Sapi Banpres daripada Soeharto

Minggu, 6 Januari 2019 | 16:42 WIB
0
1619
Sapi Banpres daripada Soeharto
Soeharto di Tapos (Foto: Istimewa)

Akhir 1975, selepas mendaratkan pasukan penyerbu di Timor Timor, sejumlah kapal pendarat milik Angkatan Laut yang telah kosong tanpa muatan personil diam-diam mendarat di perairan Australia. Kapal pendarat itu diperintahkan langsung oleh petinggi ABRI untuk melanjutkan perjalanan ke negeri Kanguru.

Apakah ada personil pasukan penyerbu lain yang diangkut dari Australia untuk didaratkan di Timor Timor? Tidak ada!

Lalu, apa yang diangkut? Sapi!

Loh kok bisa? Bisa, apa yang ga bisa kalau Soeharto sudah punya mau!?

Sapi buat siapa? Buat ranch Soeharto di Tapos!

Sebagaimana terekam dalam buku "Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan" yang ditulis Dianto Bachriadi dan Anton E. Lucas, sejumlah kapal pendarat itu mendarat di Australia hanya untuk menjemput sapi-sapi australia yang dipesan penguasa RI saat itu, Presiden Soeharto.

Sebagaimana Ibu Tien, istrinya, yang kesengsem membuat Taman Mini Indonesia Indah usai berkunjung ke Disneyland dan Muangthai, Soeharto juga kesemsem sapi-sapi australia jenis "Brangus" yang besar-besar itu saat berkunjung secara informal ke negara Kanguru itu awal April 1975.

Rencananya, sapi-sapi itu untuk mengisi ranch milik keluarga Soeharto di Tapos, Bogor, Jawa Barat, setelah mendarat di Tanjungpriok atau Tanjungperak.

Soeharto punya pemikiran, alangkah hebatnya jika "Brangus" yang beratnya bisa mencapai 3 ton itu dikawinsilangkan dengan sapi lokal. Maka, kelak akan lahir sapi peranakan "Indo-Aussie" yang setidak-tidaknya lebih unggul tinimbang sapi lokal yang ada.

Rencananya, sapi unggul hasil persilangan sapi australia dengan sapi lokal ini kemudian disalurkan ke peternak kecil di berbagai daerah di seluruh Indonesia lewat program Sapi Bantuan Presiden. Zaman Orba biasa disingkat Sapi Banpres. Istilah Sapi Banpres ini juga sama fenomenalnya dengan "SD Inpres", yang juga program Soeharto di bidang pendidikan.

Presiden Soeharto sendiri pernah menyebut, sampai pertengahan 1985 -tentu saja saat dia masih berkuasa- sudah 2.000 bibit unggul Sapi Banpres disebarluaskan kepada peternak di berbagai daerah. Dari 2.000 bibit unggul "Brangus" ini kelak akan beranak-pinak menjadi puluhan bahkan ratusan ribi sapi-sapi peranakan lainnya.

Boleh saja orang nyinyir dan tidak suka dengan gaya Soeharto yang memerintah demikian represifnya, tetapi khusus untuk urusan Sapi Banpres (istilah ini sudah masuk dalam "A Comprehensive Indonesian-English Dictionary" karya Alan M Stevens dan A Ed Schmidgall-Tellings), Soeharto sudah membawa Indonesia ke swasembada daging sapi.

Artinya, untuk urusan daging sapi Indonesia tidak perlu impor, tetapi sudah mandiri. Upaya swasembada daging sapi yang ditandai peresmian peternakan di Tapos tahun 1971, sudah mencukupi. Memang ada daging impor, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Tentu saja harganya pun mahal, berbeda dengan sapi lokal, meski itu hasil persilangan sapi "Brangus" sekalipun.

Peternakan Tapos, meski diyakini sebagai milik pribadi Soeharto, ditargetkan sebagai tempat pembibitan sapi yang hasilnya dapat didistribusikan ke sejumlah daerah yang mengembangkan ternak sapi. Peternakan Tapos -eks perkebunan kina- yang terkenal itu berada di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi dan di Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Bogor. DIberi nama "Tri S Ranch".

