Pemudik Gadungan [9] Hikayat Teh, Kopi dan Cokelat

Di Yogya, ada tiga gerai Tempo Gelato. Selain di Taman Siswa, juga ada di Jalan Prawirotaman dan Jalan Kaliurang. Ketiga-tiganya selalu diantre.

Sabtu, 22 Juni 2019 | 21:38 WIB
0
492
Pemudik Gadungan [9] Hikayat Teh, Kopi dan Cokelat
Eskrim (Foto: Arfi Bambani)

Yogya Terbuat dari Kopi dan Gelato

Siang baru datang ketika kami tiba di gerai Tempo Gelato di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta. Namun pelanggan sudah tampak ramai berkerumun di depan etalase gelato. Bangku-bangku juga terlihat penuh. Kami bertanya pada seorang pramusaji, bagaimana cara membeli gelato ini. Dia menunjuk ke arah kasir yang terletak di seberang etalase. Kami pun ke sana.

Ada dua pilihan, pakai cup (gelas) atau cone (kerucut). Cone bisa dua rasa gelato, harganya Rp25 ribu. Kerucut ini buatan Tempo Gelato sendiri. Pakai gelas, Rp20 ribu untuk 2 rasa. Saya dan istri pesan yang pakai kerucut, sementara anak saya pakai gelas yang terbuat dari kertas.

Setelah membayar, kita dapat nomor antrean untuk mengambil pesanan. Saya bilang pada istri untuk menunggu dipanggil, saya yang mencari bangku untuk duduk. Tak lupa saya pesan rasa pistachio dan matcha tea. Saya kemudian naik ke lantai dua gerai dan berhasil mendapatkan meja berikut sofa untuk 3 orang. Saya lalu menunggu di sana, sampai Gie datang mengatakan bahwa pistachio sudah habis. Saya pesan, silakan ibunya yang pilihkan satu rasa lagi.

Saat menunggu itu, saya melihat teman sesama pekerja di Selasar dulu sedang mencari bangku. Teman ini ternyata juga sedang mudik, membawa istri dan mertuanya ke kedai gelato ini. Hampir satu jam menunggu, barulah kami mendapatkan pesanan gelato. Ternyata istri saya memilihkan gelato buah dikombinasi matcha tea untuk saya. Istri saya pesan spicy choco, sementara anak saya memesan yang ada Oreonya.

Saat mencicipinya, barulah tersadar mengapa banyak orang rela menunggu untuk mendapatkan suguhan yang aslinya dari Italia ini. Perbandingan kami tak jauh-jauh. Sehari sebelum ke Tempo Gelato ini, Kamis, 6 Juni 2019, kami sudah menjajal gelato Massimo yang terletak di kawasan Kota Baru, Yogyakarta, tak jauh dari Kedai Raminten yang tersohor itu.

Kami memilih ke Massimo dulu setelah mendapat rekomendasi pemilik homestay Nextdoor yang menyebut Massimo didirikan langsung oleh orang Italia, beda dengan Tempo Gelato. Dia pun merekomendasikan Massimo.

Dan sekarang setelah kami mencoba keduanya, entah selera kami yang mungkin Indonesia banget, Tempo Gelato lebih nikmat. Dia terasa lembut ketika dicicip dan rasanya lebih kuat. Keunggulan lain dari Tempo Gelato adalah pilihan rasanya yang beragam. Ada gelato kemangi, jahe, dan beraneka buah-buahan. Penasaran, bukan?

Di Yogya, ada tiga gerai Tempo Gelato. Selain di Taman Siswa, juga ada di Jalan Prawirotaman dan Jalan Kaliurang. Ketiga-tiganya selalu diantre.

Kami sebenarnya sudah ingin menjajal Tempo Gelato di Prawirotaman pada hari pertama Lebaran, namun akhirnya membatalkan niat karena melihat antrean panjang di depan pintu menunggu mereka buka. Massimo lalu jadi pilihan kedai gelato pertama yang kami coba. Dan untuk diketahui, ada belasan kedai gelato di Yogyakarta.

**

Saat tiba di Yogya tahun 1998, salah satu cultural lag yang saya alami sebagai anak Sumatera adalah tiadanya konsep warung sebagai tempat nongkrong. Memang ada banyak warung, mulai dari angkringan, warung bubur ijo, sampai warung lesehan.

Namun, semua warung itu berkonsep sekadar tempat makan, bukan tempat nongkrong. Anda boleh saja nongkrong di angkringan, namun desain angkringan yang kita duduk mengelilingi angkring itu sangat membatasi masa kita duduk. Ketika datang orang baru belanja, kita dengan sendirinya merasa tak nyaman duduk.

Nongkrong kemudian lebih banyak dilakukan di ruang-ruang privat seperti di indekos atau rumah kontrakan. Kampus juga jadi pilihan nongkrong namun tentu hanya dilakukan di masa perkuliahan. Setelah itu, kembali ke ruang privat. Tak mengherankan, di zaman saya berkuliah, nongkrong berbanding lurus dengan berkumpul di markas-markas organisasi.

Satu teman saya yang bernama Tauhid menyebut, Yogya sebenarnya memang tak memiliki tradisi minum kopi yang kuat. Menurut pria asli Tempel, Sleman, itu, tradisi minum kopi yang lebih serius dibawa dari luar Yogyakarta. "Minum kopi diperkenalkan mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Timur," katanya bercerita saat kami minum kopi di warung Omah Minggir. Anak-anak Jawa Timur yang rata-rata lulusan pesantren membawa tradisi minum kopi saat kuliah di Yogyakarta.

Tradisi minum teh juga tidak begitu berkembang. Kini, seiring perkembangan pesat kopi, teh juga kembali bergaung. Tauhid yang juga ikut mengelola Wikikopi ini sekarang juga berkecimpung di dunia teh, memberikan literasi kepada masyarakat tentang minuman satu ini.

Perubahan terjadi di awal tahun 2000-an. Makin derasnya anak-anak dari luar Yogyakarta berkuliah di Yogyakarta membawa perubahan gaya hidup anak muda di Yogyakarta. Anak-anak muda terutama dari Sumatera, Jawa Timur, dan Sulawesi mengenalkan tradisi nongkrong di warung kopi.

Beberapa di antara mereka mengenalkan kedai-kedai kopi kepada khalayak mahasiswa di Yogyakarta. Jauh sebelum tren gerai kopi waralaba marak di kota-kota besar, Yogya sudah lebih dulu marak dengan kedai-kedai kopi kecil misal dibuat mahasiswa dari Aceh atau mahasiswa-mahasiswa universitas swasta di Yogya yang lebih berani terjun berbisnis daripada yang kuliah di negeri.

Dan kini Yogyakarta sedang ramai-ramainya dengan tren minum kopi. Ada ratusan kedai kopi independen lokal bertebaran, beberapa di antaranya memiliki reputasi nasional karena muncul di film-film laris sebut saja Klinik Kopi dan Filosofi Kopi. Gerai-gerai kopi waralaba juga sudah merangsek masuk Yogya.

**

Di hari terakhir di Yogya, kami terlebih dulu menyinggahi sebuah kedai kopi yang lagi populer. Konon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah ke kedai ini. Meski nama kedainya menggunakan "kopi", sebenarnya justru lebih populer karena makanan ala desanya. Kopinya disediakan dengan cara dijerang atau diklotok dalam Bahasa Jawa.

Dan di sinilah letak masalahnya. Tidak semua jenis kopi maksimal dirasakan dengan cara diklotok. Kopi-kopi tertentu, agar maksimal rasanya, harus menggunakan teknik penyeduhan tertentu pula. Jika gunakan teknik dijerang, orang Aceh sudah menemukan Kopi Ulee Kareng sebagai yang pas. Namun Kopi Gayo akan lebih nikmat dirasakan jika memakai teknik espresso atau V60.

Nahasnya, karena penasaran, istri saya memesan "Kopi Wine". Dan hasilnya adalah mendapatkan kopi encer yang berasa asam. Saya tahu ini karena pernah mencoba kopi fermentasi dari Gayo ini sebelumnya. Rasa fermentasinya tidak muncul maksimal karena kopi tidak diolah secara tepat, dalam hal ini diklotok jelas tidak tepat.

Kopi adalah bisnis yang rumit sebenarnya sehingga kafe-kafe besar "menyederhanakannya" dengan membeli alat-alat yang mahal demi kualitas. Kualitas perlu diperhatikan dari hulu sampai hilir. Biji kopi harus berkualitas. Kemudian pengolahan biji kopi sebelum dijadikan bubuk kopi juga harus benar. Kemudian teknik penyeduhan kopi juga menentukan kualitas kopi yang disajikan.

Untuk faktor terakhir ini, peran seorang barista atau peracik kopi sangat vital. Teknik-teknik penyeduhan tertentu membutuhkan keahlian yang lebih rumit. Misalnya, jika menyeduh dengan V60, harus diperhatikan soal suhu air untuk menyeduhnya sehingga kualitas seduhan terjaga.

Untunglah, sebelum berangkat meninggalkan Omah Minggir menuju kedai kopi mengecewakan ini, kami pesan dua botol kopi dari Omah Minggir sebagai teman perjalanan kembali ke Jakarta. Dan sampai tulisan ini dibuat, kopi seduhan Omah Minggir masih menemani kami. Setiap hirupannya mengingatkan pada kenyamanan Yogya. Kini Yogya bukan hanya terbuat dari rindu dan kenangan, tapi juga dari kopi dan gelato.

#Mudik2019 #PemudikGadungan #Yogya #Semarang

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [8] "Mlipir" ke Omah Minggir