Pak Harto [1] Incognito "Bukan Blusukan", dari Album Foto menjadi Buku

Ketiga tokoh ini saya temui dengan cara dan kesempatan yang berbeda. Bahkan, Pak Subianto yang saat itu menjadi kepala Museum Purnabakti Pertiwi bersedia menjadi bagian dari program ini.

Kamis, 28 Januari 2021 | 09:29 WIB
0
278
Pak Harto [1] Incognito "Bukan Blusukan", dari Album Foto menjadi Buku
Soeharto dan buku

Tanggal 27 Januari 2021, genap 13 tahun Pak Harto wafat. Presiden kedua RI itu menghembuskan nafas terakhirnya pada Pukul13.10 WIB tanggal 27 Januari 2008 di RS Pusat Pertamina-Jakarta setelah dirawat karena sakit. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.

Demikianlah Jenderal Besar Haji Mohammad Soeharto, begitu nama lengkap Pak Harto, telah menorehkan namanya dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsanya berkat berbagai pikiran, karya, dan kiprahnya dalam memimpin Indonesia.

Mengenang kepergiannya, saya ingin bercerita tentang bagaimana saya menulis sebuah buku tentang tokoh ini. Buku itu saya beri judul Incognito Pak Harto-Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya, terbit pada 2013. Proses penulisannya cukup lama hampir empat tahun, dilakukan dengan cara yang unik, dan menurut saya di dalam buku itu ada banyak hikmah yang bisa dipetik para pembacanya.

Selamat menyimak...

Saat itu (2009), saya sedang melakukan riset di Museum Purnabakti Pertiwi, Jakarta. Ini museum yang menyimpan ribuan koleksi cinderamata pemberian tokoh mancanegara kepada Pak Harto, lokasinya tepat di jalan masuk ke Taman Mini Indonesia Indah. Di sini tersimpan pula ribuan buku dan album foto koleksi almarhum. Riset saya dalam rangka menyusun buku tentang strategi pembangunan era Orde Baru (nanti saya ceritakan pada kesempatan lain).

Oh ya, saya mesti mengenalkan diri saya. Dalam hal ini saya adalah mubtadi (orang yang baru belajar) tentang Development Studies, bidang ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pembangunan suatu bangsa atau komunitas digagas, disusun, direncanakan, hingga dijalankan. Bidang kelimuan ini mengarahkan saya untuk mempelajari strategi-strategi pembangunan di seluruh dunia, termasuk ala Pemerintahan Orde Baru.

Dalam keasyikan di ruangan perpustakaan yang hening itu, tiba-tiba saya mendapati sebuah album foto. Isinya foto-foto hitam putih tertata rapih. Mula-mula satu album, namun kemudian beberapa album lagi saya dapati. Sebagai generasi kelahiran awal Orde Baru, sudah tentu saya asing dengan figur orang-orang di dalam album foto itu.

Baca Juga: Harta Karun Sukarno atau Soeharto?

Hanya beberapa saja yang saya kenali seperti Presiden Soeharto dan Solihin GP. Maklum, tampilan mereka masih muda jadi tampak asing, lagipula teknologi komunikasi tak secanggih saat ini sehingga dengan mudah mengenali tokoh nasional. Jadi mereka yang jarang tampil di koran atau layar TVRI ya sulit dikenali umum.

Judul album foto itu lebih asing lagi "Incognito Presiden Soeharto 1970", diketik dalam selembar kertas yang ditempel pada halaman pertama album dilengkapi nama pemotret dan daftar foto yang ada di dalamnya. Saya terperangah. Judul itu segera mengingatkan saya pada grup musik jazz funk terkenal dari Inggris. Lalu apa hubunngannya dengan Pak Harto?

Keasyikan saya teralihkan sejenak. Saya kemudian berlama-lama menyimak lembar demi lembar album foto itu, mencari-cari apa, siapa, dan sedang apa gerangan Pak Harto. Hanya sedikit informasi yang terdapat di dalamnya, berupa caption foto, yang menyebut nama tempat dan aktivitas yang dilakukan sang Presiden. Tiba -tiba berkelebat sebuah gagasan : "Menarik nih kalau dibuat buku."

Aha, hati saya berkata; "baru saja memulai penulisan sebuah buku, kini muncul gagasan baru untuk membuat buku yang lain."

Memang, bila kita membiarkan pikiran dan hati kita terbuka ketika berhadapan dengan informasi tentang sebuah objek atau fenomena, sesungguhnya kita dengan cepat menemukan kilatan-kilatan hikmah yang berkelabatan. Tinggal bagaimana kita menangkap dan menariknya ke bumi, untuk diubah menjadi energi yang mewujud sebagai karya.

Saat itu juga saya putuskan untuk berhenti membuka-buka album foto, kembali ke keasyikan semula. Tapi hati kecil saya sudah mencatat: "Baiklah, begitu selesai buku yang ini. Saya akan garap album foto itu."