Di peternakan Tapos ini dikembangbiakkan secara modern sapi potong dan sapi perah, mulai dari pembibitan hingga penggemukan sapi, dengan teknologi canggih, setidak-tidaknya teknologi peternakan yang hanya ada di Tapos.

Tujuan peternakan tidak lain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan kualitas, pengembangan teknologi peternakan sapi dan sumber daya manusia sebagai pengelolanya. Tak heran di sini bekerja sejumlah dokter hewan berkualitas jempolan.

Sesungguhnya tidak akan cukup hanya di Tapos untuk menernakan sapi unggulan jika melihat luasnya Indonesia yang sejauh mata memandang itu. Kebutuhan sapi Indonesia tidak mungkin tercukup hanya suplai dari Tapos. Eits.... jangan lupa, ini Orde Baru, di mana kendali monopoli untuk pengadaan daging sapi harus dipegang Keluarga Cendana!

Tetapi sebagai proyek percontohan, bolehlah. Sayangnya, saat itu "mentaposkan" daerah lain tidak terjadi. Peternakan sapi unggulan hanya terkonsentrasi di Tapos saja. Sebab jika niatnya memakmurkan atau memajukan negeri ini, Soeharto dengan Tapos-nya tidak melulu berpikir swasembada daging sapi, yang hanya mencukupi kebutuhan daerah lainnya, tetapi yang bagus berorientasi ekspor. Dan, itu tidak pernah terjadi.

Sapi silangan "Brangus" yang semula dibibitkan atau digemukkan di peternakan Tapos, kemudian dibagikan ke sejumlah daerah sebagai ternak program "Bantuan Presiden". Di daerah penerima, sapi "Brangus" yang beratnya bisa mencapai 2-3 ton itu dijadikan pejantan unggulan.

Berdasarkan laporan Harian Kompas tahun 2017 lalu berjudul "Peternakan Tapos Pernah Jadi Legenda dan Mati Suri", sapi "Brangus" sudah tidak ada lagi di Tapos. Sekarang yang ada tinggal sapi perah lokal di mana susunya dijual ke PT Indomilk. Tak ada lagi pembibitan sapi "Brangus".

Kini, peternakan Tapos juga diurus untuk sekadar bertahan dengan memelihara sapi perah. Anak pertama Pak Harto, Sigit Harjojudanto (kini berusia 66 tahun), menurut laporan Kompas itu, rutin datang ke peternakan setiap Rabu.

"Sejak reformasi, kami sulit bergerak. Jadi, keluarga mempertahankan peternakan ini sebagai kesenangan atau hobi keluarga, bukan untuk mencari uang. Mudah-mudahan pada tahun mendatang, peternakan ini mampu bangkit kembali. Peternakan modern sangat diperlukan karena membuka lapangan pekerjaan. Salah seorang cucu Pak Harto, kami lihat ada yang memiliki hasrat di bidang peternakan dan pertanian seperti kakeknya," kata Yanwar, sebagaimana dituturkan kepada Kompas.

Yanwar adalah kepala bagian ternak, yang sudah bekerja di peternakan Tapos sejak 45 tahun lalu. Tentu semasa Pak Harto sedang jaya-jayanya

Memang setelah Soeharto tumbang di pertengahan tahun 1998, peternakan Tapos juga langsung tumbang, setidak-tidaknya mati suri.

Dulu Tapos sempat memiliki 500 karyawan, sekarang hanya tersisa 30 saja. Jangan tanya jumlah sapi, pasti jauh lebih menyusut lagi. Dan yang menyedihkan, sudah tak ada lagi "Brangus" tersisa.

Namun begitu, "Brangus" dan program Sapi Banpres yang dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru, tetap menjadi tonggak sejarah tersendiri bagi Soeharto dan kekuasannya.

Tonggak yang menandai berdiri-jatuhnya kuasa Soeharto, meski itu tercermin lewat Sapi Banpres.

PEPIH NUGRAHA