Pemudik Gadungan [3] Melihat "Homo" di Museum Sangiran

Setelah makan sekenyangnya, kami menuju penginapan. Pilihan kami sebuah homestay ramah hewan peliharaan di bilangan Nitiprayan, Bantul. Namanya, Lorong Homestay.

Selasa, 4 Juni 2019 | 21:47 WIB
0
660
Pemudik Gadungan [3] Melihat "Homo" di Museum Sangiran
Kamar sebuah homestay (Foto: Arfi Bambani)

Laporan Hari Ketiga, 1 Juni 2019

"Sebuah kejutan besar yang muncul dari revolusi genom adalah bahwa di masa lalu yang relatif dekat, populasi manusia sama saja saling berbedanya seperti populasi manusia hari ini, namun garis-garis batas antarpopulasi itu nyaris tak dikenali bedanya."
(David Reich dalam "Who We Are and How We Get Here", 2018)

Tulisan ilmuwan Harvard itu terngiang di kepala saya ketika berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran di hari ketiga perjalanan mudik gadungan kami sekeluarga. Rekonstruksi kerangka Homo Erectus yang pertama kali ditemukan Eugene Dubois di abad 19 di Sangiran itu memperlihatkan betapa nyaris tak terlihatnya perbedaan kita, manusia modern, dengan manusia yang kita sebut purba ini.

Ada empat hal yang menonjol perbedaannya, yakni bentuk jidat yang tidak rata, ukuran kepala yang lebih kecil, badan yang kekar, dan bentuk dagu yang lebih pendek. Namun, bukankah kita melihat fitur-fitur itu juga kadang muncul di manusia-manusia modern yang hidup bersama kita hari ini?

Di luar dugaan saya, museum yang terletak di sebelah utara Kota Solo ini lumayan mutakhir menampilkan analisis atas koleksinya. Beberapa perdebatan mutakhir mengenai hubungan manusia-manusia masa lalu dengan manusia modern juga ditampilkan. Namun saya sejak awal sudah khawatir, pemandu museum yang justru tidak up to date sehingga kadang saya harus sela penjelasannya dengan beberapa perkembangan terbaru sejarah umat manusia ini.

Manusia modern (Homo sapiens), yang berkembang di luar Afrika, kawin-mawin dengan beberapa manusia yang sudah ada sebelumnya. Setidaknya, manusia di luar Afrika membawa dua gen manusia purba lainnya yakni Homo Neanderthal dan Homo Denisovan. Bahkan orang-orang asli Papua dan Australia atau dikenal sebagai rumpun Melanesia, memiliki gen manusia purba yang ketiga yang masih diriset lebih jauh oleh para genetikawan dunia.

Saya pernah mewawancarai seorang genetikawan, dia sudah menyebut ada kemungkinan juga Homo sapiens yang keluar dari Afrika kawin-mawin dengan Homo erectus. Untuk diketahui, Museum Sangiran ini menyebut Homo erectus hidup sejak 1,9 juta tahun lalu dan baru punah 100.000 tahun yang lalu, tumpang tindih dengan keberadaan Homo sapiens yang sudah muncul sejak 200.000 tahun yang lalu.

Homo erectus bisa jadi adalah missing link yang menghubungkan kekerabatan manusia dengan nenek moyang kera. Mereka menjelajah bumi selama hampir 2 juta tahun (bayangkan, manusia modern baru menjelajah bumi selama 200 ribu tahun), sehingga proses evolusi mereka semakin pintar mustahil terelakkan. Homo erectus mengembangkan keterampilan membuat alat, membuat api, bahasa sederhana dan kemampuan sosial bekerja sama. Dan Jawa adalah hot spot populasi Homo erectus yang terbukti dengan penemuan fosil Homo erectus terbanyak di dunia.

Museum Sangiran menjadi tujuan wisata kami setelah meninggalkan Kota Semarang. Dari Semarang, kami menyusuri jalan tol Semarang-Solo, keluar di Pintu Tol Palur yang juga mengarah ke Sragen.

Sebelum sampai Sragen, kami belok kiri ke Sangiran. Jalannya kecil dan di beberapa titik sudah rusak. Nyaris satu jam dari masa keluar tol, kami tiba di museum ini, dengan harga tiket masuk cuma Rp8 ribu dan parkir mobil Rp10 ribu. Anak-anak gratis. Dan perlu dicatat, kami boleh membawa kucing ke dalam museum.

Ada tiga ruang pamer di museum ini. Jika Anda tidak membaca bacaan soal evolusi manusia, sebaiknya gunakan jasa pemandu. Namun, tentunya ada beberapa penyampaiannya yang tidak mutakhir dan cenderung bias.