**
Temuan album foto itu segera saya kabarkan kepada beberapa pihak dengan antusias. Persis seperti seorang arkeolog yang baru saja menemukan fosil dari gundukan tanah atau bangunan kuno. Saya juga mencari tahu lewat internet arti kata incognito dan kaitannya dengan Pak Harto.

Barulah terbuka sedikit informasinya: Pada masa awal kepemimpinannya sebagai Presiden RI Pak Harto kerap melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain mengunjungi dan bertemu rakyatnya secara diam-diam. Aktivitas itu disebut incognito. Aha, kalau sekarang kita mengenal istilah: blusukan. Ya, blusukan dan incognito punya kesamaan. Tapi dalam studi saya mendapati bahwa ada perbedaan yang mendasar dari keduanya.

Kata kuncinya: perjalanan mesti diam-diam. Itu sebabnya, dalam pendalaman saya kemudian terungkap bahwa Pak Harto memang tak ingin perjalanan itu diketahui banyak pihak dan hanya diikuti oleh beberapa orang saja, termasuk sang juru foto, dan beberapa wartawan.

Beberapa tahun kemudian (2011), saya kembali ke Museum Purna Bakti Pertiwi. Bersyukur saya bertemu petugas-petugas museum yang ramah dan sangat membantu. Kali ini saya tidak sendiri. Saya membawa tim dan sejumlah perangkat scanner. Saya memang diijinkan pengelola museum untuk mendokumentasikan album itu.

Satu persatu foto di dalamnya saya scan dan diberi catatan. Dengan begitu, saya tak harus berjam-jam di ruangan perpustakaan. Sebagai gantinya, saya bisa mempelajari foto-foto itu kapan saja dimana saja.

Lebih dari seratus foto yang bolak balik saya cermati dengan sejumlah keterangan yang serba sedikit. Saya pun mencoba mulai merekonstruksi, dari foto pertama sampai foto yang terakhir. Makin terbuka misteri incognito itu; Pak Harto untuk pertamakalinya melakukan incognito pada 1970.

Incognito itu dilakukan dalam dua tahap yakni tahap pertama dilakukan pada 6- 10 April 1970 dengan mengunjungi sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tahap kedua dilakukan pada 20-27 Juli 1970 dimulai dari Yogyakarta dengan mengunjungi sejumlah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan mengakhiri perjalanannya di Istana Tampaksiring, Bali. Baru sebatas itu yang saya dapatkan dari rekonstruksi foto-foto album itu. Sementara siapa dan kegiatan apa yang ada di dalamnya masih tertutup kabut misteri.

Baca Juga: Hari Wafatnya Soeharto Masih Menyimpan Sumber Sejarah yang Otentik

Dalam beberapa kesempatan saya memperlihatkan foto-foto itu kepada sejumlah tokoh. Mencari tahu apakah ada yang mengenali atau bisa bercerita tentang kisah di balik foto itu. usaha saya tidak sia-sia. setelah diberi petunjuk oleh sejumlah pihak, akhirnya saya mendapat informasi ada tiga tokoh yang bisa dimintai keterangan terkait incognito.

Pertama, Pak Edi Nalapraya, wajahnya kerap muncul dalam sejumlah foto incognito. Kelak saya mengetahui bahwa Pak Edi saat itu menjadi komandan kawal pribadi presiden jadi tak heran bila selalu berada di dekat Pak Harto.

Kedua, Pak Solihin GP, yang saat itu sedang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Beliau juga cukup sering tampil di atas foto incognito. Cerita seru tentang kehadirannya dalam incognito menjadi cerita tersendiri.

Ketiga, Pak Subianto yang menjadi teknisi kendaraan yang digunakan Pak Harto selama incognito. Uniknya, wajah beliau tak pernah muncul dalam foto-foto dalam album itu. ketika saya tanya mengapa? "Lha saya kan teknisi berada di mobil kedua jauh di belakang mobil beliau. Lagi pula fokus saya memastikan mobil tidak bermasalah selama perjalanan." Namun begitu, berkat daya ingatnya yang masih kuat, saya banyak mendapat petunjuk tentang kisah di balik foto-foto itu.

Ketiga tokoh ini saya temui dengan cara yang berbeda dan dalam kesempatan yang berbeda pula. Bahkan, Pak Subianto yang saat itu menjadi kepala Museum Purnabakti Pertiwi bersedia menjadi bagian dari program ini.

Sementara atas budi baik Pak Edi Nalapraya, akhirnya saya juga bisa mewawawancarai Mang Ihin, panggilan akrab Pak Solihin GP. Kini saya sudah bisa membuat peta perjalanan incognito yang dilakukan Pak Harto.

(Bersambung)

Mahpudi

***