Pak Harto [2] Blusukan Ala Presiden yang Diam-diam

Saya berhasil mempertemukan kedua tokoh itu di Bandung. Dalam kesempatan itu pula, akhirnya sejumlah cerita mengalir dari Mang Ihin, kisah kebengalannya mencegat Pak Harto.

Sabtu, 30 Januari 2021 | 08:05 WIB
0
261
Pak Harto [2] Blusukan Ala Presiden yang Diam-diam
Blusukan Presiden Soeharto (Foto: tribunnews.com)

Untuk mengobati rasa penasaran yang semakin bertambah, saya memutuskan untuk melakukan ekspedisi menapaktilasi tempat-tempat yang terpampang di deretan foto itu. Berkat dukungan Bapak Soehardjo Soebardi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Harapan Kita, pada tahun 2012 saya akhirnya bisa membentuk sebuah tim yang diberi nama "Incognito Pak Harto Expedition 2012".

Sesuai namanya, ekspedisi ini memang bertujuan untuk menelusuri kembali dan mencari tahu apa yang terjadi ketika Pak Harto melakukan incognito yang pertama. Saya juga mencoba mengikuti tahapan ekspedisi yang dilakukan Pak Harto.

Etape pertama berlangsung pada 3-6 Mei 2012 sedangkan etape kedua berlangsung pada 13-14 Mei 2012. Demikian pula saya menggunakan dua kendaraan untuk melakukan ekspedisi.

Kendaraan ekspedisi ini jauh lebih modern dari yang dipakai oleh Pak Harto saat incognito. Betapa tidak. Seperti dikisahkan oleh Pak Subianto, kendaraan yang dipakai incognito oleh Pak Harto ialah Toyota Hi-Ace. Kendaraan jenis pick up ini baru saja diproduksi di Jepang tahun 1970 dan tentu saja baru masuk Indonesia.

Kendaraan tersebut belum berpengatur udara, hanya ada sebuah kipas kecil yang terpasang di kabin depan. Tak terbayangkan betapa hangatnya udara di dalam, sehingga sepanjang perjalanan jendela mobil lebih banyak terbuka.

Ada dua kendaraan Toyota Hi-Ace yang digunakan dalam incognito, pertama ditumpangi Pak Harto, bersama Pak Bardosono, Pak Edi Nalapraya dan sopir. Sementara mobil kedua diisi oleh sejumlah wartawan, teknisi, dan sopir, serta aneka perbekalan.

Demikianlah, seorang presiden tanpa pengawalan yang ketat, melakukan perjalanan tidak resmi dengan mengendarai pick up, berhari-hari keluar masuk kampung dan desa untuk menemui rakyatnya.

Saya mengajak sahabat saya, Mas Bakarudin mantan wartawan yang bertindak sebagai juru catat, Deni Bagong sebagai kameraman, Lutfi Abdullah seorang filatelis, petugas logistik dan sopir. Yang istimewa, Pak Subianto, salah seorang pelaku sejarah Incognito itu, yang kini sudah berusia lebih dari 70 tahun itu bersedia ikut serta.

Sepanjang perjalanan saya mengajak Pak Bi, demikian panggilan beliau, untuk berbincang-bincang, dengan maksud memancing kenangan yang dimilikinya ketika melakukan perjalanan di lokasi itu.

Dalam banyak hal beliau sangat jelas dan lengkap menuturkannya, bahkan ada banyak kisah unik dan lucu yang masih diingatnya. Namun begitu, ada juga yang sudah tak diingatnya lagi ketika ditanyakan suatu lokasi yang ada di dalam foto incognito.

Ikut serta Lutfi Abdullah Yusuf, seorang filatelis (pengumpul prangko) senior. Ada tugas khusus yang diembannya dari Pak Soehardjo yang juga seorang filatelis. Ekspedisi ini merupakan momen bersejarah.

Bagi para filatelis, ini momen tak boleh dilewatkan begitu saja. Tercetuslah ide mendokumentasikan perjalanan ekspedisi dengan membuat Sampul Peringatan (Commemorative Cover), benda filateli berupa sampul/amplop yang diberi ilustrasi dan informasi tertentu dan dilengkapi prangko.

Pada setiap lokasi, Lutfi akan turun dan meminta tokoh yang diwawancarai saya atau petugas kantor pos setempat untuk menandatangani dan memberi strempel cap pos. Jadilah, kami punya koleksi filateli yang sangat langka. Karena hanya dibuat dua set, satu diberikan kepada Pak Hardjo dan satu disimpan sebagai koleksi pribadi.

Deni Bagong demikian nama akrab kameraman tim ekspedisi. Ia sebenarnya kameraman film komersial yang sedang tidak memiliki jadual shooting. Pertemanan yang kuat serta tantangan yang baru membuatnya bersedia menjadi bagian dari tim. Selain merekam, Deni juga memotret aktivitas ekspedisi. Hasil karyanya kelak dikemas dalam suatu film dokumenter yang kelak ditayangkan saat peluncuran buku.

Pada etape kedua, ikut bergabung pula Kresna Akhmadi, seorang mahasiswa dari Bandung yang pandai membuat sketsa. Ia direkrut karena disiapkan sebagai perancang grafis dari buku tersebut. Saya berharap dengan mengikuti ekspedisi dia bisa mendapatkan "taste" untuk pekerjaan desainnya nanti.

Tentu saja, tugas tambahannya mensketsa saya saat melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh. Hasilnya memang luar biasa. Dan koleksi sketsanya saya simpan baik-baik, siapa tahu sang mahasiswa kelak jadi desainer hebat.

Akhirnya saya bisa menyelesaikan dua etape ekspedisi dan singgah ke Istana Negara Tampaksiring, Bali. Merasakan bagaimana suasana masa silam, ketika Pak Harto mengakhiri incognito dengan mengundang isteri dan putera-puterinya serta para isteri staf yang mengikutinya untuk datang dari Jakarta.

Sebuah jamuan makan malam disajikan dan pertunjukan seni tari digelar malam itu. Saya berkesempatan melihat dari dekat tempat-tempat bersejarah itu, sambil merasakan aura keanggunan istana kepresidenan ini.

Oh ya, hasil ekspedisi itulah yang kemudian menjadi bahan utama dalam buku yang saya tulis. Sedangkan catatan perjalanannya saya buat artikel berseri, lebih ari 30 artikel, yang dimuat juga dipublikasikan terpisah.soeharto

Baca Juga: Soeharto

Sekarang, giliran saya duduk di ruang kerja dengan setumpuk dokumen dan foto-foto lama maupun baru, serta rekaman wawancara dengan para narasumber. Pekerjaan paling sulit adalah memverifikasi keakuratan waktu dan tempat. Beruntung saya memiliki satu set buku Jejak Langkah Pak Harto (6 Jilid) yang berisi catatan rinci hari demi hari agenda kegiatan Pak Harto sebagai presiden.

Menariknya begitu sampai pada tanggal pelaksanaan incognito, keterangannya tidak rinci hanya memberitahukan Pak Harto melakukan perjalanan keluar daerah. Meski begitu, informasi ini sudah cukup bagi saya.

Bahan yang tidak kalah berharga lainnya adalah buku kliping koran HM Soeharto dalam Berita (20 jilid) yang diterbitkan oleh Kantor Berita ANTARA. Buku-buku itu harus saya baca satu persatu untuk menemukan berita tentang incognito karya para wartawan yang mengikuti incognito.

Beritanya memang tidak banyak, cenderung tidak besar-besaran, ini mungkin karena semangat "diam-diam" tadi. Namun saya mendapatkan detil yang saya perlukan tentang latar belakang kehadiran Pak Harto di suatu lokasi, termasuk pernyataannya tentang suatu hal.

Sesungguhnya perjalanan tersebut tidaklah sepenuhnya diam-diam. Dalam beberapa foto saya menyaksikan ada sejumlah wartawan yang ikut serta. Terlihat ada wartawan yang sedang menuliskan sesuatu, ada yang membawa perekam suara, dan kamera televisi.

Saya berhasil mewawancarai beberapa wartawan yang sudah senior itu, mereka tergabung dalam organisasi PEWARIS (Perkumpulan Wartawan Istana) di bawah kepemimpinan Ibu Koos Arumdani. Dari para wartawan itu saya mendapat banyak informasi tambahan tentang sisi-sisi manusiawi Pak Harto selama incognito.

**

Hingga usai menjalankan ekspedisi saya masih belum berhasil mewawancarai Mang Ihin. Beliau tinggal satu kota dengan saya, Bandung. Beberapa surat saya layangkan namun tak juga ada jawaban. Beliau memang sudah sepuh dan sering terdengar kabar sakit. Padahal informasinya saya perlukan terkait keberadaannya dalam incognito Pak Harto.

Saya terus memutar otak untuk bisa mewawancarainya. Aha, saya teringat dengan Pak Edi Nalapraya. Dengan bantuan Pak Hardjo saya bisa bertemu lagi dengan mantan Wakil Gubernur DKI itu di Jakarta. Saya utarakan kesulitannya. Luar biasa baiknya Pak Edi, beliau meminta saya untuk mengatur janji untuk bisa bertandang ke Bandung. Beliau ingin bertemu Mang Ihin. Mereka sudah lama sekali tak berjumpa.

Saya berhasil mempertemukan kedua tokoh itu di Bandung. Dalam kesempatan itu pula, akhirnya sejumlah cerita mengalir dari Mang Ihin, kisah kebengalannya mencegat Pak Harto yang sedang diam-diam mengunjungi wilayah "kekuasaan" Mang Ihin. itu yang membuat Mang Ihin akhirnya diajak mendampingi Pak Harto selama incognito di Jawa Barat.

Ada pula cerita bagaimana Mang Ihin "ngerjain" Pangdam Siliwangi Jenderal Witono yang di "telepon angin" untuk diajak makan siang dengan seorang tamu di sebuah rumah makan tanpa diberi tahu siapa tamu tersebut, serta cerita cerita lainnya yang tak kalah seru. Terima kasih tak terkira untuk Pak Edi Nalapraya.

(Bersambung)

Mahpudi

***

Tulisan sebelumnya: Pak Harto [1] Incognito "Bukan Blusukan", dari Album Foto menjadi Buku