Soeharto

Apakah mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan 20 tahun lalu adalah manifestasi pemimpin Jawa yang wicaksono, paham bahwa karismanya sudah hilang?

Senin, 17 Juni 2019 | 10:51 WIB
0
955
Soeharto
Soeharto (Foto: Hipwee.com)

Duapuluh tahun lalu, tepatnya (21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI setelah berkuasa selama 32 tahun. Suatu keputusan historis yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tapi bukankah mundur pertanda kegagalan?!

Sebaliknya hari-hari terakhir ini kita dikejutkan oleh publikasi hasil survey IndoBarometer: Presiden Terbaik di Indonesia adalah Soeharto! Soekarno di urutan ke-2, disusul Jokowi ke-3, Susilo Bambang Yudhoyono, BJ Habibie, Gus Dur, dan terbawah Megawati.

Sungguh mengherankan! 

Baca Juga: 3 Ajaran Soeharto yang Bersifat Laten, Apa Itu?

Lalu teringatlah slogan politik yang dulu pernah populer dan kini lebih populer lagi lewat lagu penyanyi yang lagi ngetop Via Vallen: "isih penak jamanku toh!"

**

Tentang mundurnya Soeharto, sudah banyak kajian tentang peristiwa monumental itu, baik dari sisi politik maupun dari sisi ekonomi. Intinya rezim Orde Baru (OB) di bawah kendali Soeharto mengalami guncangan dahsyat akibat krisis moneter 1998 yang akhirnya ikut mendelegitimasi rezim dan khususnya Soeharto.

Tetapi tetap merupakan misteri! Bagaimana seseorang dengan karakter kuat seperti Soeharto bisa menyerah. 

Ada tekanan internasional? Karena demo mahasiwa? Karena mundurnya para menteri? Atau ancaman kudeta dari dalam negeri? Sebagai jenderal "berdarah dingin" dan maestro strategi, yang mengendalikan sepenuhnya militer, jelas tidak terbayangkan ancaman semacam itu.

Apakah peristiwa pengunduran diri Soeharto ini bisa juga dipahami dari perspektif yang lain? 
Seorang teman berkelakar: ini peristiwa "religio-mistis" yang hanya bisa dipahami lewat konsep hubungan kekuasaan dalam kultur Jawa yang dihayati dan menjadi acuan seorang Soeharto.

Memang mungkin tidak valid, tapi setidaknya menggelitik rasa ingin tahu: bagaimana kekuasaan diperoleh, dikelola, dipertahankan, dan kapan berakhirnya. 

Maka teringatlah tulisan lama Ben Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture", atau juga buku klasik karya Pak Soemarsaid.

Sudah lama kajian Soemarsaid Moertono tentang konsep negara pada era Mataram abad 16-18 membantu memberikan pemahaman yang baik atas topik ini lewat bukunya: "State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Cenruty" (Cornell MIP, 1968).

Menurut kajiannya, dalam konsepsi Jawa kekuasaan itu sakral, legitimasinya dari "langit". Penguasa adalah representasi kekuasaan adikodrati, sehingga legitimasinya tidak boleh dipersoalkan. 

Kekuasaan itu tidak usah dicari. Itu adalah nasib baik, "pinesti" (sudah ditentukan), "tinitah" (ditakdirkan), istilah pinjaman bahasa Arab, "takdir".

Kekuasaan itu baru akan berakhir ketika si penguasa memiliki pamrih, sehingga mendapat hukuman tidak lagi memperoleh legitimasi dari "langit".

Contoh-contoh karakter kekuasaan macam ini banyak dijumpai dalam Babad Tanah Jawi, misalnya kisah Jaka Tingkir dan Ki Ageng Pamanahan.

Kajian yang juga mengupas lebih dalam lagi tema ini adalah dari Ben Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture", yang pertama kali dimuat dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (1972). Tulisan itu kemudian dimuat kembali dalam Ben Anderson, "Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia" (1990).

Lewat kajiannya ini, Om Ben mengungkapkan bahwa berbeda dengan konsep kekuasaan modern di Barat yang selama ini dipahami; dalam kultur Jawa kekuasaan itu bersifat kongkret, homogen, besarnya konstan, dan kekuasaan itu tidak mempertahankan keabsahan.

**

Dari kajian Soemarsaid Moertono dan Ben Anderson yang kemudian dikembangkan para ilmuwan lainnya, kita bisa memperoleh pemahaman bagaimana negara Indonesia di bawah Soeharto berkarakter patrimonial ala Mataram abad 15. Dan Soeharto sendiri membayangkan dirinya seorang Sultan atau Raja Jawa.

Pemusatan kekuasaan, otoritarianisme, 'state-corporatism', manipulasi konsep "manunggaling kawulo-gusti" ke dalam paham negara integralistik, adalah sebagian ciri-ciri karakter patrimonial Mataram masa lalu yang diadopsi dalam era Orde Baru.

Baca Juga: Sapi Banpres daripada Soeharto

Celakanya karakter patrimonial Mataram ini mendapat "pembenaran" dari konsep-konsep ilmu sosial Barat saat itu dengan modernisasi dan pembangunan sebagai grand theory

Usaha mewujudkan modernisasi (pembangunan) membutuhkan prasyarat stabilitas politik, seperti kata Huntington.

Dan stabilitas politik membutuhkan kepemimpinan yang kuat, bila perlu otoriter. Kritik dalam masyarakat harus dibungkam, karena itu adalah patologi sosial dalam struktur masyarakat ideal model Parsonian.

Tertib sosial dan stabilitas politik menjamin pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya membawa 'trickledown effect' bagi rakyat kebanyakan. Ideal bukan?

Maka tak heran bahwa pada awal kekuasaanya, Soeharto (dengan teknokrat dan militer) merumuskan doktrin terkenal: TRILOGI PEMBANGUNAN (1.Stabilitas politik, 2. Pertumbuhan ekonomi, dan 3. Keadilan sosial atau pemerataan). Stabilitas politik di urutan teratas.

Tertib sosial dan stabilitas untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di bawah Soeharto pada fase awal terutama medio 1970-80an memang berhasil mewujudkan konsepsi lama "toto tentrem kerto raharjo, gema ripah loh jinawi."

Atau seperti yang dikemukakan Herbert Feith, Orde Baru Soeharto adalah contoh bagus "rezim represif-developmentalis!". 

**

Semua kajian dalam perspektif kultural di atas menunjukkan, dalam alam pikiran atau kultur Jawa, kekuasaan itu bersifat adikodrati, numinus, "ilahiah". Maka penguasa yang bijak, wicaksono dalam memahami dan menafsir konsepsi ini, tidak akan khawatir atas kelanggengan kekuasaannya selama ia merasa benar dan tidak punya pamrih dalam menjalankan kekuasaannya. 

Sebaliknya, dia akan mundur apabila dia menyadari telah kehilangan legitimasi "langit", yang ditandai oleh munculnya berbagai peristiwa yang tidak dialami sebelumnya.

Bisa bencana alam, wabah penyakit, kelaparan (kegagalan ekonomi), kerusuhan, dan seterusnya, adalah sasmita, simbol atau sinyal delegitimasi kekuasaan. "Kesaktian" (atau "karisma" dalam pengertian Weber) yang dimiliki sang penguasa sudah hilang, sirna!

Apakah mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan 20 tahun lalu adalah manifestasi pemimpin Jawa yang wicaksono, paham bahwa karismanya sudah hilang?

Atau ada faktor lain?

Silakan dikaji dan tafsir sendiri!

***