Beberapa saat ini, setiap kali saya menuliskan sesuatu selalu karena perasaan sedih yang teramat sangat. Tapi dalam kasus Ridwan Kamil menjadi keterlaluan merananya. RK adalah adik kelas saya di sekolah elit SMA Negeri 3 Bandung.
Bertahun saya selalu menahan diri untuk tidak menulis tentang Ridwan Kamil. Sebetapa pun, rasa tidak suka saya kepadanya bukan per-hari ini, ketika seolah semua rumput dan daun jadi musuhnya. Seolah, dunia berbalik menjadikannya "anak iblis yang tak termaafkan". Ia figur yang gagal nyagub, tersandung korupsi, dan belakangan harus menyandang "dugaan dan tuduhan" sebagai penjahat kelamin.
Pertama, saya mendengar langsung dari beberapa teman di lingkaran Golkar DKI Jakarta, sebetapa pun ia didukung oleh koalisi besar partai-partai. Tapi realitasnya, ketika kampanye Pilgub DKI Jakarta. Ia sangat "dicuekin" oleh mereka. Bukan saja tak didukung dalam kampanye di lapangan, apa lagi didanai. Tak ada uang sekedar transport di lapangan, tak ada kaos yang bisa dicetak, tak banyak spanduk yang jadi "juru kampanye" paling murah. Ia terjebak dalam omong kosong demokrasi dan realitas keras politik yang jadi trend era pasca Jokowi.
Apa itu? Siapa pun yang menang, tidak penting. Karena bancakan proyek dan konsesi kuasa tetap akan berjalan.
Kedua, bahwa ia tersandung satu proyek gak penting dan tolol, ala-ala Bank BJB. Siapa pun tahu, kalau ingin mencari titik celah seorang kepala daerah bersih atau tidak. Tengoklah bagaimana ia mengelola bank daerah dimana ia menjadi salah satu komisarisnya. Bank-bank Daerah dimana pun adalah semacam "atm" para kepala daerah membayar berbagai "kewajiban" kepada para pendukung berbayarnya. Apakah itu para pengusaha hitam, politisi kotor, atau yang sudah biasa "agamawan munafik".
Bank daerah adalah "rumah perlindungan" bagi dana-dana yang tidak jelas. Ia bisa disamarkan sebagai kanal pembayaran gaji, pekerjaan pemerintah, atau tentu saja proyek-proyek. dana-dana non-budgeter yang tidak butuh pertanggunganjawab. Dalam beberapa kasus, ia menjadi tempat "cash back" dari para mitra pemerntah. Bisa atas nama saja: kelebihan bayar, uang jaminan, pinalti pekerjaan, apa pun. Dalam kasus baru lalu, alokasi dana promosi tentu saja jadi bahan tertawaan para pemerhati korupsi.
Bisnis advertising dan promosi adalah arena cuci uang. Dalam konteks ini, saya mendukung 1000%, Kang Dedi Mulyadi "Si Bapa Aing" yang selalu ngomel dan sinis tentang proyek-proyek sosialisasi, fasilitasi, atau apapun yang selalu jadi andalan dinas-dinas pemerintah sekedar menghabiskan anggaran negara. Di Bank BJB ini, bukan sekedar pat gulipat proyek, tetapi mark-up dan manipulasi dilakukan secara terang benderang. Hal ini sangat menyakitkan bila mengingat Bank daerah sesungguhnya tak butuh-butuh amat promosi.
Karena apa? Ia adalah salah satu bank yang sudah memiliki segment pasar tetap untuk memutar duitnya: para PNS atau ASN. Dari mereka segala sesuatu bisa dijaminkan SK Kenaikan Pangkat bila urusannya potong gaji. Kalau sudah melebihi kuota, bisa pakai BPKB atau Sertifikat tanah. Kalau sudah terlewat juga, bisa pakai "katebelece" atasan atau pejabat. Intinya cari utangan ke bank daerah bila sudah "tahu sama tahu, ngerti caranya" itu gampang sekali. Yah karena bank daerah sesuai motonya: "Menjadi Bank Pilihan Utama Anda".