Ke Yogya

Dari Sangiran, kami lanjut ke Yogyakarta melalui jalan biasa, lewati jalur yang menghindari pusat Kota Solo. Setengah jam menjelang waktu berbuka, kami sudah mengantre di sebuah warung Spesial Sambal (SS) yang selalui menjadi warung wajib kunjung saya dan istri setiap kali ke Yogya.

Kami dapat antrean no 8 dan apesnya, kami sekeluarga jadi antrean no 1 saat waktu berbuka tiba alias harus menunggu ada yang berbuka dulu menyelesaikan makannya sehingga kami bisa duduk. Untunglah SS menyediakan takjil berbuka yang gratis.

Nah, sesuai namanya, spesialisasi SS adalah sambalnya. Mereka menawarkan 32 macam sambal untuk dijajal. Di dindingnya terpajang daftar Sambal Terlaris Bulan April. Pemuncaknya adalah Sambal Bawang. Istri saya pesan sambal bawang, saya pesan sambal petai (no 8 di daftar terlaris). Lauknya hanya pelengkap saja. Total 3 orang, kami menghabiskan Rp141 ribu.

Baca Juga: Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"

Saya mengikuti sejarah SS ini dari hanya sekadar warung tenda di trotoar Jalan Kaliurang di sisi Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada. Saat itu, SS menjual satu porsi sambal hanya Rp250. Jadi dengan uang Rp5 ribu saja saat itu, Anda sudah bisa makan sepuasnya kala itu. Kini, seporsi sambal SS dijual mulai dari harga Rp2.500 per porsi. Apakah ini gara-gara Jokowi jadi presiden? Eh, tentu tidak.

Setelah makan sekenyangnya, kami segera menuju penginapan. Pilihan kami adalah sebuah homestay ramah hewan peliharaan di bilangan Nitiprayan, Bantul. Namanya, Lorong Homestay. Tak ada papan nama di penginapan ini, namun sepertinya dia terkenal di ranah online, yang terbukti dari tamunya yang sebagian warga asing.

Penginapan ini "nyeni" sekali. Dia dirancang oleh seorang arsitek menggunakan bahan sebagian besar vintage alias bekas pakai. Kamar-kamar tidak menggunakan pendingin ruangan namun tetap terasa adem sehingga saya pun tidur malam harus pakai selimut. Ada common room di mana terdapat pantry, kompor, dispenser, kulkas, serta teh dan kopi. Silakan digunakan dan bersihkan sendiri setelah dipakai.

Dan Georgia, kucing kami, sepertinya menyukai tempat ini. Dia menemukan makhluk-makhluk kecil yang membuat dia penasaran. Dia kerap memandang keluar dari dinding kaca atau jeruji. Ah, kami tidak salah pilih menginap di sini.

Tunggu kisah-kisah kami berikutnya selama Mudik Gadungan ke Semarang dan Yogyakarta.

**

Catatan:


Tahun ini, kami sekeluarga memilih mudik ke kampung orang, bukan kampung sendiri. Kami memilih mudik ke Yogyakarta. Selain suka dengan suasana kotanya serta pilihan hotel yang banyak, saya ingin menyempatkan diri menemui seorang kawan yang sudah lama tak bersua. Selain tentunya menemui kawan-kawan saat kuliah atau beraktivitas di Yogya dulu.

Kami menempuh jalan darat dengan membawa kendaraan sendiri ke Yogya. Mobil sudah berkali-kali dibawa ke bengkel sebelum berangkat untuk dipastikan kesiapannya. Awalnya kami mendesain berangkat tanggal 2 Juni, namun belakangan baru sadar, 30 Mei 2019 yang jatuh pada hari Kamis adalah kalender merah, sisa 'Harpitnas' di Jumat 31 Mei 2019. Jadilah kami putuskan berangkat 30 Mei, Gie kita mintakan izin tak sekolah pada 31 Mei karena pada dasarnya juga hanya bermain-main di sekolah setelah ujian kenaikan kelas sudah kelar seminggu sebelumnya.

Namun ada persiapan tambahan yang harus kami lakukan kali ini, mencari hotel yang ramah hewan peliharaan. Istri saya tak tega meninggalkan Georgia, kucing persia anak saya, di penitipan hewan. Jadilah, saya sebagai chief digital rumah tangga, harus mencari dengan teliti penginapan-penginapan ramah hewan peliharaan. Sampai H-5, barulah tuntas booking 4 penginapan berbeda di Semarang dan Yogyakarta.

#Mudik2019 #Yogya #Semarang

***

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [2] "Pintu Seribu" di Waktu Malam