumnya.

Namun ada persiapan tambahan yang harus kami lakukan kali ini, mencari hotel yang ramah hewan peliharaan. Istri saya tak tega meninggalkan Georgia, kucing persia anak saya, di penitipan hewan. Jadilah, saya sebagai chief digital rumah tangga, harus mencari dengan teliti penginapan-penginapan ramah hewan peliharaan. Sampai H-5, barulah tuntas booking 4 penginapan berbeda di Semarang dan Yogyakarta.

#Mudik2019 #Yogya #Semarang

*** 

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [3] Melihat "Homo" di Museum Sangiran