Kisah Sukses Ridwan Kamil [2] "God is in Detail"

Selama 5 tahun jadi Walikota, Emil telah membangun 50 bangunan baru. Ia ingin bangunan yang keren-keren itu akan menjadikan Bandung sebagai laboratory of architechture.

Kamis, 11 Juli 2019 | 06:36 WIB
0
602
Kisah Sukses Ridwan Kamil [2] "God is in Detail"
Ridwan Kamil (Foto: Architect Jogja)

Sebagai arsitek, Emil sangat berterimakasih kepada Sang Mentor, Danisworo, yang mengingatkannya tentang in between. Menurut Emil, fokus perhatian dari arsitektur itu bukan hanya objek bangunan, tapi bagaimana mendisain in between. Hal ini sering dilupakan oleh banyak arsitek.

Saat ia menjadi Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota Bandung, Emil melihat proposal-proposal masuk, hanya mengutamakan gedungnya saja, tapi space in between building-nya jarang diskenariokan sekeren objeknya. Padahal yang secara sosial cukup berpengaruh, yang membuat orang stressed tidak stressed, justru in between. Di Bandung, kini Emil memperlihatkan filosofi in between betul-betul mengubah tingkat happiness orang Bandung. 

Bandung memiliki banyak bangunan tua bersejarah. Emil sebagai Walikota Bandung membuat dua in command rules.

Pertama, “Don’t give me agree building policy.” Jadi kalau ada arsitek, gambar yang diajukannya jelek akan disuruh pulang, seperti sedang mengerjakan tugas akhir. Kedua, kalau proyeknya berada di kawasan kota tua, maka gaya arsitekturnya harus kontekstual. “Gak boleh pakai kaca-kaca kayak di Dubai, karena saya ingin memperkuat karakter ‘kota tua’.” 

Tahun 2017, Emil membangun gerbang Kota Tua. Monumen art deco di titik-titik tertentu sebagai simbol kawasan Kota Tua di Bandung. Supaya makin menegaskan bahwa Bandung punya benteng seperti Paris, Kota Tua menjadi karakter. Nanti, semua proyek di kawasan Kota Tua, diwajibkan bergaya art deco.

Dulu, Emil suka mencampurkan politik dalam karya arsitektur. Dua hal itu kini menjadi satu. Maka visi dalam membangun kota baru, ‘Bandung Technopolis’ adalah salah satunya. Dengan begitu, ia dituntut untuk, memahami skala. Mulai proyek-proyek berskala kecil, seperti pembangunan halte bis dengan kreatif, sampai proyek berskala mega.

Selama lima tahun menjadi Walikota, Emil telah membangun tidak kurang dari 50 bangunan baru. Ia ingin bangunan yang keren-keren itu akan menjadikan Bandung sebagai laboratory of architechture

“Karena saya seorang arsitek, saya suka ngomentarin. Makanya saya disebut master curator. Yang ini jelek, balik lagi minggu depan, tambahin ini-itu. Kalau Bahasa Sundanya, ‘Kota Aing, Kumaha Aing!’ Kemudian saya bikin peraturan, arsitek kan mendesain sustainibility, tapi di level Walikota saya tidak bisa ceramah tentang green design. Makanya, Januari 2017 lalu saya bikin saja peraturan, ‘siapa yang tidak lolos green code di Kota Bandung, tidak akan saya kasih IMB’. Nah, itu politik berinovasi menghijaukan Bandung, tidak melulu dalam bentuk menasehati design,” papar Emil. 

Mengenai visi Bandung sebagai laboratory of architechture, Emil mengkombinasikan filosofi ‘jangan nanggung-nanggung’ dan ‘mumpung jadi Walikota’, maka ia menggulirkan gagasan besar, memindahkan pusat pemerintahan yang kini tersebar, ke kawasan Bandung Timur. Semacam Putra Jaya di Malaysia, tempat berkumpulnya bangunan-bangunan pemerintahan. “Nanti bangunan yang ada di tengah kota saya akan sulap jadi restoran, hotel yang sifatnya tourism venue.” 

Dalam arsitektur ada terminologi main making. Konsep itu dipakai untuk merumuskan Bandung akan menjadi seperti apa. Namanya ‘Bandung Tri’. Tri yang berarti tree atau pohon, dan Tri berarti three, tiga. Emil menerangkan, dulu untuk mengecat trotoar jalan saja orang kelurahan minta izin dari Walikota. Betapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tidak bisa berinovasi, tidak dilatih leadership karena takut salah. Sekarang Emil melepaskan 100 jenis kewenangannya kepada SKPD.

“Sekarang saya kasih ke Camat dan Lurah, biar mereka gerak sendiri. Ini bagian dari reformasi mindset yang saya lakukan. Kolaborasi, kemudian mendesentralisasi,” kata Emil.

Kemudian, sekarang pasar-pasar di Bandung mulai didesain ulang. Indikator kesuksesan pasar untuk tradisional, bagi Emil cuma satu, ‘kalau orang kaya sudah mau nongkrong di pasar’. Kalau orang kaya masih males karena berbagai alasan, dan memilih pergi ke mall atau ranch market, berarti pasar tradisional itu masih belum keren. Sekarang sudah ada beberapa pasar di beberapa tempat yang didesain ulang. 

Adapun komoditas yang dijual di pasar-pasar tradisional, tidak harus tematik, yang penting percampuran isinya tetap relevan. Maka bisa saja satu kios menjual daging ayam, bersebelahan dengan kafe. Emil coba meredefinisi pasar, kontennya aktivitas sosial ekonomi. “Saya undang enam arsitek terbaik untuk mendesain pasar-pasar itu.”

Revitalisasi pasar juga dilakukan berbarengan dengan promosi kuliner khas Sunda. Hawa Bandung yang dingin, dimanfaatkan sebagai faktor pendorong dalam membangun pusat-pusat kuliner. Bandung diproyeksikan menjadi ‘kota yang sulit bagi siapapun untuk melakukan diet’. “Makanan terbaru favorit saya adalah Seblak Ceker Seuhah atau Spicy Wolverine Seblak.”

Inovasi terbaru yang dibanggakan Emil adalah program satu kelurahan satu arsitek. Uang ada, tapi umumnya Lurah tidak tahu harus dialokasikan ke mana. 

“Bayangkan kalau semua urusan spasial diserahkan ke Lurah yang dia gak ngerti desain, hasilnya: uang habis hasilnya ya begitulah. Sekarang saya sebarkan arsitek, salah satunya Pak Baskoro Tedjo, dia menyumbangkan waktunya menjadi arsitek komunitas di kecamatan Regol,” kata Emil.

Baskoro Tedjo sendiri mengaku heran, hampir semua kebijakan yang dijalankan Ridwan Kamil bisa diterima dengan cepat oleh warganya. Sampai-sampai Baskoro bertanya, “Ilmu apa yang dipakai Ridwan Kamil sebagai Walikota, hingga kebijakannya nyaris tanpa kendala? Itu tidak bisa dilakukan oleh semua orang.”

Urban Mobility

Di Kota Medellin Kolombia, Amerika Latin, budaya naik mobil beralih naik ke atas, jadi menggunakan sky lift, karena tidak adanya mobil. Sehingga, yang terjadi bukan terjadi pelebaran jalan, tapi pelebaran trotoar. Ketika menjadi dosen dan arsitek profesional, hal itu hanya berupa mimpi-mimpi urban. Kini sebagai Walikota, Emil memiliki kesempatan untuk mewujudkannya. “Saya perjuangkan. Tidak lama lagi ada Bandung punya sky bridge yang menghubungkan ITB dengan Cihampelas.” 

Emil menginginkan, orang yang bergerak di kota tidak selalu menggunakan moda transportasi. Maka ia segera mengubah master plan-nya. Yang sebelumnya master plan transportasi, menjadi master plan mobility. Karena, orang berangkat kerja di kota tidak harus bertransportasi, bisa juga jalan kaki, bersepeda, dan seterusnya. 

Ia mengaku, sejak menjadi Walikota, setiap hari berangkat ke tempat kerja dengan bersepeda. Emil tidak mengambil mobil dinas sedan yang merupakan jatahnya, tapi cukup mobil MPV Kijang. Ketika berkampanye, Emil mengajak warga Bandung untuk bike to work

“Setelah tiga tahun konsisten bersepeda ke kantor, alhamdulillah gagal... Orang-orang dewasanya gak suka, tapi anak-anaknya mengikuti saya bersepeda. Sekarang mereka bike to school tiap hari, cukup banyak. Saya lihat di sekolah-sekolah tempat parkir penuh sepeda,” kata Emil bangga. 

Tapi, bagi Emil, kalaupun orangtuanya tidak ikut bike to work, tapi diharapkan kelak anak-anaknya yang kini sudah mau bike to school, mampu mengubah budaya car oriented menjadi mobility oriented. Paling tidak, kemungkinan itu sudah ada. Lagi pula, Bandung yang udaranya relatif dingin, lebih memungkinkan mobility oriented, dibanding Jakarta misalnya. Emil cukup optimistis. 

Mengenai hal itu, arsitek senior Prof. Gunawan Tjahjono mengatakan, perubahan perilaku masyarakat Kota Bandung relatif cepat. Sosialisasi public mobility concept oleh Ridwan Kamil sudah tepat. Ia memberi contoh, ketika dikampanyekan untuk membuang sampah ke tempat sampah di Bangkok, yang cepat beradaptasi justru anak-anak sekolah. Kemudian, anak-anak itulah yang menasihati orang-tuanya untuk melakukan hal yang sama. Akhirnya, Bangkok bisa menjadi kota yang bersih dari sampah. 

“Jadi apa yang terjadi di Bandung saat ini, di mana anak-anak sekolah begitu exciting pergi ke sekolah naik sepeda, bukan tidak mungkin itu akan diikuti oleh para orang-tuanya,” kata Gunawan. 

Dalam konsep public mobility, ukuran jarak tidak lagi diukur seberapa jauh atau satuan kilometer, tapi berapa lama waktu tempuh yang dibutuhkan. Artinya, kalau satu jarak dengan kondisi tertentu bisa ditempuh lebih cepat dengan berjalan kaki, maka moda transportasi tidak dibutuhkan.

Begitu juga sebaliknya. Misalnya, dalam beberapa tahun ke depan, proyek High Speed Train yang menghubungkan Jakarta-Bandung akan rampung. Jika sekarang lewat Tol Cipularang, Jakarta - Bandung ditempuh dalam 3-4 jam, nanti hanya 40 menit. 

“Sudah ada pikiran orang yang tinggalnya di Bandung commuting-nya ke Sudirman-Thamrin di Jakarta. Karena akan lebih cepat dibanding dari Bintaro ke Sudirman. Maka, dalam teori distance, jarak tidak lagi ukuran ruang, tapi dengan waktu. Seberapa jauh Bandung-Jakarta, bukan lagi hitungan 150 kilometer, tapi berapa menit.”

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Kisah Sukses Ridwan Kamil [1] Tahun 2013–2018 Bandung Juara