Kisah kekerasan yang dilukiskan dalam Sapu Tangan Fang Yin, soal amuk massa atas kaum Tionghoa, yang juga menimpa putri kesayangannya, itu semua tak menghalanginya untuk mencintai negeri ini.
“Kita kaum intelektual termasuk sekelompok kecil 10.000 elit utama Indonesia. Kita bisa mempercepat transisi negara mencapai Indonesia 4.0.”
Tulisan Christianto Wibisono ini yang langsung teringat, ketika saya mendengar Ia wafat.
Saya ingat tulisan itu karena Ia membuatnya merespon tulisan saya (1). Saya terkenang pernyataan itu karena visinya dalam esai itu kuat. Seksi. Mengugah.
Saya buka lagi buku yang memuat esai itu.
Menurut Christianto: “Bung Karno membawa Indonesia 1.0 dengan sosialisme kirinya. Pak Harto membawa Indonesia 2.0 dengan konsep developmentalist state.”
“Habibie membawa Indonesia 3.0 dengan transisi demokrasi.”
“Satu tahap lagi Indonesia harus melompat menuju negara paling kuat nomor 4 secara ekonomi di dunia. Itu hanya mungkin jika jumlah populasi kita yang paling banyak no 4 dunia melampaui per kapita di atas 50.000 USD.”
“Banyak ahli termasuk PriceWaterHouse (PWC) memprediksi Indonesia akan mencapai itu di tahun 2045-2050. Itulah Indonesia 4.0. Indonesia yang demokrasinya juga sudah matang.”
Esai aslinya panjang sekali. Itu khas esai Christianto. Kadang satu fenomena Ia hubungkan hingga sejarah Ken Arok, ataupun peristiwa global di Amerika Serikat sana.
Namun di akhir tulisan, pembaca terasa kaitan semua kisah pernak- pernik itu.
Hal lain yang saya ingat peristiwa yang lebih personal. Itu berkaitan dengan kisah dalam puisi esai saya: Sapu Tangan Fang Yin.
Ia pernah minta waktu saya khusus membicarakan ini.
-000-
Saya mengenal Christianto sejak tahun 90-an. Usia kami memang bertaut jauh: 18 tahun. Saya acapkali menyebutnya dengan panggilan senior.
Namun Ia memperlakukan saya sebagai teman sejawat. Kami acap berkomunikasi sebagai sesama kolumnis.
Di dua koran itu, kolom kami acap dimuat. Kompas dan Sinar Harapan. Lalu Sinar Harapan berubah menjadi Suara Pembaruan.
Ketika saya sekolah ke Amerika Serikat, praktis komunikasi saya dengan Christianto terputus.
Sejak tahun 2012, komunikasi kami terjalin kembali. Beberapa kali, Ia bertandang ke kantor saya di jalan pemuda.
Kami acapkali bertukar buku. Ia menghadiahkan saya buku. Saya juga demikian, menghadiahkannya buku.
“Mas Denny, bagi seorang penulis, buku itu adalah intan berlian. Ini saya bawakan mas Denny intan berlian.”
Ia pun menyerahkan buku sambil tertawa. Acapkali itu adalah buku karyanya sendiri.
Sebagai balasnya, saya katakan, bagi saya buku itu seperti mobil mercy. Saya pun memberikan buku karangan saya sambil berseloroh: ini saya berikan senior mobil mercy.
Di bulan Juli 2021, sebelum berlakunya PKPM darurat 3 Juli, sudah sekitar 20 hari saya tak mendapatkan satu WA pun di japri dari Christianto Wibisono.
Biasanya ada saja yang Ia kirim. Kadang Ia memforward tulisannya sendiri, yang Ia buat untuk satu media online. Kadang Ia merespon tulisan yang baru saya kirim.
Tak jarang, Ia juga memforward berita, terutama soal fundamentalisme agama, soal hak asasi manusia, atau perkembangan baru ekonomi.
Hari ini tanggal 22 Juli 2021, di WA japri muncul kembali teks dari no WA Christianto Wibisono.
Ternyata itu WA dari keluarganya. Isinya sungguh membuat saya terkejut. Diberitakan Christianto Wibisono wafat karena sakit.
Sungguh saya tak tahu jika lama tak berkabar di japri WA karena Ia sedang sakit keras.
“Ia wafat satu hari sebelum aniversary 50 tahun pernikahannya. Untuk mengenangnya, kami mengajak semua teman mendoakan Indonesia, negara yang sangat dicintainya.”
“Semoga indonesia semakin kuat dan bersatu dalam perang melawan Covid-19.”
Segera saya melacak Google untuk konfirmasi. Rupanya sudah ramai berita di Google. Salah satu berita menyatakan, Ia terkena Covid-19.
Dalam hening. Menetes air mata, saya kirim Alfateha untuknya.
Satu hari di tahun 2014, Ia telephone saya. “Ingin bicara khusus. Masalah pribadi.”
“OK,” jawab saya. “Datang saja, senior. Pintu selalu terbuka bagi sang pencerah, intelektual, sekaligus pengusaha. Hahahahah.”
Walau saya menjawab penuh canda, namun saya simpan juga itu tanda tanya. “Wahai apakah gerangan masalah pribadi yang ingin Ia sampaikan?”
Di ruang kantor itu, kami hanya berdua. Setelah percakapan ringan, Ia mulai bertanya.
“Mas Denny, ini masalah pribadi. Hanya ingin tahu saja. Apa benar puisi esai mas Denny, Sapu Tangan Fang Yin, mengambil inspirasi dari kisah putri saya?”
Ia bertanya serius. Lalu diam. Saya pun mendengar serius. Lalu diam juga sejenak.
Puisi esai Sapu Tangan Fang Yin itu berkisah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Mewarnai gerakan Reformasi, yang meminta Pak Harto mundur, juga terjadi kekerasan rasial.
Etnik Tionghoa acapkali menjadi amuk massa. Fang Yin seorang gadis Tionghoa. Ia tak mengerti politik. Usianya baru lewat dua puluh tahun.
Semata karena Ia Tionghoa, Ia menjadi korban amuk massa. Rumahnya dibuka paksa. Ia mengalami kekerasan seksual di era demo besar itu.
Trauma merusak jiwanya. Kekasih hati meninggalkannya karena kasus itu. Fang Yin pun bermigrasi ke luar Indonesia. Ke Amerika Serikat.
Ia marah sekali dengan Indonesia. Peta Indonesia acap dirobeknya. Dicoret-coretnya dengan spidol. “Saya tak ingin dengar soal negara ini lagi!’
Hingga bertahun kemudian, Fang Yin melihat Indonesia berubah. Tokoh etnik Tionghoa menjadi menteri. Program bahasa mandarin muncul di TV.
Barongsai dipentaskan di tempat umum. Fang Yin pun memaafkan Indonesia.
Memang terdengar kabar putri Christianto Wibisono juga mengalami amuk massa. Rumahnya diserbu. Dibakar.
Peristiwa ini terjadi di tahun 1999. Sungguh saya tak tahu detailnya. Dan saya tak berani bertanya pada Christianto lebih jauh.
Dan kabarnya sang putri ini juga bermigrasi ke Amerika Serikat.
Cepat saya menjawab Christianto. Saya sampaikan rasa prihatin atas apa yang Ia alami.
Namun Sapu Tangan Fang Yin tidak dibuat berdasarkan kisah putrinya. Saya membaca laporan Tim Gabungan Pencari Fakta. Dan saya sempat intens mewawancarai satu korban.
Saya berjanji pada sang korban itu tak akan membuka identitasnya. Tapi Ia jelas bukan putri Christianto Wibisono.
“Seandainya memang ada inspirasi dari kisah putri saya, tak apa juga, Mas. Saya hanya penasaran saja. Saya mendengarnya dari teman.”
Lalu saya mengalihkan percakapan ke topik lain yang menarik perhatiannya. Soal data bisnis yang Ia miliki. Bagaimana jika dikawinkan dengan data politik yang saya punya.
Ia meninggalkan kantor saya. Namun agaknya Ia belum teryakinkan oleh penjelasan saya soal siapa sebenarnya sosok yang saya jadikan inspirasi kisah Sapu Tangan Fang Yin.
Membaca teks pihak keluarga Christanto yang mengabarkan berita wafatnya, juga pernyataan betapa Christianto begitu menyintai Indonesia, sungguh saya terharu.
Kisah kekerasan yang dilukiskan dalam Sapu Tangan Fang Yin, soal amuk massa atas kaum Tionghoa, yang juga menimpa putri kesayangannya, itu semua tak menghalanginya untuk mencintai negeri ini.
Selamat jalan senior.
Juli 2021
Denny JA
***
CATATAN
1. Esai Christianto Wibisono yang merespon tulisan Denny JA soal Indonesia 4.0 bisa dibaca di
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews