Selamat Jalan, Pak Mochtar…

Senin, 7 Juni 2021 | 05:44 WIB
0
249
Selamat Jalan, Pak Mochtar…
Mochtar Kusumaatmadja (Foto: Istimewa)

Perkenalan saya dengan Pak Mochtar Kusumaatmadja diawali ketika saya sebagai wartawan baru Kompas ditugaskan untuk melakukan peliputan di Departemen Luar Negeri (Deplu) pada bulan Mei 1983.

Pada waktu itu, sesungguhnya saya ditugaskan di Desk Politik dan Keamanan Harian Kompas, tetapi karena saat itu, Rumhardjono, wartawan Kompas yang bertugas di Deplu absen selama beberapa waktu, maka untuk sementara saya diminta menggantikannya.

Namun, karena pada penugasan pertama di Deplu, saya bisa menemui langsung Pak Mochtar Kusumaatmadja, maka saya kemudian ditugaskan secara tetap di Deplu.

Pak Mochtar dikenal sebagai diplomat ulung dan juga perunding yang tangguh. Ia berhasil membuat konsep negara kepulauan (archipelagic states) diterima dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Ia juga berhasil mengajak Vietnam untuk ikut serta dalam perundingan untuk mencari penyelesaian atas masalah Kamboja. 

Pak Mochtar benar-benar menggunakan wartawan untuk menyebarluaskan pernyataannya mengenai berbagai hal tentang kebijakan luar negeri RI. Itu sebabnya, setiap hari Jumat ia mengadakan pers briefing. Ia membuat para wartawan yang bertugas di Deplu mengerti duduk soal tentang semua kebijakan politik luar negeri Indonesia.

Jika wartawan bertanya secara asal-asalan, atau Pak Mochtar ”menangkap” wartawan itu tidak menguasai persoalan yang ditanyakan, maka wartawan itu pasti akan menjadi bulan-bulanan.

Ia tidak pernah protes jika kami mewawancara pengamat yang mengkritisi kebijakan luar negerinya. Oleh karena itulah wartawan Deplu menjadi ”pintar-pintar” karena benar-benar menguasai persoalan. 

Bahwa saya bisa menemui langsung Pak Mochtar pada kesempatan pertama, itu bukan karena saya hebat, melainkan karena nama Luhulima.

Jadi, pada saat pertama kali meliput di Deplu, saya berpapasan dengan Pak Mochtar, dan sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya menyebut nama saya, James Luhulima.

Lalu, Pak Mochtar langsung bertanya, kamu apanya Nelly (Petronella Margaretha Luhulima), yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Perjanjian Internasional di Deplu. Saya jawab, saya keponakannya Pak, saya anak kakaknya, CPF Luhulima, yang juga dikenalnya.

Pak Mochtar langsung merasa akrab, dan setelah itu hubungan di antara kami berdua cukup dekat.

Pernah ada kasus yang lucu. Pada tahun 1984, Indonesia ingin mengajak Vietnam ikut dalam pertemuan untuk mencari penyelesaian atas masalah Kamboja. Sebagai balasan, Indonesia menjanjikan akan mendamaikan hubungan Vietnam dengan Amerika Serikat.

Pada saat itu, Vietnam diembargo oleh Amerika Serikat sehingga tidak dapat berniaga dengan negara-negara Barat, dan juga Jepang. Syaratnya, Vietnam menyelesaikan masalah MIA (missing in action) dengan Amerika Serikat, terutama memulangkan jenazah pasukan Amerika Serikat yang tewas di Vietnam. Kebijakan politik Indonesia itu dituangkan dalam suatu dokumen yang bersifat rahasia (confidential).

Pak Mochtar memanggil saya ke ruang kerjanya, dan menyuruh saya membaca dokumen itu. ”Kamu baca saja, dan pahami, jangan disalin.” Ketika berita itu saya turunkan, tentunya dengan menggunakan kata-kata saya sendiri, dan saya tidak menyebutkan sumbernya. Hebohlah Deplu.

Pada waktu itu, Direktur Jenderal Politik Deplu adalah Pak Nana Sutresna. Ia memanggil saya, dan dengan nada marah bertanya dari mana saya mendapatkan berita itu, dan ia mengira saya mendapatkannya dari tante saya. Namun, kemudian ia langsung tertawa ketika saya mengatakan bahwa saya mendapatnya dari Pak Mochtar.  

Dan, Pak Mochtar untuk menunjukkan kepandaiannya sering berkata, jika wartawan bisa menjebaknya dengan pertanyaan yang membuatnya menjawab dengan jawaban yang keliru, maka ia akan mentraktirnya dengan sebungkus nasi padang. Dan, saya berhasil menjebaknya, walaupun tidak sampai menjadi berita.

Pada tahun 1986, waktu Presiden Filipina Ferdinand Marcos digulingkan, siang hari, saya menemui Pak Mochtar. Ia pada saat itu baru selesai ceramah di sebuah tempat. Saya bertanya, bagaimana sikap Indonesia, apakah kita mendukung Corazon Aquino? Pak Mochtar berkata, tinggal tunggu waktunya saja…

Saya langsung ke kantor, dan mengetik beritanya. Tiba-tiba saya sadar, kalau saya turunkan berita itu, artinya pengakuan Indonesia terhadap Corazon Aquino, yang akrab disebut Corry Aquino, hanya tinggal menunggu waktu saja. Apakah itu yang dimaksud Pak Mochar?

Saya ragu-ragu, karena kalau Pak Mochtar tidak bermaksud begitu, kan bisa blunder. Maka saya kemudian mendatangi rumah dinas Pak Mochtar di Kompleks Menteri di Jalan Widya Chandra. Ternyata Pak Mochtar tidak ada, sedang menghadiri resepsi. Saya tunggu.

Pada pukul 22.00, Pak Mochtar baru sampai. Saya langsung mengonfirmasinya. Pak Mochtar kaget, dan menjelaskan maksud dia, kita tunggu hingga persoalannya menjadi jelas dulu. Pak Mochtar langsung mengatakan, terima kasih… Wah saya utang satu bungkus nasi padang sama kamu…

Terakhir saya bertemu tahun 2008, saat akan menulis biografi Titie Sudibyo, atlet PON I. Titie Sudibyo bersama-sama Pak Mochtar di Nusantara Symphony Orchestra. Di akhir wawancara, Pak Mochtar mengatakan, nanti nama saya tulisnya, Mochtar Kusuma-Atmadja ya. Saya iyakan saja, saya tidak bertanya kenapa?

Pak Mochtar memang hebat, ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman 1974-1978 dan kemudian Menteri Luar Negeri dua periode (1978-1988)

RIP

***