Harianto Badjoeri [42]: Anak Metropolitannya Blitar yang Melegenda di Ibu Kota

Di lereng Gunung Kelud, jejak seorang HB juga dikenal orang. Lewat Masjid HM Al-Badjuri yang dia bangun di sebuah dusun kecil, nama HB terpampang di plakat masjid itu.

Jumat, 20 Desember 2019 | 07:44 WIB
0
901
Harianto Badjoeri [42]:  Anak Metropolitannya Blitar yang Melegenda di Ibu Kota
Rumah Harianto Badjoeri semasa kecil (Foto: Dok. pribadi)

Harianto Badjoeri yang akrab disapa dengan inisial HB oleh para koleganya ini bukan orang biasa di Kota Blitar, Jawa Timur. Lahir dan besar sampai remaja di Kelurahan di Bendogerit, Kecamatan Sanawetan, HB sebenarnya anak metropolitannya di Kota Blitar.

Rumahnya sewaktu dia kecil di Jalan Sudanco Supriyadi adalah jalur utama yang elite di Kota Blitar. Kanan kiri rumahnya sekarang ini adalah kantor pemerintahan, pusat pendidikan, dan rumah-rumah elite milik orang terpandang.

Rumah HB yang berposisi di huk berseberangan dengan kantor Kejaksaan Negeri Kota Blitar. Sebelah-sebelahnya berupa rumah-rumah mentereng seperti di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Suasananya juga rimbun dengan pohon-pohon besar yang bikin sejuk.

Warga yang berasal sekampung halaman dengan HB adalah orang-orang yang menyandang nama besar di panggung nasional. Sebut saja sang proklamator Presiden Soekarno. Ada juga wakil presiden ke-11 Boediono. Supriyadi, pemimpin pemberontak Pembela Tanah Air di masa pendudukan Jepang. Juga ada pembalap nasional yang terkenal di era 70-an, Tinton Soeprapto.

Radius beberapa meter dari rumah HB, berdiri Taman Makam Pahlawan, sekolahan dari tingkat dasar dan menengah, sampai monumen pahlawan Supriyadi. Prestisiusnya Jalan Sudanco Supriyadi, tempat rumah HB berdiri bisa diibaratkan seperti Jalan HM Thamrin di Jakarta.

Sebagai anak kampung di metrpolitannya Kota Blitar, HB mendapat pendidikan di sekolah-sekolah kenamaan sedari kecil. Sekolah dasar dia tempuh di SD Negeri 1, Bendogerit di Jalan Hasanudin, sekitar 300-an meter dari rumahnya. Begitu juga sekolah menengah pertama dia tempuh di SMP Negeri 3 yang berjarak hampir sama dengan sekolah dasarnya. SMP Negeri ini persis di belakang Monumen Perjuangan Supriyadi.

Di tingkat sekolah menengah atas, HB menempuhnya di SMA Negeri 1 Kota Blitar, sebelum kemudian pada kelas dua dia pindah karena “merantau” ke Sumenep di Pulau Madura, Jawa Timur.

Kampung halaman HB yang sejak dulu dipenuhi orang-orang terpelajar, karena menjadi pusat pergerakan dan perjuangan ini membawa sebagian warganya menjadi orang penting di pemerintahan maupun di kancah politik. Tidak terkecuali HB.

Semangatnya menjadi orang yang berprinsip “seri aja ogah, apalagi kalah” (Betawi - tidak mau kalah) dari seorang HB banyak terbentuk dari suasana kampung halamannya yang menjadi pusat pendidikan, pergerakan, dan perjuangan.

Selain itu, ayahnya adalah juga seorang pejuang dan pejabat teras pendidikan (sekarang kepala dinas pendidikan) di awal kemerdekaan. Status ayah dan suasana perjuangan kampung halamannya itu yang membuat  seorang HB ingin selalu menjadi yang terdepan di mana pun dia berada. “Tidak boleh ada matahari selain dia”.

Pencapaian HB sampai hari tua sekarang bukanlah terbentuk secara tiba-tiba, namun dia asah sejak kecil. Dia dari dulu gemar berteman dan menjadi “leader” di antara kelompok sepermainannya.

Beberapa tempat yang menjadi temat bermainnya sendiri bersuasana perjuangan. Misalnya, dia dan teman-temannya senang berkumpul di sebuah tugu perjuangan yang diresmikan pada 1946 oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Tugu yang dulu dibangun di sebuah lapangan, namun sekarang menjadi Taman Makam Pahlawan ini diperuntukkan untuk mengenang pemberontakan Pembela Tanah Air (Peta) melawan Jepang yang dipimpin Sudanco Supriyadi.

“Kami dulu kalau berkumpul dan bermain usai pulang sekolah ya di tugu ini. Kami bersenda gurau,” kata teman HB, Anoeng Setyomono (68 tahun) didampingi teman lainnya Agus Hendro Yuwono (69 tahun) dan Hadi Triyono (67 tahun) sewaktu napak tilas di tugu peringatan pemberontakan Supriyadi.

Obsesi dan naluri HB sebagai pemimpin sudah terlihat perhatiannya kepada teman-temannya di waktu kecil. HB sangat penuh kasih kepada teman-temannya. Kasihnya tidak dalam bentuk kata-kata, karena dia memang tidak pandai mengolah kata-kata, tetapi dia perlihatkan dengan memberikan apa saja yang dia punya.

HB gemar memberi makanan, uang, atau mengajak temannya bermain di rumahnya yang besar dan mentereng. Semua temannya selain bukan saja sejahtera tapi juga terhibur, karena HB adalah lelaki yang penuh humor.

“Saya puas kalau bisa bikin orang hidup senang,” demikian kalimat yang sering dia ucapkan kepada orang-orang yang dia kasih perhatian.

Rasa kasih dan humornya itu yang membuat pertemanan HB dengan teman-temannya tidak pernah habis, sekalipun sampai di usia yang mencapai 70-an tahun sekarang ini.

“Harianto itu luar biasa dalam merekatkan pertemanan,” ujar Edi Cahyono (70-an tahun) yang sering disapa Bung Edi, teman HB sejak kecil sampai sekarang ini.

Kegemarannya HB membangun pertemanan sejak di kampung sampai sekarang menjadi bandul yang memberi bobot kepemimpinannya. Dia dikenal luas sebagai orang yang bukan saja punya karier melegenda di Ibu Kota, tetapi punya relasi tiada habisnya.

Relasi yang dia bangun bukan sebatas pada kalangan atas dan berpangkat, tapi kepada masyarakat luas juga melarat. Bila orang hebat dipandang karena kehebatannya yang hanya dimiliki seorang diri, tetapi HB bukan seperti itu.

HB selain dikenal sebagai pejabat yang selalu bekerja keras sampai dia disebut legenda di Jakarta, dia juga pejabat yang “royal” kepada rakyat melarat. Di kampungnya di Kota Blitar, HB sudah banyak menabur derma sejak kecil. Di tengah-tengah suksesnya sebagai birokrat di Ibu Kota, HB juga membagikan banyak kemurahan kepada banyak orang di kampungnya. Ada yang dia santuni pendidikannya, dihibahi beberapa ekor hewan ternak, dibangunkan tempat ibadah, sampai diberangkatkan ke Tanah Suci.

Banyak warga hingga di luar Kota Blitar mengenal nama HB dan kemurahannya. Orang kota sampai lereng gunung banyak mengenal nama seorang Harianto Badjuri.

Salah seorang pemilik warung di sebuah desa di Kabupaten Blitar juga mengenal nama HB. Namanya dikenal karena kebaikannya dalam membantu orang sakit yang butuh perawatan darurat.

“Kalau Pak Harianto sih banyak orang sini yang mengenal Mas,” ujar seorang laki-laki pemilik warung di pinggiran Kabupaten Blitar.

Di lereng Gunung Kelud, jejak seorang HB juga dikenal orang. Lewat Masjid HM Al-Badjuri yang dia bangun di sebuah dusun kecil, nama HB terpampang di plakat masjid itu.

Kasih HB sebagai anak kampung di metropolitannya Kota Blitar dirasakan di mana-mana. Dari kampung, lereng gunung, sampai Ibu Kota Jakarta, orang merasakan kasihnya. Rasa kasihnya yang begitu besar inilah yang membawanya bukan saja sebagai birokrat yang melegenda tetapi juga  sebagai manusia yang mudah iba. 

 Krista Riyanto

***

Tulisan sebelumnya: Harianto Badjoeri [41]: Membangun Masjid di Lereng Gunung Kelud