BJB adalah prototype bank agamis tempat orang korupsi berjamaah dari hulu hingga hilir. Ia akan terus hidup sebetapa pun buruk manajemennnya, karena akan selalu ada uang dari pemerintah pusat mengalir kepadanya ajeg setiap tahun. Menjelaskan kenapa dengan mudah, pembangunan sebuah masjid senilai 1 trilyun dan ternyata setengah anggarannya diperoleh dari utangan!
Ketiga, Karena itulah tak ada yang yakin Ridwan Kamil akan bisa dijatuhkan oleh kasus ini? Dari sinilah muncul "kasus selangkangan" sebagai aji pamungkas. Norak saja pakai banget!
Kenapa demikian? Di sinilah saya tidak habis pikir tentang kebodohan sosok Ridwan Kamil. Bagaimana pun ia seorang arsitek, sekecil apa pun ia punya reputasi internasional. Kenapa ia bisa tertarik pada seorang "bondol" yang sangat tidak arsitektural. Apologinya sangat absurd! Hanya bertemu sekali untuk membantu pembiayaan kuliah. Come on! Setiap kali isu perselingkungan muncul apalagi yang mengajukan adalah seorang profesional. Seorang foto model majalah dewasa. Motivasinya jelas sudah....
Persoalannya bukan lagi pada benar atau salah. Tetapi bagaimana mungkin kasus seperti ini bisa lolos muncul terangkat ke ruang publik? Sedungu apa korban, sepintar apa pelakunya.
Satu-satunya cara memahaminya adalah latar belakang politik dimana Ridwan Kamil dibesarkan. RK memang belakangan tergabung dengan Partai Golkar. Tapi partai yang membesarkannya sejak ia terpilih jadi Walikota Bandung dan Gubernur Jawa Barat adalah Partai PKS. Partai yang sesungguhnya bagi saya adalah simbol utama Orde Agamis ala-ala hari ini. Ia cermin kemunafikan agama yang paling akut. Dan saya pikir sejak Presiden Partainya yang lalu: Luthfi Hasan Ishak yang tersangkut kasus suap impor daging sapi terlalui. Situasinya tak pernah betul2 terkoreksi.
Sebuah kasus korupsi yang bergelimang skandal sex. Bukan saja, ia menikahi anak di bawah umur, tetapi juga "kasus kebiasaan jajan perempuan". Suatu kebiasaan yang menjadi sangat biasa....
Beberapa saat ini, setiap kali saya menuliskan sesuatu selalu karena perasaan sedih yang teramat sangat. Tapi dalam kasus Ridwan Kamil menjadi keterlaluan merananya. RK adalah adik kelas saya di sekolah elit SMA Negeri 3 Bandung. RK adalah adik kelas istri dan adik kandung saya di Jurusan Arsitektur ITB. Itulah resiko, ketika ia ingin menjadi bagian dari "orde agamis": suatu wujud paling nyata yang kadang dibungkus sedemikian rupa sebagai reformasi.
Sedih karena ia gagal menjaga motto sekolah kami: "Knowledge is Power, But Character is More". Bahwa di luar kaya akan pengetahuan, tapi tetaplah karakter baik yang utama. Ia memang sempat membanggakan almamater kami dengan jabatan politisnya. Tetapi segera setelah itu menghancurkannnya dan meluluh lantakkannya.
RK, ai sia meni nurustunjung pisan euy.....
NB: Nurustunjung adalah aporisma budaya Sunda paling singkat yang paling membekas di hati saya. Makna dasarnya adalah sedemikian keterlaluan, parah dan tidak tahu malu. Ia berada pada titik verbal ketika seseorang tidak tahu lagi harus mengumpat apa. Ia adalah pilihan kosa kata terbaik untuk ungkapan kekesalan paling dasar. Ia jauh lebih tinggi dari sekedar kalimat maki-maki ala kebon binatang. Ia adalah simbol keputusasaan, kekecewaan, dan tentu saja kesedihan yang mendalam...
Kenapa kalimat pendek itu sedemikian membekas di hati saya. Saya pernah mendengarnya langsung, ketika seorang guru perempuan saya di SMP Negeri 9 Bandung mengatakannya di depan kelas. Seorang guru yang sesungguhnya sangat penyayang, penyabar dan bagi saya ia profiling pendidik sejati. Saya ingat betul namanya Bu Darsih, seorang Guru Bahasa Indonesia. Ia adalah orang pertama yang mengajarkan pada saya, bagaimana menulis secara baik dalam bahasa indonesia.
