Pemudik Gadungan [2] "Pintu Seribu" di Waktu Malam

Tata lampu untuk gedung ini patut dipuji karena membuat gedung yang pernah menjadi basis pejuang melawan serbuan pasukan sekutu ini sangat Instagramable.

Senin, 3 Juni 2019 | 13:32 WIB
0
708
Pemudik Gadungan [2] "Pintu Seribu" di Waktu Malam
Lawang Sewu (Foto: Arfi Bambani/Dokumentasi Pribadi)

Tahun ini, kami sekeluarga memilih mudik ke kampung orang, bukan kampung sendiri. Kami memilih mudik ke Yogyakarta. Selain suka dengan suasana kotanya serta pilihan hotel yang banyak, saya ingin menyempatkan diri menemui seorang kawan yang sudah lama tak bersua. Selain tentunya menemui kawan-kawan saat kuliah atau beraktivitas di Yogya dulu.

Kami menempuh jalan darat dengan membawa kendaraan sendiri ke Yogya. Mobil sudah berkali-kali dibawa ke bengkel sebelum berangkat untuk dipastikan kesiapannya. Awalnya kami mendesain berangkat tanggal 2 Juni, namun belakangan baru sadar, 30 Mei 2019 yang jatuh pada hari Kamis adalah kalender merah, sisa 'Harpitnas' di Jumat 31 Mei 2019.

Jadilah kami putuskan berangkat 30 Mei, Gie kita mintakan izin tak sekolah pada 31 Mei karena pada dasarnya juga hanya bermain-main di sekolah setelah ujian kenaikan kelas sudah kelar seminggu sebelumnya.

Namun ada persiapan tambahan yang harus kami lakukan kali ini, mencari hotel yang ramah hewan peliharaan. Istri saya tak tega meninggalkan Georgia, kucing persia anak saya, di penitipan hewan. Jadilah, saya sebagai chief digital rumah tangga, harus mencari dengan teliti penginapan-penginapan ramah hewan peliharaan. Sampai H-5, barulah tuntas booking 4 penginapan berbeda di Semarang dan Yogyakarta.

Bagaimana perjalanan kami? Saya akan buat cerita berseri hari per hari.

Hari Kedua, 31 Mei 2019

Setelah tiba dini hari dan langsung disambung dengan sahur di Semarang, kami tidur saat Subuh menjelang. Terbangun lagi ketika matahari sudah tinggi.

Pukul 14, kami sudah bersiap berwisata ke Museum Ranggawarsita. Namun ketika melihat profil museum di Google Map, baru sadar bahwa museum ini akan ditutup pukul 15.00. Kami memindahkan rencana langsung ke Lawang Sewu. Pukul 14.10, kami melaju ke bekas kantor Perusahaan Kereta Api zaman kolonial Belanda itu. Namun ketika melihat gedung itu di siang hari, istri saya berkata, sepertinya lebih keren di malam hari.

Kami pun melewatkan dulu Lawang Sewu yang bermakna Pintu Seribu itu, menuju ke Kampung Pelangi. Namun lagi-lagi berubah pikiran ketika melewati pinggir kampung yang dicat warna-warni itu. Klenteng Sam Poo Kong menjadi pilihan berikutnya.

Setiap kendaraan yang masuk harus membayar Rp10 ribu. Kemudian kami membeli tiket terusan, dua dewasa dan satu anak-anak. Sati dewasa Rp28 ribu, anak Rp15 ribu. Dapat cashback jika membayar dengan Gopay.

Klenteng Sam Poo Kong terkait erat dengan kisah Laksamana Zheng He atau Cheng Ho. Konon, ketika melewati perairan Semarang, salah satu anak buahnya sakit keras, lalu laksamana memerintahkan membuang sauh di sini sekalian memperbaiki kapal. Dan di salah satu pinggir sungai yang kini jadi Kanal Semarang itu ada sebuah gua batu yang dijadikan tempat sembahyang. Gua batu inilah yang berkembang menjadi Klenteng Sam Poo Kong.

Yang menakjubkan bagi anak saya adalah membaca kisah Laksamana Cheng Ho yang sudah berlayar ke beberapa benua di abad 14 itu. Gie, anak saya, mencatat negeri-negeri yang dikunjungi pembawa misi perdamaian dari kekaisaran China itu. Tak lupa, kami pun memfoto dia di bawah patung besar sang laksamana.

Waktu sudah menunjukkan 16.30 ketika kami beranjak meninggalkan kuil berwarna merah ini. Tujuan kami berikutnya adalah Teras Kafe Ny Wiling di Jalan Ligu. Kami akan berbuka puasa di sana dengan menu esnya yang terkenal, Gempol Wiling. Konon minuman ini hanya ada di Semarang, tak ditemukan di tempat lain di muka bumi ini.

Kami menunggu sekitar setengah jam menanti waktu berbuka puasa untuk menikmati Gempol ini. Apa itu gempol? Sepanjang yang saya rasakan adalah tepung beras yang dibentuk seperti kembang dan bulatan dikombinasi dengan es bersantan. Ada rasa manis setiap menciduknya. Memang unik.

Untuk makanannya, saya memesan tahu petis, istri saya memesan bubur Semarang dan anak saya pesan nasi ayam bakar yang disertai sayur asam. Pesanan kami terasa biasa saja, sementara pesanan anak saya enak sekali sehingga anak saya memesan nasi tambahan.

Nah, usai berbuka, kami menuju Lawang Sewu. Setelah parkir di sebuah kompleks pertokoan dekat gedung yang kini dikelola PT Kereta Api itu, kami berjalan kaki ke depan gedung yang terkenal se-Indonesia setelah muncul di tayangan reality show Dunia Lain itu. Tiket masuk untuk dewasa Rp10 ribu, sementara anak hanya Rp5 ribu.

Memang sangat pas jika datang ke gedung ini saat malam hari, namun jangan sampai berkunjung sendirian karena nuansanya memang menyeramkan.

Tata lampu untuk gedung ini patut dipuji karena membuat gedung yang pernah menjadi basis pejuang melawan serbuan pasukan sekutu ini sangat Instagramable. Kami membuat puluhan foto dalam satu jam kunjungan ke sini. Selain berfoto-foto, pengunjung bisa juga menikmati sajian museum kereta api. "Setelah melihat museum ini, membuat kita berpikir betapa luar biasanya kerja orang-orang membangun sistem kereta api ini ya," ujar istri saya.

Meski terkesan angker, banyak sekali yang mendatangi gedung ini di malam hari. Ada pasangan yang sekadar duduk-duduk di halaman tengah gedung. Anak-anak berlarian ke sana ke mari. Bagi yang kelaparan, terdapat sebuah gerai makanan saji ternama di belakang gedung. Luar biasa pengelolaan gedung ini.

Nah, berhubung hanya berbuka sekadarnya, kami meninggalkan Lawang Sewu menuju Soto Mbak Lin dekat Matahari di Simpang Lima. Saat menepi ke warung di pinggir jalan itu, tukang parkir memberita tahu bahwa nasi untuk sotonya sudah habis. Mobil pun kembali dibawa ke tengah, menuju rencana cadangan ke Pindang Kudus dan Soto Semarang di Jalan Gajah Mada. Kedai kecil di pinggir jalan itu sudah lumayan lega saat kami datang. Langsung, sebagai pasangan yang kompak, istri memesan pindang daging, sementara saya pesan soto.

Baca Juga: Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"

Sambil menyeruput soto, saya sambar tempe goreng yang sangat kering yang saya suka. Istri saya menarik sebungkus kerupuk kulit. Saya pun menarik satu kerupuk kulitnya, krenyes, enak sekali. Belum pernah saya menemukan kerupuk kulit segurih ini. Namun porsi pindang dan soto ini terlalu sedikit, kami pun memesan lagi. Kali ini terbalik. Saya yang pesan pindang, istri saya pesan soto. Luar biasa.

Di dinding kedai ini terpasang foto-foto pemilik atau karyawan kedai dengan selebriti. Tampak foto dengan Maia Estianty, Afgan, dan Anne Avanty. Meski kegemaran seleb, total kerusakan yang kami timbulkan hanya sekitar Rp110 ribu. Sangat layak dikunjungi kembali tempat ini.

Usai makan pindang dan soto, kami ke sebuah supermarket dulu untuk beli buah untuk sahur, kebiasaan kami di Jakarta. Usai belanja, istri saya masih bertanya, apakah Toko Oen masih buka pukul 21 malam. Saya cek di Google Map, toko yang sudah berdiri sejak 1936 ini masih buka sampai 21.30 dan kami masih bisa mengejar ke sana karena dekat sekali dengan supermarket kami belanja ini.

Karena datang menjelang tutup, kami hanya boleh memesan minum. Kekhasan toko ini adalah mereka menjual es krim buatan sendiri. Kami bertiga lalu memesan es krim, istri saya pesan berikutnya kopi susu dan kue nougat. Mungkin karena buatan sendiri, es krimnya menurut anak saya tidak seenak merek pabrikan yang biasa dia konsumsi. Namun, kue nougatnya luar biasa.

Namun yang juara dari toko ini adalah ambiance atau suasananya. Dia masih mempertahankan meja bangku ala 1936 dengan gedung yang sudah dipakai sejak tahun berdirinya itu. Malam kami datang itu, ada sebuah keluarga yang berpesta di sebuah ruangan besar di sebelah kami duīduk. Ah, kami harus kembali ke toko ini lagi nanti, dalam kondisi yang lebih santai.

Saatnya kembali ke hotel sekarang, dengan perut kenyang dan hati yang senang. Nantikan petualangan kami di hari-hari berikutnya ya.

#Mudik2019 #Semarang #Yogya

***