Harianto Badjoeri [40]: Menjaga Silaturahim dan Balas Budi

HB memperlihatkan kepiawaiannya membawa diri dalam mengelola kondusivitas Ibu Kota, khususnya berkait dengan penegakkan peraturan daerah yang menjadi perhatian dari organisasi massa Islam.

Rabu, 18 Desember 2019 | 07:03 WIB
0
381
Harianto Badjoeri [40]:  Menjaga Silaturahim dan Balas Budi
Muhammad Alawi Usman (Foto: Dok. pribadi)

Harianto Badjoeri yang akrab disapa HB oleh para koleganya ini tidak saja diterima oleh organisasi masyarakat berbasis etnis maupun kepemudaan, namun juga oleh organisasi berbasis agama.

Salah satu yang memberi apresiasi kepada HB datang dari mantan Panglima Laskar Pembela Islam (LPI), Muhammad Alawi Usman. Alawi menilai HB birokrat yang memahani kultur masyarakat Indonesia dan nilai-nilai kebaikan.

Alawi sendiri mengenal HB awal-awal 2000-an. Waktu itu, dia dan laskarnya sedang berusaha menurunkan iklan bir di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, karena dianggap melanggar aturan tentang dilarangnya iklan minuman keras.

Upayanya bersama laskarnya itu menimbulkan ketegangan dari sekelompok orang yang berkepentingan terhadap iklan tersebut. Ketegangan ini sampai ke telinga HB yang waktu itu menjadi Wakil Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta.

“Kami kemudian diajak dialog oleh Pak Harianto di kantornya. Setelah mendengar masukan kami, beliau kemudian yang menurunkan iklan bir tersebut,” kata Alawi.

Sejak itulah, Alawi dan HB menjalin komunikasi intensif, khususnya dalam mendialogkan berbagai persoalan Ibu Kota yang menjadi perhatian dari LPI. Misalnya, LPI ingin peraturan yang melarang kemaksiatan ditegakkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dari komunikasi dan relasi ini, Alawi mulai mengetahui kepribadian dan sikap dari seorang HB dalam mengawal ketertiban umum di Ibu Kota. Ada tiga sikap HB yang menurut Alawi patut diapresiasi.

Pertama, HB selalu menjaga silaturahim. Kepada siapa saja, HB selalu menjaga hubungan baik, bukan hanya ketika ada keperluan dan kepentingan, tetapi dalam setiap kesempatan.

Silatutahim ini amat dianjurkan oleh agama, karena di dalam silaturahim ini terkandung nilai-nilai kebersamaan dan pemecahan berbagai masalah antarmanusia. Semua perbedaan dan gesekan kepentingan dalam bermasyarakat bisa melebur hilang ketika silaturahim dijalankan oleh semua pribadi manusia.

“Pak Harianto amat suka mengundang dan menjamu semua orang untuk berdialog dalam suasana santai,” kata Alawi.

Dalam perjamuan itu, biasanya seorang HB mendengar semua masukan dari koleganya di meja makan. Berbagai masukan dari koleganya itu dia sikapi secara cepat sesuai peraturan yang ada dan berlaku.

Sikap kedua yang patut diapresiasi dari seorang HB adalah balas budinya yang luar biasa tinggi. HB adalah figur yang tahu membalas budi terhadap semua orang, sekalipun orang itu bukan pejabat yang berpangkat.

Setiap kebaikan yang diberikan orang lain kepadanya, HB selalu membalasnya berlipat ganda. Malahan balas budinya itu melebihi dari kewajaran seseorang yang menjalin transaksi.

Dan, sikapnya yang juga patut diapresiasi adalah HB itu selalu bersyukur. Bersyukur bukan saja dalam ucapan tetapi dia wujudkan dalam bentuk tindakan. Rasa syukurnya tercermin dari tindakannya yang selalu mengunjungi kampung halamannya untuk menziarahi makam kedua orangtuanya dan orang-orang yang telah berjasa terhadap dirinya.

“Pak Harianto selalu mengingat para pendahulunya yang telah berjasa terhadap dirinya.”

Dalam rasa syukurnya itu, HB juga membagikan banyak rezeki kepada orang-orang yang tidak beruntung. Mereka adalah anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Bantuan HB kepada mereka yang tidak beruntung bisa berupa biaya pendidikan, pengobatan, maupun rumah tinggal.

Alawi sendiri adalah salah satu sahabat yang merasakan kebaikan dari seorang HB. Dia mengakui bahwa HB ikut terlibat dalam membangun sekolah madrasah miliknya di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat, melalui Yayasan Wakfiah Al Islam.

“Madrasah yang saya kelola sekarang ini punya kurang lebih 600 siswa.”

Dengan menjalankan silaturahim, balas budi, dan bersyukur, HB bisa menjadi contoh bagi pejabat lain atau politikus yang sedang berkuasa dalam mengelola negeri ini. Ketiga sikap itu menjadi unsur penting dalam membangun relasi antarmanusia agar terjalin keharmonisan yang sesungguhnya.

Inti dari tiga sikap tadi adalah seseorang dituntut untuk berbagai dengan orang lain. Menghindari sikap tamak dan berkuasa sendiri.

Dengan membangun relasi personal yang baik dengan tiga sikapnya tadi, HB punya jalan mudah dalam mengelola tugas-tugasnya. Selama menjadi Kepala Dinas Satpol PP maupun sewaktu menjadi kepala Dinas Pariwisata, HB tidak mengalami kendala berarti.

Ketika menjadi Kepala Dinas Pariwisata, HB adalah pejabat yang mematangkan munculnya aturan jam buka bagi industri hiburan malam. Di tangannya, semua industri hiburan malam harus mematuhi aturan jam operasi, apalagi pada saat bulan Ramadhan.

“Makanya, sewaktu Pak Harianto memimpin, nyaris tidak ada razia oleh massa terhadap hiburan malam,” kata Alawi.

Di sini, HB memperlihatkan kepiawaiannya membawa diri dalam mengelola kondusivitas Ibu Kota, khususnya berkait dengan penegakkan peraturan daerah yang menjadi perhatian dari organisasi massa Islam.

Semua masukan dan kehendak masyarakat sepanjang memiliki landasan hukumnya, HB tidak segan-segan menjalankannya. Dia tidak pernah bertoleransi terhadap pelanggaran peraturan yang sudah dibuat oleh wakil rakyat di DPRD.

HB paham bahwa Ibu Kota ini mesti dibangun bersama-sama di atas aturan yang disepakati bersama. Kebersamaan dan keharmonisan jauh lebih penting daripada segalanya di mata HB. 

Krista Riyanto

***

Tulisan sebelumnya: Harianto Badjoeri [39]: Ibu Kota Ini Punya Utang Budi kepada Dia…