Suatu kali, ia sedemikian marah pada teman saya. Seorang siswa yang bukan saja nakal, tapi juga bodoh dan tidak tahu sopan santun. Sedemikian kesalnya beliau, hingga ia menghardik sengit: "Ai budak ieu meni nurus tunjung pisan". Bagi dirinya itu adalah kemarahan, namun bagi saya itu sebuah keindahan. Sesuatu yang sedemikian melekat, hingga saya masih ingat mimik mukanya, nada suaranya, bahkan gestur tubuhnya.
Aih, aih Bu Darsih meni sono abdi ka anjeun
Dalam konteks Ridwan Kamil, suatu kali di masa lalu saya pernah ingin menuliskan hanya untuk mengingatkan. Ketika ia berlibur sekeluarga di Swiss. Saat tiba-tiba anaknya, tanpa ba bi bu terjun masuk ke sungai. Terbawa arus, hilang dan ketika berhari kemudian ditemukan sudah tak bernyawa. Kasus-kasus yang sebenarnya terlalu biasa terjadi. Suatu kejadian tak terduga secara kasat mata, tapi akan terjawab baru setelah sekian waktu berlalu. Kenapa hal itu bisa terjadi. Ia adalah peringatan bagi yang hidup, bukan terutama penjelasan kenapa ia harus mati.
Di daerah tandus Gunung Kidul adalah contoh bagaimana perilaku bunuh diri tidak perlu selalu punya sebab. Apa yang disebut fenomena pulung gantung, suatu peristiwa alam berupa bola api yang meluncur di malam hari. Ia laksana sebuah meteor, yang muncul tiba-tiba. Lalu mendarat di suatu rumah dan keesokan harinya salah satu warga rumah tesebut tiba-tiba menggantung diri. Aneh, karena peristiwanya selalu menggantung diri, padahal umumnya menaiki sesuatu pun si korban tak bisa.
Dalam penglihatan saya, kasus hanyutnya Emmeril Kahn Mumtadz atau biasa dipanggil Eril. Ketiga pilihan kosa kata itu mencerminkan cara-cara orang tua mileneal memberi nama asing, yang terutama menunjukkan watak gaya agamis dari si orang tua. Nama-nama yang sesungguhnya tidak berakar baik dari masa lalu si orang tua. Apalagi memahami keluasan maknanya.
Ia hanya sok keren. Mengapa saya mempermasalahkan? Dalam tiga pilihan kata itu, adalah kata " Kahn". Yang arti harafiahnya dalam bahasa Jerman adalah alah anak laki-laki. Tapi sesungguhnya, makna lainnya adalah "kapal yang kuat". Lalu sungai Aare mengujinya, sekuat apa ia?
Ia sedemikian mudah terhanyut, karena ia bukan kapal, apalagi sekuat itu.
Apa yang bisa tarik dari kasus ini. Si anak menjadi martir untuk mengingatkan si bapak, si orang tua untuk tidak lebay, ulah nurus tunjung. Sebelum anaknya meninggal, RK adalah seorang penggila sosial media. Sayangnya ia bukannya sadar, tapi malah makin menjadi. Apa saja materi dan isue dalam lingkaran hidupnya jadi konten. Yang lucu, nyebelin, atau malah gak penting sebagaimana seharusnya ketika ia menyandang pejabat publik. Ia jadi norak, dan gila perhatian.
Ia adalah cermin generasi yang hancur secara kesejatian, hilang karakter pribadinya yang asli dan membumi. Ia sebagaimana calon presiden gagal dari Jawa Tengah. Keduanya setipe, alih2 menapak naik ke level yang lebih tinggi. Ia malah kebanting jatuh.
Keduanya belum selevel Donald Trump, yang maniak, sulit ditebak tapi jujur dan berani itu. Ia siap dibenci, tapi sekaligus tidak butuh dicintai. Sadis dan tidak adil memang membandingkannya.
Walau keduanya, semuanya sama: nurustunjung!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews