Memoirs of Rudy Badil [4]: "Lalat"

Dia adalah sosok wartawan lugas, apa adanya, tetapi fokus dalam pekerjaan dan apa yang dikuasainya. Ia juga dikenal sangat setia kawan dengan ingatan yang fotografik.

Senin, 26 Agustus 2019 | 14:43 WIB
0
450
Memoirs of Rudy Badil [4]: "Lalat"
Rudy Badil dan Warkop (Foto: Facebook/Bambang Setiawan)

"Mbang, lu udah sampe mana?" 
"Porong."
"Lu bawain gw makan ya, gw laper!"
"Oke. Ente di mane?"
"Santika."

Gw berpikir keras, kira2 makanan apa ya yang cocok untuk Badil. Pasti klo yg biasa2 aja gak seru, mungkin udah bosan. Kan semua makanan khas daerah pasti udah pernah dia rasain. Apalagi klo makanan restoran, jangan2 gak doyan.

Oh ya, kemarin antara Malang-Porong kulihat ada warung judulnya: Nasi Goreng Tawon.
Ah, coba deh beli itu aja, kali2 Badil suka. Kubeli sebungkus dan kubawa ke kamarnya.

"Kamsia ya," ucapnya sambil membuka bungkusan nasi.
"Hah! Apa ini?'
"Nasi goreng tawon."
"Lu suruh gue makan lalat?" Dahinya mengerut. Gawat nih.

Gw liat nasgornya. Memang persis lalat, cuma warnanya agak kuning coklat. Waduh.

Tapi Badil tetap coba memakannya, meski mukanya tampak gak bahagia. Tawon2 dia singkirkan, nasinya dia makan pelan2. Kira2 setengah porsi ketelen.

"Ah, udah ah. Ngeri gw makan lalat... Tapi terimakasih ya," ucapnya sambil nyengir kecut.

Besoknya Badil bawa kita ke Rawon Dengkul di Malang. Betul2 dengkul tulen, masih nempel di tulangnya. Porsi besar kulahap habis.

"Nih, kamu minum obat ascardia ya. Gw kasih satu. Jaga kesehatan biar jantung tetap sehat," katanya.
Entah kenapa yg dia kasih obat jantung, bukan obat kolesterol. Tapi kutelan saja.

BST

***

Tulisan sebelumnya Memoirs of Rudy Badil [3]: "Ngehek"