Harianto Badjoeri [41]: Membangun Masjid di Lereng Gunung Kelud

Masjid Al Badjuri pun diharapkan bisa menjadi tempat menyebar kebaikan di sekitar Kelud, sehingga memberi sumbangan berarti untuk menjadikan dunia aman.

Kamis, 19 Desember 2019 | 16:05 WIB
0
550
Harianto Badjoeri [41]:  Membangun Masjid di Lereng Gunung Kelud
Masjid HM Al-Badjuri (Foto: Dok.pribadi)

 Meskipun popularitasnya memuncak di Jakarta, nama HB –sapaan akrab Harianto Badjoeri juga menyebar sampai lereng Gunung Kelud, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Namanya dikenal oleh masyarakat lokal Kelud, tepatnya di RT 01 RW 01, Dusun Sukosari, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sebuah lokasi yang berjarak 25 kilometer arah timur laut pusat pemerintahan Kota Blitar. Lokasi ini berbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang.

Di desa yang sejuk dan memiliki akses jalan beraspal meskipun kecil ini, HB mendirikan satu unit masjid. Namanya Masjid HM Al Badjuri. Nama ini diambil dari nama almarhum ayahnya yang dia kagumi sekaligus hormati, karena karakter ayahnya mengalir deras dalam jiwa seorang HB.

Untuk mencapai lokasi tempat berdirinya masjid meskipun aksesnya mudah ditempuh dari pusat Kota Blitar, namun relatif sulit bagi orang baru. Tidak ada petunjuk yang berarti, padahal banyak persimpangan jalan di jalur menuju masjid itu.


Madrasah

Dengan diantar menggunakan mobil oleh teman sepermainan HB waktu kecil, Hadi Triyono (67 tahun) atau yang akrab disapa Pak Iyon, rombongan dari Jakarta harus banyak bertanya kepada penduduk sekitar jalan untuk menuju Masjid Al Badjuri. Beruntung, Edi Cahyono atau akrab disapa Bung Edi (70 tahun), salah seorang sahabat HB diwaktu kecil di Kota Blitar yang menjadi pemandunya masih ingat arah menuju Masjid Al Badjuri meskipun samar-samar.

Dengan menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam di bawah guyuran hujan, akhirnya tim dari Jakarta sampai juga ke Masjid Al Badjuri yang berdiri di atas areal 22 meter x 14 meter dengan bangunan 14 meter x 8 meter. Selain masjid, komplek ibadah itu juga dilengkapi bangunan sekolah madrasah.

Bangunan masjid bisa untuk menampung 200-an jamaah. Cukup untuk ukuran sebuah masjid di sebuah dusun kecil dengan penduduknya yang masih sedikit ini. Pada saat Idul Fitri atau Idul Adha, halaman masjid juga bisa digunakan untuk menggelar shalat sekaligus memotong hewan kurban.

Pada hari Minggu sore, 15 Desember 2019, masjid berwarna putih hijau itu dikunjungi sekitar enam jamaah, empat laki-laki dan dua perempuan. Mereka melaksanakan shalat ashar berjamaah.

Menurut imam masjid, Chosin Nasution (49 tahun), Masjid Al Badjuri sangat bermanfaat bagi warga sekitar untuk melaksanakan shalat berjamaah, sekaligus tempat menyelenggarakan pengajian dan syiar agama melalui madrasah.

“Ahamdulillah masjid yang dibangun oleh Pak Harianto ini memberi banyak manfaat untuk warga dalam melaksanakan kegiatan agama secara berjamaah,” kata Chosin.

Chosin Nasution, bukanlah orang bersuku Batak, meskipun namanya ada Nasution, yang menjadi nama marga bagi etnis Batak di Sumatera Utara. Chosin Nasution mengaku orang asli Jawa dari kawasan Kelud.

“Nama Nasution diberikan ayah saya, karena ayah saya waktu itu kagum dengan Jenderal AH Nasution,” kata Chosin yang juga menjadi kepala dusun di Sukosari, tempat Masjid Al Badjuri berdiri.

Masjid Al Badjuri yang diresmikan oleh HB pada 14 Juni 2013 ini dilengkapi madrasah, sekolah untuk anak-anak setingkat sekolah dasar. Di sinilah anak-anak di dusun itu dididik untuk mengenal agama sejak dini oleh guru yang juga pengurus masjid. Muridnya sekarang mencapai 25 siswa.

“Masjid ini juga sering digunakan untuk menggelar rapat dusun,” kata Chosin.

HB setiap berkunjung ke kampung halamannya di Kota Blitar sudah pasti mengunjungi masjid yang dia bangun ini. Dia juga rutin memberi santunan kepada masjid itu. Tetapi, masjid itu sekarang sudah bisa mandiri untuk membiayai kegiatannya.

Kemandirian masjid itu karena disokong oleh warga masyarakat yang memanfaatkannya. Pada Idul Adha misalnya, masjid sudah bisa berkurban hewan ternak sampai puluhan ekor banyaknya.

Kehadiran masjid itu juga setidaknya memberi manfaat ekonomi kepada warga sekitarnya. Seperti dituturkan Pujiati (60-an tahun), perempuan yang membuka warung kopi dan makanan di sebelah kanan masjid.

“Berkat masjid ini, warung saya jadi ramai Mas. Apalagi kalua masjid sedang ada kegiatan, makin banyak orang belanja di sini,” kata Pujiati.

Sore itu, warung Pujiati sedang banyak pembelinya. Mereka adalah lelaki yang minum kopi sambil merokok. Mereka mengaku puas menikmati kopi asli buatan warga Kelud sambil merokok di tengah-tengah suasana sejuk dan hujan.

Bagi HB sendiri, tujuannya membangun masjid di situ adalah untuk mencerdaskan masyarakat secara spiritual. Dengan terdidik secara spiritual, warga masyarakat diharapkan bisa menebar banyak kebaikan kepada lingkungan sekitarnya.

Membantu pendidikan umum maupun pendidikan spiritual, HB memang punya komitmen tinggi. Dia tidak pernah menolak membantu biaya pembangunan tempat ibadah, bukan hanya untuk umat Islam tapi juga non-Islam.


Warung samping madrasah

Tempat ibadah adalah sarana penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Bukan sekadar tempat menyembah Sang Pencipta, namun menjadi tempat bersosialisasi antarmanusia yang memiliki peran penting dalam mempersatukan manusia dalam kebaikan.

“Semakin banyak orang baik maka dunia ini aman. Semakin tidak ada orang baik maka dunia ini rusak,” demikian HB meyakinkan teman-temannya.

Dan, masjid maupun tempat ibadah umat lain menjadi bagian penting untuk menyemai kebaikan. Masjid Al Badjuri pun diharapkan bisa menjadi tempat menyebar kebaikan di sekitar Kelud, sehingga memberi sumbangan berarti untuk menjadikan dunia aman meskipun hanya di sekitar Kelud seperti yang sudah ditapaki oleh seorang HB. 

Krista Riyanto

***

Tulisan sebelumnya:  Harianto Badjoeri [40]: Menjaga Silaturahim dan Balas Budi