Mengapa kita masih percaya memburu harta karun Sukarno? Bukannya memburu harta karun para koruptor, yang di parkir di luar negeri, dan utamanya harta karun Soeharto lebih relevan?
Bagaimana mungkin, kita acap terjebak penalaran aneh, dalam halusinasi atau pun ilusi memburu ‘harta karun Sukarno’? Padal, emangnya Sukarno, atau Bung Karno itu, kaya-raya?
Pertanyaan menggelitik tentunya, darimana kekayaan Sukarno, sebagai Presiden sekali pun? Sukarno adalah Presiden Republik Indonesia paling miskin, secara ekonomi. Bahkan, dibanding Gus Dur pun, kekayaannya masih kalah. Lha wong dengan kekayaan anaknya, Megawati, yang juga menjadi Presiden saja, kalah jauh. Hasto Kristiyanto, mungkin tahu, berapa kekayaan Ketua Umum PDI Perkjuangan itu..
Apalagi, membandingkan kekayaan Sukarno dengan SBY (yang mantan Menteri Energi dan Pertambangan jaman Megawati), dengan Jokowi (yang pengusaha sukses meubel kelas eksportir), dengan Habibie (beserta berbagai royaltie atas karya-karya teknologinya). Dan lebih-lebih-lebih tak berarti lagi, jika dibanding kekayaan Soeharto (baca laporan majalah Time, ‘Soeharto Inc.’, 24 Mei 1999).
Harta Soeharto, yang gelap (dan konon) diparkir di luar negeri, masih sangat amat banyak. Bahkan, konon bisa untuk memangkas utang luar negeri kita. Bayangkan saja, tiga anak Soeharto, masuk jajaran orang terkaya Indonesia. Mereka mampu mengalahkan Habibie yang berkelas internasional. Meski sama-sama anak Presiden, kekayaan Megawati tak seberapa dibanding kekayaan Tommy, Bambang, dan Tutut. Tahun kemarin, anak Bambang menghabiskan hampir semilyar rupiah untuk pesta perkawinan semalam di AS.
Darimana kekayaan Soeharto? Dibangun selama lebih tiga dasawarsa dari serangkaian perusahaan, monopoli, dan kontrol atas sektor-sektor besar kegiatan ekonomi di Indonesia. Mulai dari ekspor minyak hingga transportasi ibadah haji (yang tiap tahun, dan dikendalikan anak-anak Soeharto).
Data Badan Pertanahan Nasional dan majalah Properti Indonesia, keluarga Soeharto mengontrol sekitar 3,6 juta hektar real estate di Indonesia (lebih besar dari total wilayah Belgia). Luas area itu termasuk 100 ribu meter persegi ruang kantor utama di Jakarta dan hampir 40 persen dari seluruh provinsi Timor Leste. Menurut koresponden TIME, ditemukan indikasi setidaknya $73 miliar mengalir dalam keluarga antara 1966 - 1998. Sebagian berasal dari industri pertambangan, kayu, komoditas, dan perminyakan.
Soeharto membangun sistem patronase nasional yang rumit untuk tetap berkuasa selama 32 tahun. Anak-anaknya, memanfaatkan situasi itu dengan menjadi perantara pembelian pemerintah dan penjualan produk minyak, plastik, senjata, bagian pesawat, dan petrokimia. Memegang monopoli atas distribusi dan impor komoditas utama. Memperoleh pinjaman berbunga rendah berkoordinasi dengan bankir yang berkuasa, yang (seringkali) takut menagih pembayaran kembali.
Sementara harta Sukarno? Presiden yang disingkirkan Soeharto itu? Sebelum menjadi Presiden, ketika menjabat, dan apalagi sesudahnya, Sukarno adalah manusia miskin (secara ekonomi). Di jaman perjuangan, jika tidak karena jasa Ibu Inggit Garnasih, isteri pertama yang jungkir-balik cari duit, Sukarno tak bisa ke mana-mana. Meski sudah jadi insinyur arsitek pun, masih saja bokek. Nraktir teman minum kopi saja, tak mampu.
Ketika menjadi Presiden, membeli lukisan, juga patung, acap ngutang pada senimannya. Dibayar dengan dan sambal mencicil, atau ada pengusaha berbaik hati diam-diam membayari keinginan Sukarno. Mobil kepresidenan saja, dirampas dari milik pribadi orang Jepang di Menteng. Habis membacakan proklamasi kemerdekaan, Sukarno jalan kaki pulang, mampir jajan sate di kakilima.
Kita tahu, ketika meninggalkan istana kepresidenen (karena diusir Soeharto), Sukarno meninggalkan ratusan karya seni dari maestro Indonesia. Hartini pun dibentaknya ketika hendak membawa keramik koleksi istana, meski itu dibeli dari uang pribadi Sukarno.
Bagaimana selalu muncul (atau dimunculkan) isu Dana Revolusi Sukarno? Tak ada yang bisa menjawab dengan logis. Semua jadi terasa klenik. Ketika mewawancarai Ibu Nindyokirono (isteri Sri Sultan Hamengku Buwana IX), kepada saya beliau bercerita; Untuk “memberi bekal” pada Dewi Sukarno yang lari ke luar negeri, Sukarno memberikan sebesek emas sisa dari yang dipakai dalam proyek pembangunan Monas. Sukarno sama sekali tak punya uang (baca: Cinta Terakhir Sang Sultan, true story kisah cinta Sri Sultan HB IX dan Nindyokirono, Sunardian Wirodono, 2018).
Dana Revolusi Sukarno, agaknya ditiupkan sekelompok koruptor dan perampok Indonesia yang jauh lebih nyata. Jokowi dari berbagai informasi, menaksir jumlah uang tersebut mencapai Rp 7.000 trilyun, di luar harta karun Soeharto yang aman tersembunyi di berbagai negara (konon sampai Israel segala). Perbankan di Swiss, maupun Austria, konon bisa membantu mencairkan dana itu, jika Soeharto sebagai tersangka. Sayangnya, pemerintah Indonesia terlalu santun.
Mengapa kita masih percaya memburu harta karun Sukarno? Pengalihan isu? Bukannya memburu harta karun para koruptor, yang di parkir di luar negeri, dan utamanya harta karun Soeharto lebih relevan? Jangan mau dikibulin terus model-model raja-ratu Kraton Agung Sejagat, atau dari Sunda Empire Studio XXI, dan yang semacamnya itu!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews